
Nalar Warga – Sekarang semakin terbukti bahwa ujaran kebencian yang merebak akhir-akhir ini disebabkan oleh kebencian politik, bukan agama.
Bagi para kampret, misalnya, meski Rocky Gerung bukan muslim, tetapi dia dianggap teman kita, pemikirannya dinilai ada benarnya juga. Sebaliknya, meski kiai Said Aqil Siradj dan kiai Maruf Amin adalah ulama besar, tetapi mereka berdua dituduh musuh kita.
Karena dasarnya adalah politik, maka kebencian terhadap etnis tertentu pun pilih-pilih, tergantung di pihak mana mereka berada. Ahok dibenci, tetapi Hari Tanoe atau Jaya Suprana tidak, padahal sama-sama Tionghoa. Maka tidak heran di kalangan kampret orang seperti Lieus Sungkharisma dielu-elukan layaknya pahlawan.
Kebencian politik pada dasarnya rekayasa. Ia diciptakan dan lalu dipupuk agar terus tumbuh, sehingga bisa dimanfaatkan ketika waktunya tiba. Untuk itu ia butuh duit. Tanpa semua itu, percayalah, tidak akan ada aksi 212 dan semacamnya.
Namun kebencian politik juga membutuhkan sejarah. Ia tidak muncul tiba-tiba. Bagaimanapun ia bisa tumbuh dalam komunitas-komunitas yang memang telah lama dijejali memori keloktif kebencian yang diturunkan dari generasi sebelumnya.
Oleh karena itu, saya selalu menunjukkan bahwa kebencian terhadap Jokowi di masa kini adalah transformasi dari kebencian terhadap Soekarno di masa lalu. Pola dan pelakunya berasal dari pihak yang sama.
Melihat kenyataan ini, yang oleh beberapa filsuf dikatakan sebagai situasi agonistik, saya berpendapat bahwa kebencian memang tidak bisa lagi dihindarkan. Barangkali yang mungkin ditempuh bukan perdamaian, melainkan hanya semacam modus vivendi, gencatan senjata.
Kebencian politik tidak akan pernah berakhir hingga salah satu atau kedua belah pihak lelah, tetapi bukan menyerah. Sebab, ketika sudah lelah, manusia sering tidak bisa membedakan lagi mana benci mana cinta, mana fiksi mana fakta.
___________________
Artikel Terkait:
- Mungkinkah Agnes Dapat Dipidana? - 28 Februari 2023
- Transformer - 6 Februari 2023
- Jalan Panjang Demokrasi Kita - 2 Februari 2023