Kemerdekaan Belajar dan Transformasi Nilai

Kemerdekaan Belajar dan Transformasi Nilai
©YBT

Filosofi kemerdekaan belajar mentransformasi setiap individu untuk tumbuh menjadi pribadi yang kompeten.

Gerakan “Kebangunan Nasional” mencuat di awal abad ke-20 sebagai tanggapan atas sistem pendidikan kolonial yang bersifat intelektualistik dan materialis. Gerakan ini menjadi cikal bakal lahirnya Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Nadiem Makarim.

Merdeka Belajar merupakan sebuah afirmasi atas perubahan dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Tuntutan utama ialah agar peserta didik dapat bertumbuh sesuai kodratnya, yaitu bertumbuh secara bebas dalam pikiran, batin, dan tenaganya. Kekuatan potensial dalam diri anak dipacu untuk terus beradaptasi dengan segala perkembangan. Kemerdekaan belajar mendorong kemandirian anak untuk mengamalkan nilai-nilai kehidupan yang mengandung cita budaya dengan mengacu pada nasionalisme dan kultural.

Transformasi nilai harus berakar pada pola pembatinan nilai yang tumbuh dalam sebuah masyarakat. Pendidikan tidak hanya terbatas pada ruang akademis yang penuh dengan idealisme, tetapi lahir dari sebuah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai hidup yang mentransformasi individu menuju kebebasan.

Pada titik ini, kesadaran dan kemandirian merupakan fundamen lahirnya sebuah kemerdekaan belajar. Pengetahuan intelektual anak membawa mereka untuk bersikap adaptatif di tengah mobilitas sosial. Proses belajar melalui pembatinan nilai yang diterima dari sekolah formal membawa mereka menuju ruang pengalaman yang lebih luas.

Kemerdekaan belajar memperkuat dan membawa anak untuk menemukan modal sosial (capital sosial) yang sudah hidup dan bertumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang dimaksudkan adalah gambaran dari organisasi sosial yang di dalamnya memuat norma-norma dan jaringan sosial yang memungkinkan adanya kerja sama yang baik. Padanya, masyarakat dapat bertukar pikiran, saling berbagai pengalaman, kepercayaan, dan membangun dialog serta menciptakan rasa percaya akan satu dan lainnya.

Paus Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Asia menegaskan bahwa kultur Asia lebih kepada pencarian akan harmoni, bukan distingsi, sehingga kebenaran lebih dirumuskan dengan pola both-and, bukan either-on. Kebenaran yang lain diterima, bukan menyangkal. Bahasa yang lebih dibutuhkan adalah bahasa inklusif, bukan distingtif atau berciri paternalistik dan dominatif. Bukan pula menggunakan pendekatan doktriner, legal, institusional atau sekadar menggunakan pendekatan akademis-logis, namun tidak terbuka akan dimensi non-logikal dan simbolis.

Ciri seperti itu mudah dianggap pluralistik, bahkan sinkretik, dan mengarah pada relativisme. Paus Yohanes Paulus II memberikan penegasan bahwa situasi demikian akan mengurangi penghayatan yang mendalam terhadap kebenaran dalam masyarakat Asia (Krispurwana Cahyadi, SJ, 2011).

Kemerdekaan belajar memetakan arus balik pendidikan untuk makin mencintai nilai-nilai Pancasila, mencintai budaya dan kearifan lokal serta memperkuat solidaritas dan kesatuan bangsa. Kemerdekaan belajar tidak menjadikan orang bersikap individual, apatis, dan eksklusif, tetapi membuka ruang berpikir ke arah yang lebih luas, inovatif, dan transformatif dalam segala bidang kehidupan.

Masyarakat Indonesia yang berbudaya membutuhkan transformasi nilai-nilai budaya yang berakar kuat dalam masyarakat. Nilai-nilai itu diimplementasikan dalam hidup bersama sebagai bangsa yang satu.

Menyitir apa yang dikatakan oleh Ernes Renan bahwa syarat sebuah bangsa ialah le desire d’etre ensemble, yaitu kehendak untuk bersatu, sehingga menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu (Ir. Emanuel Babu Eha: 2013). Kebersatuan tersebut lahir dari kesadaran bahwa Kebangunan Nasional merupakan alasan legim seseorang berpartisipasi sebagai individu dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, individu didorong untuk memperjuangkan nasib orang lain sebagaimana ia telah diberikan kesempatan untuk mengubah hidupnya sendiri.

Baca juga:

Filosofi kemerdekaan belajar mentransformasi setiap individu untuk tumbuh menjadi pribadi yang kompeten, tangguh, dan memiliki respons yang baik terhadap nilai-nilai kehidupan yang telah lahir dari kebudayaan lokal maupun secara nasional. Gema kemerdekaan belajar merupakan panggilan untuk mendongkrak kekuatan kodrat dalam diri anak.

Kemerdekaan belajar dapat menumbuhkan Kebangunan Nasional yang memperkuat fondasi kebangsaan, baik dalam bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Dengan demikian, frasa nasionalisme bukan sebuah eksklusifisme bangsa, tetapi ruang transformasi menuju Indonesia yang unggul dan berdaya saing di tengah peradaban dunia.

Konstruksi Kebangunan Nasional tumbuh menurut kodrat seseorang yang telah bebas dari kungkungan intelektual yang eksklusif dan sempit. Keluar dari kungkungan intelektual berarti membutuhkan keseimbangan reflektif, yaitu sebuah keadaaan yang menuntun individu kepada keputusan yang dipertimbangkan.

Dengan demikian, kemerdekaan belajar harus mengarah pada teleologis dalam berpikir. Artinya, berpikir harus memiliki tujuan atau orientasi yang jelas dan bermakna. Kemerdekaan belajar menciptakan sebuah entitas baru dalam berpikir, yaitu equilibrium reflectif (keseimbangan reflektif).

Kekuatan reflektif membawa orang pada sebuah keputusan dan keyakinan yang dipertimbangkan. Keseimbangan reflektif merupakan keterhubungan antara pribadi dengan dunia. Keseimbangan ini membutuhkan ruang kemerdekaan untuk berpikir. Namun, keadaan tersebut tidak membuat manusia teralienasi dari dunia, melainkan membangun sebuah dunia dengan kejernihan berpikir dan reflektif.

Berpikir secara reflektif berarti bertanggung jawab terhadap realitas dunia. Nilai-nilai yang diterima diproses melalui pembatinan dan dikembangkan dalam pengalaman sebagai individu dalam lingkungan sosial masyarakat, sehingga peserta didik dapat hidup sebagai orang-orang yang merdeka, nasionalis, demokratis, dan toleran yang menguatkan solidaritas menuju Indonesia yang lebih harmonis.

Iron Sebho
Latest posts by Iron Sebho (see all)