Kebodohan karena Senioritas

Kebodohan karena Senioritas
©Hipwee

Berpikir adalah kebebasan yang hukum sekalipun tidak bisa mengganggu-gugatnya.

Bergulirnya orde baru menuju reformasi ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan khusus terhadap organisasi kemahasiswaan. Apa mungkin karena arah perjuangan para akademisi dan kaum tertindas di masa itu adalah reformasi bukan revolusi?

Saya pikir bahwa konsep adanya reformasi dan revolusi memiliki arah perjuangan yang hampir sama. Sama-sama membicarakan perubahan. Sehingga, baik reformasi ataupun revolusi akan berpengaruh, tergantung polarisasi akal sehat yang merekam setiap jejak perubahan dan pergerakan. Tetapi tidak untuk konsep organisasi hari ini.

Bagaimana tidak, organisasi yang tumbuh dan berkembang begitu banyak gema dalam balutan kebebasan tetapi mentok pada konsep yang sudah mendarah daging dalam organisasi itu sendiri. Realitas yang sering terjadi misalnya senioritas. Bisa dikatakan penjajahan secara halus. Menuntut dihargai, dihormati.

Apa iya punya basis pengetahuan yang kuat untuk mendukung senioritas yang digenggamnya? Tetapi ternyata banyak catatan yang mengungkap masalah kemanusiaan di balik konsep senioritas ini.

Bagaimana bisa konsep senioritas ini eksis sementara akademisi adalah organ dalam lingkarannya?

Ternyata lembaga pendidikan tidak mendeteksi sejauh itu. Sehingga baik organisasi intra maupun ekstra kampus mengembangkan konsep konyol ini. Kemerdekaan berpikir seakan dibatasi konsep senioritas yang sok tahu dan sok jago. Berujung pada memperpanjang barisan perbudakan—meminjam kata Wiji Thukul.

Organisasi seharusnya menjadi ruang diskursus, bertarungnya ide dan gagasan, mempertajam analisis, tetapi itu absen ditelan zaman. Wadah organisasi seakan-akan menjadi tempat beternaknya konsep senioritas ini.

Bagaimana untuk merombak konsep ini?

Sistem yang mengakomodir kaum akademisi, mahasiswa khususnya harus terbebas dari hal konyol semacam ini. Berdiri independen.

Baca juga:

Urusan saling menghargai dan menghormati telah lama diajarkan (dalam keluarga contohnya) dan akan terbentuk serta berkembang dengan sendirinya apabila polarisasi akal sehat dan konsumsi pengetahuan menjadi prioritas apalagi sekelas mahasiswa.

Keyakinan-keyakinan yang salah membuat seseorang tidak menyadari tujuan-tujuan baik dan kebenaran lebih baik daripada kepalsuan. ~ Bertrand Russel

Jonaldi Mikael
Latest posts by Jonaldi Mikael (see all)