Kembalikan Borobudur pada Nilai Edukasi dan Kesuciannya

Dalam pemahaman Hindu, pada bentuk aslinya, hal tersebut lebih mudah ternyata dengan pemagaran yang jelas yang juga terbuat dari batu-batu andesit yang tertata sebagai pagar keliling. Di mana antar ketiga tahapan tersebut dibuatnya gapura-gapura yang berbeda. Menjelaskan kenapa pada masa lalu, candi-candi pelatakannya selalu pada kontur tanah yang tidak rata. Bagian paling profan, tentu saja pada titik paling bawah, meningkat terus hingga bagian tersuci pada titik paling atas.

Dalam Candi Borobudur, hal tersebut dinyatakan dalam apa yang dari bawah ke atas disebut sebagai:

(1) Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut “kamadhatu”, yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah.

(2) Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut “rupadhatu”, yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah.

(3) Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha disebut “arupadhatu”, yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang makin atas makin kecil ukurannya.

Di masa kini, dalam konteks Borobudur, bahwa ia terbagi dalam dua area pokok.

(1) Apa yang disebut Taman Wisata, ini adalah halaman luar yang sangat luas. Di dalamnya terdapat banya area yang melulu digunakan untuk wisata; ada taman, ada museum, ada area tunggang gajah, dan lain-lain. Sampai di sini pengunjung tetap bayar 50 ribu saja. Tentu saja, wisatawan di bawah apa yang dikategorikan sebagai wisatan yang non-educated, plesiran, dan ingin menatap candi dari bawah saja.

Hal ini umum dan lumrah di mana saja. Bahkan jika kita ke Pyramid Giza, atau ke Louvre, atau ke tembok China atau ke Amristar, India, kita tidak perlu harus masuk ke dalamnya atau naik ke puncaknya.

(2) Area Candi sebagai tempat religi dan edukasi sejarah. Di sinilah sebenarnya nilai heritage sesungguhnya. Apalagi bila Borobudur akan dikembalikan pada nilai kesakralannya, sebagaimana mungkin Kabah atau Loudres atau Kawasan Tiga Agama di Yerusalem. Ia memang tidak bisa dimasuki secara sembarangan, tanpa sebuah portofolio dan tujuan yang jelas. Tanpa sebuah kompensasi yang layak bukan atas dasar komersialisasi, tapi terutama justru menunjukkan urgensi dan nilainya.

Kalaupun rencana perubahan tiket itu terwujud dengan harga 750 ribu untuk turis domestik dan 100 US $ untuk turis asing juga apa salahnya? Bukankah dalam konteks wisata itu merupakan sebuah kehormatan bagi bangsa ini?

Akhirnya ada sebuah situs yang betul-betul “dihargai” menurut standar global. Dan bukankah hanya Borobudur satu-satunya yang bisa kita tonjolkan hingga saat ini? Bukan saja dari nilai kemegahan dan kebesarannya, apalagi bila korelasinya ia adalah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Apakah itu tidak bernilai sebagai wahana edukasi bagi generasi muda untuk belajar? Di mana pun situs terhormat dan terpenting sekalipun selalu ada yang namanya “kekecualian” atau previlege. Untuk pelajar bahkan cukup membayar 5 ribu rupiah saja.

Saya tentu saja 1000% mendukung Borobudur dikembalikan kepada fungsi aslinya, pada nilai kesakralannya bagi umat pendukungnya, dan tetap menjadi tempat arena belajar bagi siapa pun yang menginginkan dan membutuhkannya.

Bila hanya sekadar arena selfie dan arena uji ketahanan badan untuk bisa hiking? No way!

NB: Bagi saya, kontroversi dan perdebatan dalam masyarakat itu biasa dan justru harus disyukuri. Hal ini menunjukkan masyarakat yang sehat. Sebuah keputusan baru itu harus selalu diuji, untuk mendapatkan justifikasi yang kuat. Agar kebijakan itu juga tetap mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Persoalannya jadi tengik dan menyebalkan buat saya. Bila suatu keputusan tertentu, justru menjadi ajang mendeskreditkan seseorang siapa pun itu. Dan sebagaimana jamak akhir-akhir ini, LBP selalu selalu jadi objek fitnah itu.

Baca juga:

Jika kelak Kabinet Jokowi berakhir, kita akan selalu merindukan figur ini. Orang cerdas, nasionalis, pekerja keras, dan punya banyak kepedulian. Sebut saja satu nama yang setara dengan dirinya saat ini? Tralalala, tak ada!

Di lain sisi, saya membaca banyak para cerdik pandai yang berasal dari PTN terhormat justru terlalu cepat berpendapat. Namanya hanya untuk dicatut, sekadar konsumsi click bait yang menyesatkan cara pandang publik yang sialnya akan menganggapnya benar. Ia menganggap apa yang direncanakan ini sebagai komersialisasi. Sungguh absurd! Bila ia mengatakannya demikian, bukankah ia berasal dari PTN yang justru mengomersialisasikan ilmu yang dia jual kepada anak didiknya sendiri di tempat ia mengajar?

Gak fair, dong.

Upaya penyucian kembali Borobudur tentu tidak mudah, butuh waktu dan proses. Butuh sosialisasi dan edukasi lebih lanjut. Tapi saya pikir ini memang sudah pada momentumnya, tepat pada waktunya.

Hingga minimal perilaku tolol sebagaimana foto-foto di atas ini tak terjadi lagi.

*Andi Setiono Mangoenprasodjo

Warganet
Latest posts by Warganet (see all)