Kebebasan Ekonomi dan Hak Sehat di Masa Pandemi

Kebebasan Ekonomi dan Hak Sehat di Masa Pandemi
©Elephant Journal

Di masa pandemi, hak ekonomi dan hak sehat sering dipertentangkan.

Kebijakan-kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat beberapa kali diterapkan oleh Pemerintah sejak kasus positif covid-19 masuk ke Indonesia pada awal tahun 2020. Kebijakan pembatasan itu dinilai perlu untuk menekan angka penyebaran virus.

Sebagaimana yang dialami masyarakat di seluruh negara di dunia, pandemi covid-19 dan kebijakan pembatasan sosial memiliki dampak sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Kepala Sub-Bagian Kerjasama Regional Biro Humas Hukum dan Kerjasama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia Rini Wulandari mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, bahwa di masa pandemi ini jumlah pengangguran meningkat 2,67 juta jiwa dan angka kemiskinan tembus pada persentase 10%.

Dampak itu tetap terjadi meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemenuhan kebutuhan dasar warganya selain kebijakan vaksinasi dan kebijakan kesehatan lainnya.

“Untuk menjamin kebutuhan dasar warganya di tengah pembatasan aktivitas sosial, Pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan bantuan sembako serta uang tunai untuk masyarakat miskin,” kata Rini Wulandari.

Hal itu Rini sampaikan dalam sambutan diskusi online bertajuk Kebebasan Ekonomi di Masa Pandemi: Mencari Titik Temu antara Hak Makmur dan Hak Sehat yang digelar atas kerjasama Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia dengan Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) serta didukung oleh Kemnkumham RI pada Kamis, 29 Juli 2021.

Salah satu narasumber diskusi ini Iqbal Hasanuddin (Dosen Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) mengatakan bahwa kebijakan pembatasan sosial seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bukanlah pembatasan atas kebebasan ekonomi secara langsung. Justru kebebasan ekonomi perlu tetap dijamin di tengah lesunya perekonomian karena pandemi.

“Tidak boleh ada pembatasan aktivitas ekonomi. Pembatasan kebebasan ekonomi hanya akan menyebabkan kelangkaan barang dan jasa yang akan berdampak buruk pada masyarakat,” terang Iqbal.

Menurutnya, kebijakan pembatasan sosial harusnya dilihat sebagai upaya pemerintah dalam melindungi hak hidup warganya. “Hak untuk hidup merupakan kebijakan etis bagi kebijakan pembatasan sosial. Pembatasan mobilitas masyarakat dilakukan agar hak untuk sehat masyarakat tercapai,” katanya.

Berbeda dengan Iqbal, narasumber lain dalam diskusi ini Ade Armando (Dosen Universitas Indonesia) menilai bahwa kebijakan pembatasan sosial justru dapat mengancam hak hidup dan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.

“Bagi rakyat kecil dan pekerja sektor informal, harus selalu berada di dalam rumah (karena PPKM) itu hal yang tidak mudah. Itu mengapa saya katakan, ini bukan hanya soal hak makmur, tapi juga hak hidup,” kata Ade.

Ade menjelaskan, saat ini semua masyarakat di dunia sedang menghadapi ketidakpastian. WHO mengatakan pandemi akan selesai pada 2022. Namun itu hanya prediksi yang bisa saja tepat dan bisa saja melenceng.

Selain itu, kata Ade, tidak ada yang tahu pasti apa yang seharusnya dan tepat dilakukan dalam situasi penuh ketidakpastian ini. Negara-negara mengambil kebijakan berdasarkan konteksnya masing-masing.

“Maka respons kita terhadap kehadiran corona adalah harus beradaptasi. Bukan dengan ketakutan atau mengurung diri karena kita belum tahu sampai kapan pandemi ini selesai. Saya percaya kepada kemampuan manusia untuk beradaptasi,” ujar Ade.

Mengutip penelitian Patricio Goldstein, dkk. yang menggunakan data dari 152 negara, Ade menyampaikan bahwa kebijakan lockdown tidaklah begitu efektif dan cenderung efektivitasnya makin lama makin menurun. Awalnya kebijakan lockdown efektif dalam menekan penyebaran virus. Namun untuk jangka panjang efektivitasnya cenderung menurun.

Ade menilai, kebijakan PPKM yang dijalankan pada Juli 2021 terlihat efektif untuk menurunkan angka kasus positif baru. Namun berkaca dari penelitian pada 152 negara tersebut, maka kebijakan ini jangan terlalu lama dilaksanakan. Selain efektivitasnya akan menurun, kebijakan pembatasan aktivitas sosial yang berjangka panjang akan menyengsarakan rakyat.

Bagi kelas menengah ke atas dan pekerja formal, lanjut Ade, kebijakan pembatasan kegiatan sosial tidaklah terlalu bermasalah. Mereka memiliki rumah yang nyaman, bisa tenang bekerja di dalam rumah, dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan tetap memiliki pendapatan. Lain ceritanya bagi para pekerja informal dan kelompok masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.

“Itu mengapa saya mengkritik perpanjangan masa PPKM. Karena bagaimana nasib para pedagang asongan, penjual kaki lima, buruh harian, supir, pekerja lepas. Mereka hanya akan mengadalkan bantuan dari pemerintah,” tutur Ade.

Adapun narasumber berikutnya, Nuning Sekarningrum (Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah/UMKM dan pemilik Galerry 37) menyampaikan bahwa dirinya, sebagai pelaku UMKM di bidang kriya, terkena dampak dari pandemi covid-19. Omset usahanya menurun.

Meski demikian, ia tidak patah semangat. Ia mendorong siapa pun untuk tidak berpangku tangan dalam situasi pandemi seperti ini. Sebaliknya, tetap berkarya untuk menghasilkan uang dengan berinovasi.

“Kita tidak bisa menggantungkan hak makmur kita kepada Pemerintah namun di saat yang sama kita tidak melakukan apa-apa. Jika ingin makmur dan sejahtera, kita ubah kepanjangan PPKM menjadi Perempuan Pejuang Koin Mandiri. Bukan pembatasan lagi,” dorong Nuning.

Sebagi informasi, diskusi ini terdiri dari dua sesi. Sesi I menghadirkan tiga narasumber yang sudah disinggung di atas. Adapun pada Sesi II menghadirkan Nanang Sunandar (Direktur Eksekutif INDEKS), dr. Mahesa Paranadipa Maikel (Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia/MHKI dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesa/IDI), dan Yuli Asmini (Penyuluh Komisi Nasional HAM RI).

Nanang Sunandar menyampaikan bahwa kebebasan ekonomi bisa dibatasi. Dalam situasi normal, batasan kebebasan ekonomi, menurutnya, adalah kebebasan orang lain yang berkurang atau hilang akibat aktivitas kebebasan ekonomi kita. Sedangkan dalam situasi pandemi, kebebasan ekonomi dapat dibatasi melalui kebijakan yang melalui proses legislasi dan pembatasannya melalui mekanisme pembuktian terbalik.

“Jadi, selama tidak ada yang dirugikan dan terbukti positif atau memiliki gejala-gejala covid-19, maka kenapa aktivitas ekonomi harus dilarang?” tanya Nanang.

Senada dengan Ade Armando, Nanang mengatakan bahwa dalam kebijakan pembatasan sosial, ketidakadilan terasa sekali. Individu-individu warga dari lapisan sosial ekonomi yang paling lemah dan para pekerja informal adalah yang paling rentan ketika kebebasan ekonomi dibatasi di masa pandemi. Kelompok dari lapisan sosial ekonomi yang lebih tinggi memiliki lebih banyak cara untuk “membeli” kebebasan ketika kebebasan langka.

“Saya tidak sedang mengatakan bahwa kesehatan itu tidak penting, namun ingin mengatakan kenapa kita tidak mencoba berbagai opsi yang memungkinkan hak orang untuk hidup layak secara ekonomi bisa beriringan dengan hidup yang sehat dalam konteks pandemi covid-19 ini,” tambah Nanang.

Mengutip penelitian dari Kennetth R. Szulczyk, dkk., Nanang mengatakan bahwa tidak ada korelasi positif antara tingginya tingkat kematian dengan kelonggaran aktivitas ekonomi di sebuah negara. Bahkan negara-negara yang memiliki tingkat kebebasan ekonominya tinggi cenderung memiliki tingkat kematian yang rendah.

Narasumber berikutnya dr. Mahesa Paranadipa Maikel menegaskan bahwa gelombang II pandemi covid-19 saat ini kondisinya sangat mencekam. Di rumah sakit tempat ia bertugas, setidaknya ada lima orang yang meninggal karena covid-19 untuk setiap harinya. Instalasi Gawat Darurat (IGD) juga penuh.

“Banyak pasien yang tidak bisa masuk ke IGD karena harus mengantri, padahal sudah mengalami dada sesak. Karena tidak lagi tersedia kamar dan oksigen. Sudah penuh,” cerita dr. Mahesa.

Padahal, lanjut dr. Mahesa, konstitusi Indonesia mengamanatkan untuk memenuhi hak sehat warganya. Berdasarkan Pasal 28H ayat 1 UUD Negara RI tahun 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Selain itu, berdasarkan  Pasal 34 ayat 3 UUD Negara RI tahun 1945 menyebutkan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Selain tanggung jawab Pemerintah dan tenaga kesehatan, pandemi covid-19 merupakan tanggung jawab masyarakat. Untuk itu, dr. Mahesa mendorong siapa saja untuk mematuhi protokol kesehatan. Menurutnya, seseorang yang melanggar protokol kesehatan membahayakan keselamatan orang lain. Untuk itu, hak bergerak seseorang yang tidak mematuhi protokol kesehatan harus dibatasi dalam situasi pandemi ini demi keselamatan orang banyak.

Terkait aktivitas ekonomi masyarakat, dr. Mahesa menegaskan bahwa pihak kesehatan tidak pernah melarang aktivitas ekonomi masyarakat. Ia mendorong selama beraktivitas ekonomi, masyarakat harus memperhatikan beberapa hal.

“Gunakan masker, usahakan dua lapis masker. Tidak membuka masker di ruangan dengan banyak orang. Jaga jarak untuk mencegah paparan, tidak terjadi kerumunan. Pastikan ruangan dengan ventilasi udara. Sering mencuci tangan, tidak menyentuh daerah wajah terutama setelah memegang benda. Disinfeksi barang-barang yang sering disentuh. Secara periodik dilakukan screening.”

Pada masa pandemi, hak ekonomi dan hak sehat sering dipertentangkan. Padahal kata narasumber terakhir, Yuli Asmini, hak sehat dan hak untuk mendapat kehidupan yang layak itu saling terkait dan harusnya tidak dipertentangkan.

“Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), hak sehat dan hak atas standar hidup yang layak itu dalam satu rumpun, yaitu dalam Hak Ekonomi Sosial dan Budaya melalui UU 11/2005 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.” Yuli menegaskan.

Adapun Pemerintah, lanjut Yuli, memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia, termasuk hak sehat dan hak hak atas standar hidup yang layak.

Sejauh ini, Pemerintah Indonesia tengah berupaya untuk memenuhi kewajibannya di tengah pandemi dalam konteks pemenuhan hak sehat dan hak atas standar hidup yang layak. Meskipun demikian, realisasinya masih kurang maksimal.

“Realisasi insentif nakes yang terhambat, terbatasnya pelaksanaan testing dan tracing, program vaksinasi yang berjalan lambat, fasilitas dan tenaga kesehatan yang kewalahan. Itu dari sisi hak kesehatan.”

“Adapun dalam konteks pemenuhan hak atas kesejahteraan,” lanjut Yuli. “Temuan Komnas HAM di antaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tidak tepat sasaran, stimulus UMKM yang tidak tepat sasaran, PHK dan korupsi bansos,” beber Yuli.

Selama masa pandemi sampai Juni 2021, Yuli membeberkan bahwa Komnas HAM telah menerima 1337 pengaduan dari masyarakat soal kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM. “Nyaris setengah dari 1337 aduan tersebut terkait hak atas kesejahteraan, yang meliputi hak sehat dan hak hak atas standar hidup yang layak,” pungkasnya. [sh]