Kementerian Agama Adalah Hadiah bagi NU?

Kementerian Agama Adalah Hadiah bagi NU?
©Kurio

Nalar Politik – Pemerhati kebijakan publik Saidiman Ahmad merespons pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang Kementerian Agama sebagai hadiah bagi Nahdlatul Ulama (NU).

Pernyataan itu, menurut peneliti SMRC ini, sukses memantik diskusi kembali tentang hubungan Islam dan negara. Ia pun menarik satu teori yang punya keterkaitan erat untuk melihat sejarah pembentukannya di Indonesia.

“Ada satu teori yang menarik dibahas di sini, yakni dekonfessionalisasi,” tulis Saidiman dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/10).

Teori dekonfessionalisasi, jelas Saidiman, diperkenalkan oleh Van Nieuwenhuijze ke publik Indonesia. Mengutip keterangan mendiang Bahtiar Effendy, teori ini pada mulanya dipakai untuk melihat relasi akomodasionis antar-kelompok sosio-kultural dan politik di Belanda yang beragam.

“Dalam konteks Indonesia, Nieuwenhuijze melihat Indonesia pasca-kolonial menjadi arena pertarungan pelbagai aktor dengan latar belakang sosial-keagamaan yang majemuk (Islam, Kristen, nasionalis, sekuler, modernis, dan lain-lain).”

Namun terlepas dari perbeda-bedaan itu, kata Saidiman lebih lanjut, mereka semua rela melepas atau menunda agenda sosial-politik masing-masing untuk tujuan bersama, yakni negara yang merdeka dan modern.

“Kelompok Islam pun melakukan itu.”

Ada dua kasus yang menurut Saidiman diamati oleh Nieuwenhuijze untuk membuktikan tesisnya, yakni Pancasila dan pendirian Departemen Agama.

“Dalam kasus Pancasila, orang-orang Islam rela menanggalkan paham keagamaannya yang kaku untuk menerima Pancasila yang lebih terbuka. Penerimaan Pancasila, bukan Islam, bukanlah bentuk kekalahan politik kelompok Islam karena di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai Islam.”

Pancasila, terangnya kemudian, memiliki perspektif religius versi Nieuwenhuijze. Pembentukan Departeman Agama juga demikian. Lembaga ini adalah bentuk akomodasi negara pada kelompok agama, terutama Islam.

“Melalui Departemen Agama, negara seperti memberi jaminan bahwa agama akan tetap mendapatkan perhatian. Namun karena Indonesia dibangun sebagai negara modern, maka Departemen Agama tidak dibuat secara eksklusif hanya untuk umat Islam saja, tapi untuk semua agama.”

Baca juga:

Karena itu, tegas Saidiman, Departemen Agama tidak akan menjadi wadah bagi penerapan syariat Islam yang kaku, sempit, sektarian, dan skripturalis. Dan ini, menurutnya, berhasil memberi rasa aman bagi kelompok Islam bahwa mereka benar-benar diperhatikan.

“Pertanyaannya, kelompok Islam mana yang dimaksud di sini? Apakah Islam tradisionalis seperti NU, modernis seperti Masyumi, Muhammadiyah, atau fundamentalis seperti NII?”

Kontroversial

Akhir-akhir ini posisi Kementerian Agama memang kembali jadi diskursus hangat karena pernyataan Yaqut Cholil Qoumas. Ia mengklaim bahwa kementerian yang ia kelola merupakan hadiah negara untuk NU.

“Kemenag itu hadiah negara untuk NU, bukan umat Islam secara umum tapi spesifik NU. Jadi wajar kalau NU memanfaatkan peluang yang ada di Kemenag,” kata Yaqut (20/10).

Kendati telah meluruskan bahwa pernyataan tersebut disampaikan di forum internal dan bertujuan untuk memberi semangat kepada santri dan pondok pesantren, berbagai kalangan tetap melayangkan kritik.

“Setahu saya, sejarah Kementerian Agama tidak seperti yang disampaikan oleh Menteri Agama (Yaqut),” kata Abdul Mu’ti, Sekum PP Muhammadiyah (20/10).

Pengamat sosial, ekonomi, dan keagamaan Anwar Abbas turut menyayangkan pernyataan Menteri Agama yang dinilai intoleran.

“Pernyataan ini tentu sangat kita sayangkan, karena tidak menghargai kelompok dan elemen umat dan masyarakat lainnya,” kata Anwar Abbas (23/10).

Sementara itu, Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, menilai Yaqut mestinya mengevaluasi diri.

“Nah, mestinya Yaqut mengevaluasi diri. Jangan buat pernyataan yang kontroversial dan blunder buat dirinya dan Kemenag,” kata Ujang Komarudin (25/10).

Baca juga: