Kaum Moderat Harus Berbicara!

Kaum Moderat Harus Berbicara!
©Nick Anderson

Jika Islam dipimpin oleh kaum moderat atau tercerahkan, maka Islam dapat bersaing atau berkompetisi dengan negara-negara mana pun.

Hari itu, Ahad, 2 Mei 2021, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional juga 20 Ramadan 1442 hijriah, saya bertugas menjadi penengah atau moderator dalam suatu kajian pemikiran Islam kontemporer di ruang virtual Zoom yang diselenggarakan oleh Maarif Institute dengan tema: Menyegarkan Kembali Pemahaman Fikih Moderat dalam Tradisi Islam Berkemajuan”. Fikih moderat terkadang diartikan sebagai fikih moderen

Kegiatan ini dibuka oleh direktur eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazaly. Beliau mengantarkan dengan mengatakan, ketika kita berbicara moderasi beragama, pembicara kali ini sangat tepat karena beliau adalah seseorang yang pernah menulis tentang Fikih Jalan Tengah dan sudah melalui penelitian panjang.

Menurutnya, perkembangan fikih moderat yang telah lama berkembang ini “lahir’ karena  adanya kontestasi antara dua pemikiran, yaitu satu sisi yang konservatif yang mungkin diwakili oleh Wahabi, Salafi, dan lain sebagainya yang cenderung melihat hal sebagai sesuatu yang haram dan di sisi lain ada fikih paham liberal yang cenderung menghalalkan hal yang mungkin selama ini menurut pemahaman mereka sebagai fikih yang melampaui batas, misalnya perempuan bisa menjadi imam salat, atau seseorang bisa menikah dengan sesama jenisnya.

Sehingga menimbulkan kontestasi apalagi dengan penganut fikih konservatif, makanya menghadirkan fikih moderat ini penting dengan melihat segala sesuatunya dengan adil, proporsional, dan kontekstual, dengan melihat perkambangan masyarakat Indonesia yang masih sensitif dan bisa menimbulkan kontraproduktif. Nah, diperlukan fikih yang kontekstual, yang sesuai dengan tempat yang dipijaknya yang bersemangat keindonesisan.

Kemudian narasumber pertama, Atropal Asparina alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Buya Maarif Institute angkatan ketiga (SKK III) mengungkapkan gagasannya tentang fikih moderat sebagai sebuah pertanyaan besar yang berjudul “Bagaimana Menyegarkan Fikih Moderat dalam Konteks Islam Berkemajuan?”

Atrop mengambil studi kasus dari kampung halamannya sendiri, kampung Panauwang, di Garut, Jawa Barat di mana kampungnya ini (berafiliasi dengan Muhammadiyah)  kaum muda di sini mengalami spirit baru dakwah kaum muda dengan mengawinkan spirit kajian agama dan pendidikan. Dan yang paling terbaru adanya kajian tasawuf dan filsafat sejak beberapa bulan terakhir ini.

Buya Ahmad Syafii Maarif mengatakan Kaum Moderat Harus Berbicara

Narasumber kedua, Pradana Boy, Phd., diawal pemaparannya akan menyampaikan tiga (3) hal, yaitu kontekstualisasi pada tema-tema sebagai berikut ini, moderasi beragama atau Islam moderat, fikih moderat, dan Islam berkemajuan. Intinya, pertama pengantar, gerakan moderasi Islam, dan makna fikih dari masa ke masa atau dari zaman ke zaman. Dan kontektualisasi fikih moderat dalam konteks keindonesiaan.

Menurutnya, seorang penulis dari Afganistan yang merupakan pemikir, pengajar dalam hukum Islam, Muhammad Hasyim Kamali, menulis sebuah buku yang ditulis pada tahun 2015, yang dirujuk banyak orang yang berjudul The middle path of  moderation in Islam atau Al Wasatiyah.

Pradana Boy yang akrab dengan panggilan mas Boy ini mengatakan bahwa ada pernyataan dari Hasyim Kamali ini yang menarik. Katanya, “Moderasi adalah sesuatu yang penting dalam pengajaran Islam. Yang menurut saya fundamental. Namun sayangnya, menurutnya, moderasi yang penting dan (fundamental) itu diabaikan oleh umat Islam. Ketika masyarakat kita berbineka, kebutuhan akan moderasi tak bisa dihindari.”

Lebih lanjut menurut Pradana Boy, buku ini juga mengutip tulisan Buya Ahmad Syafii Maarif, ketua Muhammadiyah. “Jika Islam dipimpin oleh kaum moderat atau tercerahkan, maka saya pikir, Islam dapat bersaing atau berkompetisi dengan negara-negara mana pun. Tapi sayangnya, mereka (kelompok moderat itu) memilih untuk diam daripada melawan radikalisme.”

Sehingga, ada hal lain yang menggambarkan gelombang moderasi ini makin kuat adalah adanya pertemuan luar biasa dalam tradisi monoteisme dua pemimpin agama besar antara Paus Fransiskus dan Imam Masjid Al Azhar pada tahun 2019. Mereka sekaligus menandatangani dokumen persaudaraan kemanusiaan untuk perdamaian dan hidup bersama. Dan musuh bersama umat manusia adalah ekstremisme akut, hasrat saling memusnahkan, perang, intoleransi, dan rasa benci.

Bagi Pradana, di Indonesia, di satu sisi kita mengakui kebutuhan akan moderasi. Namun di sisi lain, kita salah persepsi atau miss pengertian tentang moderasi. Seperti pernyataan dari suatu tulisan dari suatu website sebagai berikut ini:

“Alam dunia akan hancur, moderasi Islam adalah produk barat, moderasi Islam mengakibatkan munculnya pernyataan-pernyataan aneh. Seperti khilafah adalah ajaran Islam tetapi tertolak di Indonesia karena tidak sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa. Lantas sejak kapan kesepakatan manusia bisa mengalahkan perintah Allah taala?”

Pradana Boy pun mengambil pemikiran dari buku yang disunting Khalid Abdul Fadel tentang demokrasi untuk mengcounter pendangan seperti ini ini bahwa benar ini perintah Allah namun, apakah kita akan dipimpin oleh Allah secara abstrak? Maka diperlukan manusia secara langsung.

Kemudian, Pradana Boy bercerita bahwa ada yang menarik ketika ia menerima chat, WhatsApp, pada 15 Maret 2021, dari seorang teman, aktivis, yang mengirimkan satu doa kepada saya, dengan redaksi seperti ini; “Yaa Allah, muliakan Islam dan kaum muslimin, hinakan syirik dan kaum musyirikin. Hancurkan musuh-musuh-Mu dan musuh agama. Menangkan hamba-hamba-Mu yang bertauhid. Dan hinakan syirik dan musyrik.”

Lalu dia (teman Pradana Boy) menyelipkan pesan di bawah doa itu, bagaimana tanggapan pemikir moderasi beragama saat ini? Apakah perlu diganti redaksi doa ini.

Kata Pradana Boy, “Tolong kirimkan doa dan pertayaan itu kepada Din Syamsuddin karena beliau adalah salah satu penggagas Islam dan moderasi beragama atau Islam Wasathiyah.”

Inilah salah satu contoh tentang kesalahpahaman terhadap moderasi Islam yang berkembang di masyarakat padahal ada kebutuhan terhadap moderasi beragama. Mantan menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin menyebut, moderasi itu sebenarnya stretegi kebudayaan kita dalam merawat keindonesian. Sementara ada kelompok-kelompok tertentu yang rupanya tidak setuju kita menyandingkan Islam di Indonesia. Sehingga, itu tadi sejak kapan kesepakatan manusia bisa mengalahkan perintah Allah ta’ala misalnya begitu.

Selanjutnya, Pradana menpertanyakan, bagaimana kita melihat gerakan moderasi Islam itu secara umum, maka ia melihat di situ ada gerakan moderasi dihadirkan dari dua titik temu kutub ekstrem dalam beragama. Jadi kita tidak memungkiri dalam beragama, ada dua kutub-kutub ekstrem yang saling bertentangan.

Kemudian yang kedua adalah, saya kira kita bisa menyaksikan bahwa gerakan moderasi Islam di Indonesia ini adalah sebagai respons atas kemajemukan masyarakat Indonesia. Maka, keinginan untuk memonilitikkan sistem atau pemikiran dalam konteks kemajemukan masyarakat Indosesia itu adalah sesuatu yang sangat sulit kita pahami.

Zuhriah