Kena Sindir, Rian Ernest Kecewa Presiden PKS Melipir ke Sana Kemari

Kena Sindir, Rian Ernest Kecewa Presiden PKS Melipir ke Sana Kemari
Ilustrasi: Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman & Politikus PSI Rian Ernest

Nalar PolitikPolitikus PSI Rian Ernest tampak kecewa dengan sikap yang ditunjukkan Presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Mohamad Sohibul Iman. Kala kena sindir dari Nadirsyah Hosen, Sohibul tampil hanya bisa melipir ke sana kemari.

Alih-alih merespons sindiran dari dosen hukum di Universitas Monash itu, Sohibul justru menjadikan isu Tax Amnesty sebagai bahan pelarian belaka. Sohibul tak menjawab sindiran apa-apa soal gaduh politik dan sentimen SARA yang disebut-sebut bersumber dari tiadanya oknum PKS dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK.

“Pak Nadirsyah Hosen, doktor hukum dan pengurus NU, menyindir PKS soal kegaduhan politik dan sentimen SARA yang terjadi karena PKS tidak ada di dalam pemerintahan. Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman menjawab, tapi melipir, jelaskan panjang lebar soal isu Tax Amnesty yang sudah lama lewat,” kicau Rian.

Padahal, ada banyak kegaduhan politik dan sentimen berbau SARA yang menyebar di mana-mana. Di Jawa Barat, misalnya, di bawah kepemimpinan Gubernur Ahmad Heryawan selama 10 tahun, wilayah ini menjelma jadi daerah paling intoleran untuk 2 tahun terakhir.

“Belum lagi mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo dan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang sukses berompi oranye (kena tangkap KPK). Mereka (termasuk Ahmad Heryawan) adalah anggota PKS.”

Hingga tak salah jika Rian kecewa lantaran Presiden PKS Sohibul tidak juga menjawab sindiran kritis dari Nadirs. Bahwa ada pertanyaan yang tidak terjawabkan, yang penyebabnya sangat mungkin karena pelakunya sendiri adalah kerabat Sohibul, kader/anggota PKS. Ia tampak mendiamkan masalah, terkesan menutup-nutupi sesuatu yang sebenarnya sudah jadi rahasia umum.

Kerja, Kerja, bukan ‘Warning-Warning’-an

Meski begitu, Rian tetap memilih untuk berdiskusi tentang kebijakan Jokowi di bidang pembangunan infrastruktur, termasuk soal pertumbuhan ekonomi dan Tax Amnesty yang Sohibul jadikan bahan pelarian itu.

“Perkenankan saya ikut nimbrung. Silakan dikritisi. Pemerintahan Jokowi sadar betul bahwa pembangunan infrastruktur tidak bisa ditunda, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi Indonesia.”

Indonesia, lanjut Rian, sudah terlalu lama tertinggal dari negara lain. Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, rata-rata rasio PDB terhadap infrastruktur hanya 1,6 persen.

“Bandingkan dengan China dan India yang, di masa yang sama, masing-masing 5,3 persen dan 7,3 persen. Di masa Jokowi, besarannya jadi 3-4 persen. Mau tidak mau, Tax Amnesty jadi jalan.”

Jokowi pun, jelas Rian kembali, siap untuk tidak populer di parlemen ketimbang harus menghentikan program kesejahteraan rakyat. Itu tampak dari tentangan PKS di parlemen sebagaimana Sohibul jelaskan gamblang dalam kicauan.

“Itulah ketegasan Jokowi. Tegas, tidak perlu pakai berbagai pidato ‘warning-warning’-an ala partai satu itu. Dan siap tidak populer, karena memang dampak ekonomi dari pembangunan infrastruktur akan terasa di jangka panjang. Jokowi tegas serta negarawan. Berpikir jangka panjang (visioner).”

Terkait isu Tax Amnesty yang Sohibul sampaikan, Rian mengakui bahwa dari 3 program TA, baru ada satu yang mencapai target. Program itu adalah deklarasi aset sebesar 4,855 triliun atau 121 persen dari target. Sementara yang lain, yakni pendapatan pajak dan repatriasi, belum atau tidak mencapai target.

“Tapi, ada dua hal di sini: (1) target pendapatan pajak memang terlalu ambisius dikarenakan basis wajib pajak yang kurang kuat dan (2) aset di luar negeri bukan hanya aset cair, melainkan properti dan surat utang. Bagaimana bisa repatriasi?”

Untuk Tax Reform yang juga Sohibul sempat singgung, Rian pun sepakat. Hanya saja, catat Rian, republik ini lebih membutuhkan dana segera guna pengembangan jaringan infrastruktur sebagai misi besar pemerataan ekonomi.

“Apakah bisa rakyat menunggu terlalu lama? Inilah ketegasan Presiden kita Jokowi!”

Meski demikian, Rian tetap mengimbau kepada semua agar soal tersebut jadi PR bersama. Bahwa program Tax Reform harus senantiasa dikawal, mengejar tax rasio dari PDB Indonesia yang masih sekitar 10 persen, tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang sekitar 15 persen.

“Mari kita Kerja, Kerja, Kerja! Bukan warning, warning, warning! #GenerasiOptimis,” tutup Rian.

Biang Kerok

Sebelumnya, Sohibul mengaku curiga bahwa media di era Presiden Jokowi hari ini terlalu usil kepada Kabinet Kerja. Sejumlah beritanya, menurut Sohibul, tidak ada yang masuk akal sama sekali.

“Coba aja, orang miskin diminta diet, rakyat disuruh nanam cabe sendiri, cacing parasit disebut sumber protein, dan seterusnya. Apa iya menteri-menteri asbun (asal bunyi)? Presiden (Jokowi) jelas minta agar kritik pake data,” ungkapnya.

Membaca itu, Nadirs kemudian hadir dengan sindiran kritis. Tulisnya, ada yang bilang bahwa kegaduhan politik di masa Jokowi itu karena PKS tidak ada dalam pemerintahan.

“10 tahun di masa SBY gak ada isu SARA, meski LHI kena tangkap KPK, HRS dipidana, dan lain-lain. Jadi, biang kegaduhannya itu PKS. Saya sih gak percaya. Mosok PKS kayak gitu?”

Tak mau terpojok, Sohibul pun mencoba mengklarifikasi. Bahwa tanpa PKS lakukan kritik yang gaduh, pemerintahan hari ini sudah gaduh dengan sendirinya. Sebabnya, tegas Sohibul, karena negara ini dikelola secara amatiran.

“Hal-hal basic administratif aja belepotan, apalagi kebijakan.”

Adapun contoh sikap subtantif dan tidak gaduhnya PKS, klaim Sohibul, bisa dilihat dari penolakan UU Tax Amnesty.

“Saat bang LBP datang ke DPP PKS disertai beberapa ekonom hebat lulusan Amerika, saya sampaikan, PKS tidak haramkan TA, asal didahului Tax Reform. Tapi, LBP keukeuh, TA harus sekarang dan TR nanti aja. Ya kami tolak.”

Begitulah kicauan-kicauan Sohibul. Masih banyak lagi kicauan lainnya yang, alih-alih ingin memberi pemahaman tentang kebijakan ekonomi era Jokowi, Sohibul jadikan sebagai bahan pelarian. Sohibul melipir ke sana kemari karena tak mampu merespons sindiran yang tertuju pada dan untuk golongannya.

___________________

Artikel Terkait: