Satu sisi, peristiwa kespontanan dari pergerakan kaum perempuan melalui penolakan relasi hierarki ujaran bernafsu tetapi melecehkan membuat mereka tidak menerima perlakuan tidak adil. Hal ini menunjukan gambaran titik jenuh atas keadaan yang belum jelas kapan berakhirnya. Padahal, tanda kespontanan pergerakan kaum perempuan sama sekali tidak terilhami atau terpantulkan oleh pergerakan feminisme Barat di abad ke-18, 19, 20 hingga gelombang keempat.
Pada sisi lain, diskursus tentang seksualitas mencoba berlindung di belakang manusia bebas. Suara emansipasi kehidupan bersama memasuki hierarki ujaran di balik aura kekerasan atas kaum perempuan.
Dalam suara serak tertahan di tenggorokan berbeda dengan suara yang datang dari ‘ruang batin’ menentang arogansi kelamin pria (de-phallucentric). Pembicaraan atau gambaran yang menghina organ seks berarti penghinaan diri secara otomatis dalam kehidupan.
Selama sekian lama perjuangan simbolik dari kaum perempuan untuk menentang sistem kuasa patriarki. “Kelaminku, kehormatanku!” Katakanlah pada semua orang. Pentingkah ruang bebas, ekspresi bebas, atau masyarakat bebas?
Tahun 1994, pemikiran Barat telah mencapai titik klimaks tentang perempuan, seksualitas, dan tuntutan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Di tahun tersebut, pementasan The Vagina Monologues tergelar di bawah besutan Eve Ensler, penulis dan aktivis sosial.
Sebelum memasuki abad ke-21, tema pembicaraan masih mengarah pada cara eksistensi perempuan dan perubahan stigma perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Kelahiran feminisme Barat telah ditandai dengan teater kekerasan perempuan, gadis remaja, dan planet harus diakhiri. Jejak-jejak pergerakan eko-femenisme memungkinkan bisa terlacak dalam kurun waktu yang berlalu. Suatu masa, mekanisme perlawanan terhadap kekerasan perempuan tampil melalui karya seni pementasan. (vday, 14/7/2020)
Di Indonesia dalam dekade 90-an masih terdengar sayup-sayup. Jika tidak dikatakan tanpa pergerakan protes kaum perempuan terhadap kekerasan seksual. Asal-usul ujaran vulgaritas dan peristiwa kespontanan perempuan Barat tampak beriringan dengan lumpuhnya kritisisme kaum perempuan Indonesia atas akumulasi permasalahan yang cenderung mengibiri hak-hak manusia.
Secara khsusus, ujaran vulgaritas tentang organ seks masih teranggap tabu di tengah masyarakat yang memegang teguh tradisi dan budaya lokal. Selama itu, realitas yang ada adalah realitas yang masih sunyi dari suara protes, karena realitasnya telah terlucuti dan terasingkan di dunia lain.
Baca juga:
Runtuhnya kekuatan dari dalam tanpa semboyan “Kelaminku, kehormatanku!” membuat kita di saat tertentu bisa mempermainkan sebuah permainan yang lebih dekat dengan teater kekerasan. Kelupaan atau ketidaksadaran permainan gambar yang melecehkan organ seks kaum perempuan itulah sesungguhnya yang memalukan kita.
Padahal, jika kita tanya pada lubuk hati paling dalam, laki-laki manakah yang menolak poligami dan perempuan mana yang tulus menerima poligami? Sudahlah. Hal itu akan menjurus pada proses pengaburan terhadap pelecehan organ seks. Lucu dan aneh, bukan?
Lagi pula di negeri ini, melecehkan atau menghina salah salah organ seks memangnya dapat “Kelamin Award”? Meskipun awalnya iseng-iseng, kelamaan menjadi kenikmatan puncak yang terselubung. Bukan berarti jika ada kaum laki-laki yang bernada membela kaum perempuan bisa kita simpulkan ketinggalan zaman.
Di era digital, pembicaraan tentang kehidupan di bumi masih di seputar kekerasan seksual, pengalaman seksual yang konsensual dan non-konsensual, citra tubuh, perawatan vagina, pekerjaan seks, masa menstruasi, ragam umur, seksualitas, dan sebagainya dalam sudut pandang kaum perempuan. Belum lagi kita terlibat dalam tema pembicaraan tentang perbedaan di balik permukaan tubuh.
Seorang laki-laki melihat gambar organ seks melalui media sosial dan internet bukan hanya terdorong oleh obsesi terhadap sesuatu, tetapi juga ingin terlibat dalam sebuah proses penanaman dan penyebaran fantasi berahi. Kata lain, keterlibatan diri melalui “perayaan organ seks” yang tanpa tersadari telah menjatuhkan kehormatan perempuan. Sudah tentu kehormatan kelamin akan berbeda dengan ‘wujud tubuh yang terpusat’. Manusia sakit!
Kita bisa membayangkan, seks global memperbudak sebuah kampung tradisional. Di manakah kritisisme? Seseorang mengumbar organ seks berarti menelanjangi dirinya sendiri. Secara genealogis, kita perlu belajar sejarah dari kesalahpahaman tentang kelamin atau organ seks. (tirto, 5/7/2017)
Ada suatu argumentasi ketika melihat rentetan gambar bersuara di video, yang membuat kaum perempuan memprotes tidak ada kaitannya dengan feminisme di luar masyarakat lokal yang masih memelihara budaya malu. Di sini, kespontanan pergerakan protes, paling tidak ada dua kemungkinan jika sebuah kisah penghinaan organ seks kaum perempuan terangkat ke dunia film.
Pertama, menyangkut jenis kelamin yang terverbalisasi atau tervisualisasi melalui video. Ia dimainkan dalam representasi kaum pria tidak diterima oleh sutradara. Kemungkinan akan terjadi konflik.
Halaman selanjutnya >>>
- Kesantunan Politik, dari Teks ke Panggilan - 8 Agustus 2022
- Si Penggoda, Nafsu, dan Tubuhku - 21 Juli 2022
- Satu Gurauan Politik dan Suguhan Metafora Bakal Terjadi di 2024 - 7 Juli 2022