
Saya yakin, mayoritas dari kita meyakini bahwa Nabi Muhammad itu ummi atau buta huruf. Apalagi keyakinan itu sudah tertanam sejak kita masih belajar di Madrasah Ibdtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam, atau di Taman Pendidikan Alquran setiap sore di masjid-masjid dan pesantren-pesantren.
Ustaz, kiai, dan guru agama sangat menjaga secara sungguh-sungguh doktrin ke-buta-huruf-an Nabi Muhammad ini. Karena doktrin ini sebagai tiang penyanggah yang kokoh untuk mengatakan bahwa Alquran itu benar-benar wahyu Tuhan, bukan karangan Nabi Muhammad. Dan bahkan ketika di pesantren, ustaz saya mengatakan bahwa ke-buta-huruf-an Nabi Muhammad merupakan mukjizat baginya.
Buta huruf sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad?
Mari kita bertanya kembali: apakah benar Nabi Muhammad itu ummi atau buta huruf, tidak bisa membaca dan membaca? Kalau Nabi Muhammad tidak buta huruf, apakah keautentikan Alquran sebagai kitab suci akan ternodai oleh kecerdasan Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis?
Di sini, kita tidak perlu terburu menjawab YA atau TIDAK atas pertanyaan di atas, agar tidak cenderung seperti tebak-tebakan. Mari kita analisis dengan santai saja hal itu sambil nyeruput nikmatnya kopi hitam. Saya sarankan agar kita tidak sering-sering meminum yang manis, seperti susu dkk. Kita juga perlu meneguk kopi hitam yang pahit agar bisa santai menerima kenyataan pahitnya hidup.
Beberapa hari yang lalu, saya membuka buku al-Mīzân fī Tafsīr al-Qur’ân karangan Muhammad Husein Thabâthabâ’i, yang dua puluh juz itu. Tapi, saya sudah lupa di juz berapa dia mengatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani menyebut orang-orang Arab yang non-Yahudi dan non-Nasrani sebagai masyarakat yang ummiyyīn atau ummiyyûn yang secara harfiah bisa kita artikan sebagai masyarakat yang buta huruf.
Pemberian stigma terhadap golongan di luar golongannya tidak hanya terjadi saat ini. Namun, hal tersebut sudah terjadi sejak masa kelahiran Islam dan bahkan ribuan tahun sebelum itu.
Stigma orang Yahudi dan Nasrani bahwa orang-orang Arab itu ummi yang secara harfiah bisa kita artikan buta huruf ini bisa terbantah jika asumsi ini kita generalisasikan pada semua orang Arab pada waktu itu.
Baca juga:
Kalau kita membuka buku al-Kitâb wa al-Qur’ân karangan Muhammad Syahrur, misalnya, di sana menemukan topik yang kita diskusikan ini. Sebagaimana Thabatahab’i di atas, Syahrur juga memberikan informasi pada kita bahwa orang Yahudi dan Nasrani biasa menyebut orang Arab yang tidak seagama dengan mereka sebagai ummi. Kenapa? Karena mereka tidak tahu apa saja hukum-hukum yang ada dalam kitab suci Yahudi dan Nasrani.
Oleh karena itulah, oleh mereka, orang Arab adalah ummi. Menurut Syahrur, penyebutan ummi berarti pada orang yang: pertama, non-Yahudi dan non-Nasrani; dan kedua, orang tidak tahu isi kitab suci Yahudi dan Nasrani.
Kalau kita baca sejarah Arab pra-Islam, maka sebelum Islam datang, orang Arab sudah pandai berpuisi. Bahkan, pada musim tertentu, mereka mengadakan pentas seni puisi (syair) di pasar Ukaz dan mereka melombakan pembacaan puisi. Mereka nantinya akan menempelkan puisi yang terpilih sebagai pemenang itu di dinding Ka’bah.
Pentas seni di pasar Ukaz itu terselenggara pada bulan Dzul Qa’dah. Hal itu berlangsung sekitar 15-20 hari. Puisi-puisi terpilih yang tergantung di dinding Ka’bah tersebut berbicara tentang aspek sosial dan aspek moral sosial. Dan salah satu penyair pra-Islam yang sangat terkenal ialah Umru al-Qais.
Pertanyaannya ialah bagaimana puisi yang terpilih sebagai pemenang itu akan tertempel di dinding Ka’bah kalau tidak ditulis, penyairnya ditempelkan di dinding Ka’bah menemani patung-patung di sekitarnya dan ketika ada orang yang lewat, dia akan berpuisi?
Tidak semua orang Arab itu tidak bisa baca-tulis. Ketika Islam datang, Nabi Muhammad mempunyai para sekretaris yang bertugas menulis dan mencatat wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad.
Dalam sebuah riwayat, sebagaimana Abdullah bin Sulaiman as-Sijastani atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Abi Dawud dalam buku Kitâb al-Mashâhif-nya menulis, bahwa ada sahabat yang belajar menulis dari orang Nasrani Hirah dan juga ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad menyuruh seorang sahabat untuk belajar tulis-menulis bahasa Suryani, yaitu bahasa yang orang Yahudi gunakan pada waktu itu.
Kemudian sahabat itu belajar selama beberapa hari. Setelah pandai tulis-menulis bahasa Suryani, maka sahabat itu biasa membacakan surat orang Yahudi yang dikirim kepada Nabi Muhammad dan bahkan kadang Nabi Muhammad menyuruh menulis surat Nabi Muhammad kepada orang Yahudi.
Baca juga:
Orang Yahudi dan Nasrani masa itu mah suka melabeli yang macem-macem pada golongan di luar mereka. Ini seperti pemerintah kita saat ini melabeli orang yang tidak bisa baca-tulis huruf Latin dengan label buta huruf.
Dua tahun lalu, di kampung saya di Madura, rame program pengentasan buta huruf ini. Saya kesal juga menerima fakta generalisasi bahwa orang di kampung saya yang tidak bisa baca-tulis huruf Latin adalah orang yang buta huruf.
Saya waktu itu dongkol sendirian. Mau protes, tapi pada siapa? Ya, rasa dongkol itu tetap saya pendam hingga tersembur saat nulis tulisan ini. Orang di kampung saya yang tidak bisa baca-tulis huruf Latin itu, ya mereka pintar membaca Alquran lengkap dengan hukum-hukum bacaan ilmu Tajwidnya. Tidak bisa baca-tulis huruf Latin bukan berarti buta semua huruf. Faktanya, bisa dan pintar baca Alquran.
Maka di sini saya tulis kesimpulan Muhammad Syahrur dalam bukunya itu bahwa Nabi Muhammad disebut ummi dalam Alquran surah al-A’raf ayat 157 tersebut bukan dalam makna harfiah buta huruf, tetapi karena beliau non-Yahudi dan non-Nasrani.
Alquran menyebut orang Arab Ummi karena menggunakan nada-nada yang berlaku pada orang Arab pada waktu di mana nada-nada ummi itu datang dari orang Yahudi dan Nasrani. Dan Nabi Muhammad diutus terhadap tiga golongan, yaitu Yahudi, Nasrani, dan golongan ketiga yang disebut ummi yang dalam konteks saat itu adalah orang Arab.
- Rumah Tuhan - 31 Maret 2018
- Poligami, Jalan Politik Sang Nabi - 10 November 2017
- Mushaf yang (Di)hilang(kan) - 10 November 2017