Keistimewaan Yogyakarta sebagai Strategi Kebudayaan

Keistimewaan Yogyakarta sebagai Strategi Kebudayaan
Foto: HARJO

Dalam konteks Yogyakarta, kita mengenal satu konsep yang sangat tersohor. Ia sebagai pilar pelaksanaan seluruh praktik kebijakan-kebijakan publiknya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, serta juga kebudayaan itu sendiri. Konsep tersebut adalah Keistimewaan Yogyakarta. Ini sudah jadi ciri khas Yogyakarta, sekaligus jadi satu strategi kebudayaan utama dalam pengelolaan kebijakan-kebijakannya.

Wawancara yang dilakukan oleh Tim Redaksi dengan salah satu pemikir Yogyakarta, Wahyu Minarno, menghasilkan satu perbincangan seputar keistimewaan. Menurut pria yang akrab disapa WM ini, keistimewaan dipandang sebagai pilar yang hakikatnya tak lain adalah kebudayaan.

Karena keistimewaan adalah kebudayaan, maka ia pun sebenarnya bukanlah hasil final. Ia hanyalah satu konsep dinamis yang harus terus didialektikakan. Dari proses dialektis inilah yang nanti melahirkan kebijakan publik yang dinamis pula. Tujuannya tak lain untuk mencipta tatanan hidup yang baik, yakni peradaban manusia yang adiluhung.

Dalam membincang keistimewaan, sebagaimana juga kebudayaan, WM memulainya dengan penekanan bahwa keistimewaan tidak boleh dipahami sebagai kata benda. Keistimewan jangan dipahami sebagai kondisi yang sudah jadi, warisan dari masa lampau.

“Keistimewaan yang dipahami sebagai instrumen hegemoni atau diskursus dalam rangka melestarikan kepentingan tertentu justru akan menjadikan Keistimewaan Yogyakarta semakin jauh dari semangat keistimewaan.”

Menurut pemikir yang juga concern di wilayah kajian ekonomi politik ini, keistimewaan harus dipahami sebagai kata kerja, bukan sebagai kata benda. Jika ini yang terterap, maka tidak hanya “elite Yogyakarta” khususnya, tapi juga masyarakat umum akan tergerak hatinya—meminjam istilah Kuntowijoyo—untuk bersama-sama mengobjektifikasikan keistimewaan. Misalnya, tahta untuk rakyat. Hasil dari pengobjektifikasian itulah yang nanti akan menjadikan keistimewaan sebagai kebudayaan yang benar-benar progresif-revolusioner.

Sebaliknya, kalau keistimewaan dipahami secara sempit, apalagi sampai politik praktis, maka yang terjadi adalah apa yang selama ini timbul dari anggapan-anggapan umum. Kita hanya akan mampu menganggap Keistimewaan Yogyakarta itu karena gubernurnya dipilih melalui mekanisme penetapan, bukan dengan jalan pemilihan sebagaimana lazimnya di daerah-daerah Indonesia.

Yogyakarta akan dianggap istimewa hanya karena ia berbeda. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan menjelaskan ruh keistimewaan. Padahal, ranah inilah yang paling penting dan utama yang sayangnya sering terlupakan jika tidak secara sengaja untuk dilupakan.

Sebagai kebudayaan, kebudayaan yang istimewa, Keistimewaan Yogyakarta tentu adalah istilah yang tidak boleh dipahami sebatas kata benda atau kondisi yang sudah jadi. Dengan demikian, masyarakat tidak akan menganggapnya sebagai taken for granted.

“Tidak hanya menerima begitu saja konseptualisasi yang disusun oleh beberapa elite yang merumuskan makna dari kata keistimewaan tersebut. Karena memang, keistimewaan mencakup banyak sekali hal. Di sana ada pemikiran, nilai dan norma sosial, ilmu pengetahuan, struktur-struktur sosial dan religius, hukum dan adat istiadat, dinamika sosial dan ekonomi politik, serta kebudayaan. Ini perlu dipahami terlebih dahulu.”

Keistimewaan yang Menggerakkan

Kalau keistimewaan itu dipahami sebagai kata kerja, konsekuensinya adalah, ia pasti akan menggerakkan.

“Bukankah kata kerja itu memang menggerakkan? Menjadi wajar dan memang sewajibnya jika keistimewaan itu harus menggerakkan. Harus tidak diam. Keistimewaan adalah dasar kebijakan. Spirit yang memotivasi.”

Hal tak terpungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Yogyakarta memandang keistimewaan sebagai kata benda. Implikasinya, generasi hari ini dan masyarakatnya, bahkan para elite politik sendiri, tidak mampu memahami kandungan makna dan pesan historis di dalamnya. Tak ayal jika mereka tidak/kurang mampu merumuskan praktik-praktik kebijakan publik bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan.

“Yang justru sering tampak adalah upaya para SKPD dan para pegiat budaya sekadar menyosialisasikan dan mempromosikan saj. Bukan dalam rangka untuk bagaimana keistimewaan mampu menjadi spirit yang menggerakkan seluruh komponen sosio-ekologis yang ada di Yogyakarta.

Keistimewaan, sebagaimana juga gagasan Presiden Jokowi tentang Nawacita, haruslah dipandang sebagai suatu kerangka budaya atau cultural framework. Ini untuk menggerakkan politik dan ekonomi Yogyakarta secara baru.

“Keistimewaan sebagai kebudayaan tak hanya harus dilihat sebagai sarana integrasi sosial-budaya. Ia lebih sebagai sarana untuk melakukan cultural resistance terhadap hubungan timpang akibat dominasi yang berlebihan. Gagasan memperkuat sektor strategis dalam ekonomi domestik adalah panggilan untuk melakukan resistensi terhadap dominasi global dalam ekonomi.”

Meminjam pandangan Ignas Kleden, gagasan menggerakkan pembangunan dari pinggir dengan memperkuat desa-desa adalah intuisi untuk melakukan resistensi terhadap sentralisme yang demikian dominan dalam sektor ekonomi dan politik. Imbauan untuk menekankan pentingnya pendidikan karakter adalah jalan kepada resistensi terhadap pragmatisme politik, konsumerisme ekonomi, dan sikap permisif dalam moralitas.

“Kalau saja pemerintah mampu menangkap semangat Keistimewaan Yogyakarta sebagai sebuah kebudayaan yang menggerakkan, dan sebagai kerangka budaya untuk pembangunan, maka peradaban manusia yang mungkin dimulai dari Yogyakarta ini akan segera terlahir sebagai realitas baru. Bahwa keistimewaan dengan wataknya yang progresif tersebut akan benar-benar menggerakkan perubahan menuju kemajuan.”

Rahmat bagi Semua

Dalam konteks Keraton Yogyakarta, keistimewaan sesungguhnya tidak jauh dengan konsep dalam ajaran Islam: rahmatan lil alamin sebagai hilirnya. Sebagaimana dasar kebijakan publik secara umum, setiap kebijakan yang ditarik dari roh keistimewaan harus memuat unsur pemberi rahmat bagi semua. Bukan secara parsial, apalagi untuk kepentingan golongan tertentu.

“Persoalan apakah konsep keistimewaan Yogyakarta dalam praktiknya itu ada indikasi yang mengarah pada hilir rahmatan lil alamin atau tidak, tentu masyarakat sendiri yang harus menilainya. Misalnya, apakah konsep tahta untuk rakyat, keberagaman, pluralitas, serta toleransi antargolongan benar-benar dijamin kepastian keadilannya di Yogyakarta atau tidak. Semuanya harus kita luruskan secara bersama.”

Karena itu, membincang keistimewaan sebagai kebudayaan menjadi penting. Apalagi diketahui bahwa sudah banyak perbincangan seputar keistimewaan yang belum mengarah pada apa yang telah diperbincangkan di atas. Nyaris tiada arah kepada satu proses sejarah, bukan sebagai kondisi atau barang jadi.

“Siapa pun, kalau menganggap sesuatu itu adalah barang jadi, tentu tidak akan pernah dilanjutkan lagi. Mencipta sesuatu yang baru memang tak ada salahnya. Begitupun ketika mengadopsi budaya-budaya dari luar.”

Hanya saja, lanjut WM, ketika semua hal yang kita ciptakan atau adopsi dari luar itu tidak sesuai dengan kebudayaan leluhur, yang nafasnya adalah kebajikan, tentu harus ditolak.

“Seperti konsep individualisme, misalnya, yang hanya mementingkan diri pribadi sekaligus berusaha mengikis konsep gotong royong dalam tradisi masyarakat kita.”

Memang, beberapa orang yang berpandangan agak kritis, pasti tidak akan melepaskan perbincangannya seputar keistimewaan dari dua hal ini. Bahwa keistimewaan sebagai diskursus sekaligus hegemoni.

Menurut WM, tentu tidak masalah jika keistimewaan dijadikan sebagai satu diskursus dalam rangka melakukan proses hegemoni. Yang penting, hilirnya adalah bagaimana seluruh komponen masyarakat Yogyakarta menjadi makmum dari kepemimpinan intelektual dan moral sebagaimana istilah Gramsci. Hilir tersebut haruslah mengarah pada rahmatan lil alamin sebagaimana dalam ajaran Islam.

“Tetapi, kalau keistimewaan itu diarahkan sebagai diskursus atau wacana publik dalam rangka melakukan proses hegemoni yang tidak berkelanjutan, artinya sebagai kata benda atau barang jadi, maka praktik ketidakadilan akan selalu menjadikan kebudayaan sebagai kambing hitamnya.”

Misalnya, ketika ada perampasan tanah dari rakyat petani, selalu akan ada penjelasan logis sebagai alibinya, seperti “demi kepentingan pembangunan”, yang itu justru bertolak belakang dengan spirit keistimewaan Yogyakarta, yakni rahmat bagi semua.

___________________

Artikel Terkait: