Kedudukan Hukum Perbankan Syariah dalam Sistem Perbankan Nasional

Kedudukan Hukum Perbankan Syariah dalam Sistem Perbankan Nasional
©Pinterest

Di Indonesia, keberadaan perbankan syariah sudah ada sejak pertengahan 1992, tepatnya setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1992 sebagai dasar hukum, yang kemudian diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998.

Kebijakan perundangan tersebut diperkuat oleh Keputusan Menteri Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 53/BH/KDK 13.32/ 1.2/XII/1998, pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi No. 165/ PAD/KDK 13.32/1.2/V/1999, serta izin usaha dari Menteri Keuangan untuk beroperasi dengan prinsip bagi hasil seperti bank perkreditan rakyat (BPR) Syariah.

Bank muamalat atau bank Islam atau Bank Syariah (Islamic Bank) adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam.

Kenyataan di masyarakat, mungkin terdapat kesimpangsiuran mengenai pemahaman tentang pengertian lembaga keuangan dengan bank muamalat. Lembaga keuangan dapat dikatakan sebagai badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan atau tagihan (claim) serta aset non-finansial atau aset riil dan memberikan pelayanan jasa dalam bentuk skim tabungan (depositori), proteksi asuransi, program pensiun, dan penyediaan sistem pembayaran melalui mekanisme transfer dana.

Antara lembaga keuangan dengan bank muamalat memiliki persamaan, yaitu sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang pengelolaan keuangan dan pendanaan maupun investasi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 706 Tahun 1992 tentang perubahan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) menjadi bank umum.

Bank umum menurut UU No. 7 Tahun 1992, disamping melakukan kegiatan usaha secara konvensional, dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pendiri lebih menyukai bentuk lembaga keuangan, mungkin karena lapangan maupun orientasi usahanya masih dalam lingkup yang kecil. Sedangkan pendirian sebuah bank memerlukan capital adequacy ratio (CAR) 8% berdasarkan rasio kecukupan modal perbankan.

Pada dasarnya. lembaga keuangan, bank konvensional, maupun bank Islam (bank Muamalat) merupakan bagian dari manajemen keuangan modern.

Hukum perbankan (banking law) adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek yang dilihat dari segi esensi dan eksistensinya serta hubungannya dengan bidang kehidupan. Hukum perbankan ini disusun oleh orang-orang yang ahli di bidangnya.

Selain itu, hukum perbankan tidak hanya terfokus pada undang-undang yang berlaku saja, tapi juga peraturan dalam bentuk yurisprudensi, doktrin, rambu-rambu, dan bentuk hukum yang lainnya.

Hukum perbankan mencakup bidang hukum administrasi, hukum perdata, hukum dagang, hukum internasional, dan hukum pindahan. Namun, hukum perbankan merupakan cabang dari hukum utama perekonomian Indonesia yaitu Pasal 33 UUD 1945. Dan juga disebutkan di Pasal 2 UU Perbankan bahwa perbankan di Indonesia melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian dan berdasarkan Pancasila serta UUD 1945.

Menurut Siamat (1999: 35), kegiatan usaha bank yang dapat dilakukan berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, antara lain:

a. Menghimpun dana dari masyarakat. Penghimpunan atau mobilisasi dana dapat melalui sarana tabungan, deposito berjangka dan giro.

b. Memberikan kredit. Kredit yang diberikan dapat dalam bentuk pendanaan kegiatan ekonomi masyarakat mapun barang kebutuhan konsumen.

c. Menerbitkan surat pengakuan utang.

d. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:

  1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang disekap oleh bank.
  2. Surat pengakuan utang.
  3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
  4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
  5. Obligasi.
  6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, dan
  7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.

e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.

f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana komunikasi mapun dengan wesel.

g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga.

h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.

i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (custodian).

j. Melakukan penempatan dana dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.

k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

l. Melakukan kegiatan anjak piutang (factoring) kartu kredit dan kegiatan wali amanat (trustee).

m. menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.

n. Melakukan kegiatan lain, misalnya kegiatan transaksi dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal atau usaha lain di bidang keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, dan asuransi, serta melakukan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit.

o. Kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.

Fungsi dasar Bank Syariah secara umum tidaklah berbeda dengan bank konvensional, sehingga prinsip pokok pengaturan dan pengawasan yang dikembangkan bagi sistem perbankan sebagian besar berlaku juga pada bank syariah. Namun adanya sejumlah perbedaan yang cukup mendasar dalam filosofi dan prinsip operasional bank syariah mengakibatkan adanya perbedaan pengaturan dan sistem pengawasan bank syariah.

Berdasarkan dengan hal tersebut, terdapat beberapa langkah yang harus diciptakan dalam pemenuhan prinsip syarah; Pertama, menciptakan regulasi dan sistem pengawasan yang sesuai dengan karakteristik bank syari’ah. Kedua, menetapkan aturan tentang mekanisme pengeluaran setiap produk bank syari’ah yang memerlukan pengesahan dari DSN-MUI.

Ketiga, menetapkan sistem pengawasan baik untuk penilaian aspek kehati-hatian dan kesesuaian operasional bank dengan ketentuan syariah dengan melibatkan DPS dan unsur pengawasan syariah lainnya.

Rinawati