
“Nak, kampung kita dilahirkan di dalam hati para penyair, tetapi makmur dan mati di tangan politikus!”
“Mati? Lalu siapa yang menyanyikan requiem atau barangkali elegi untuk kampung itu dan membangkitkannya lagi?”
“Mungkin mimpi anak muda yang teguh di kampungmu atau juga mimpi-mimpimu, nak.”
“Mm..mm..mimpi-mimpi saya, kek?”
Di samping ranjang, kakekku kaget hebat melihat aku yang terpelanting. Sambil terkekeh ia bertanya, “Lalu bagaimana dengan mimpimu dan kunang-kunang, kenangan dari penyair itu? Sudah ketemu. kan?”
Dulu, biasanya, sebelum aku menyerahkan diri pada tidur, kakek sering menghiasi bunga tidurku dengan dongeng atau petuahnya yang panjang. Sudah begitu, maka dalam tidur aku akan berjumpa dengan mimpi-mimpi yang mekar.
Sering kakek bercerita tentang perjuangan orang muda tempo doeloe di daerahku, semisal Marilonga, Bhara Nuri, Teka Iku, atau tentang kisah gunung Ia, Meja, dan Wongge.
Mendengar cerita kakek, aku jadi rindu pada kampung halaman atau lebih tepatnya saat kakek bercerita ada semacam rasa senang yang membuncah. Pokoknya, menyimak cerita kakek, rasanya ngere emba*gitu.
Tak lupa kakek juga bercerita tentang cantiknya putri kerajaan dan banyak pangeran begitu tergila-gila dan ingin mempersunting putri kerajaan. Itu sudah lama sekali terjadi sebelum aku mampu membedakan kriteria kecantikan seorang wanita, bahwa yang cantik itu relatif.
Cantik bukan dari tebalnya gincu di bibir yang ranum. Cantik bukan dilihat dari operasi plastik seperti para artis yang selalu berpenampilan aduhai. Bukan juga seperti Ratna Sarumpaet biang hoaks itu. Tetapi cantik terlihat dari isi di balik dada, hati yang elok dan sahaja.
Tentang mendongeng, kakek selalu membuat aku penasaran. Dan sebelum rebah menjemput lelap, tanda tanya sudah menggantung di mataku dan akan segera terlelap dalam tempurung kepalaku.
“Usai melangsungkan nikah di zaman Sitti Nurbaya, pangeran membawa tuan putri ke kamar dan tiba-tiba lampu padam…”
“Lanjut, kek.”
“Kamu sudah ngantuk. Tidur dulu, ya. Esok baru lanjut. Selamat malam.”
Aku masih penasaran dan kakek sudah meninggalkanku.
Sebelum tidur, aku berandai-andai tentang akhir dari potongan cerita kakek. Mungkin putri kerajan diculik orang, mungkin pangeran ditikam tuan putri, mungkin kakek sudah ngantuk berat, mungkin kakek sudah pikun, akh! Dasar kakek.
Ini bukan sekali terjadi. Tetapi setiap kali kakek mendongeng, selalu menyisahkan akhir cerita yang membuat aku bertanya-tanya. Padahal kau tahu, aku adalah tipe orang yang suka sekali mendengar cerita-cerita dari zaman antah-berantah.
Entahlah mengapa kakek selalu membuat klimaks cerita yang gantung dan menggemaskan.
Pernah suatu malam aku mati-matian membujuk kakek melanjutkan petuahnya tentang masa depanku setelah dengan panjang lebar kakek menarasikan tingkah para bandit negeri yang mencuri uang haram milik negara. Untuk anak seumuranku, aku belum terlalu paham betul cerita kakek, apalagi tetek bengek atau prahara tentang mereka yang punya embel-embel politikus.
“Suatu hari, bila kau jadi orang pintar, jangan coba-coba menjadi politikus. Jangan buat pertiwimu menangis lagi. Sebab sudah berulangkali pertiwimu dilukai dan dikhianati anak kandung sendiri. Ya, seperti Pak Lamber, Ketua RT yang tambun di samping rumah kita itu. Tapi kalau mau jadi politikus, harus benar-benar mengemban amanat rakyat. Sebab menjadi politikus itu juga adalah tugas mulia, nak!””
“Kek, apa itu politikus?”
“Tentu politikus bukan sejenis mobil mainan kamu, nak.”
“Lalu politikus itu apa, kek?”
Sementara aku bertanya, seekor tikus yang lincah nyerocos di bawah meja makan.
“Hehehehe… itu, nak, politikus yang sering mencuri beras di kelurahan kita.”
Kakek tertawa terpingkal-pingkal. Sedang aku hanya menatap kakek penuh tanya. Baru kali ini aku melihat kakek tertawa begitu riang. Sampai-sampai air matanya runtuh dan menetes di pipinya yang keriput.
“Kek, kalau begitu, aku juga tak mau jadi tikus.”
“Politikus, nak.” Kakek membetulkan pembicaraanku.
“Tikus itu kotor, nak, sering bermain di comberan. Kau harus banyak baca, nak, agar tidak ditindas idealisme busuk mereka yang hanya berkoar-koar, memberi janji tetapi tidak ditepati, ya akhirnya janji tinggal janji.”
“Lalu aku harus jadi apa, kek?”
“Jadilah penyair, nak!”
Sebelum aku bertanya siapa itu penyair, kakek telah berlalu pergi meninggalkan sebuah buku yang amat tebal.
Seperti biasa, sebelum pergi, kakek mengusap-usap rambutku dan mendaratkan sebuah kecupan kasih di keningku yang hening. Aku tak puas, lalu bangun dan mengejar kakek.
“Kek, penyair itu bagimana? Ia bukan penjahat yang sering menggunakan pistol atau pisau seperti di TV yang sering kita tonton, kan?”
“Hahaha, tentu bukan, nak.”
“Lantas apa, kek?”
“Sssssttt!!! Jangan main-main dengan penyair. Awas, ia sering menembak orang dengan sajak-sajak atau menghunusmu dengan tajam pisau kata-kata.”
Aku bingung dengan pembicaraan kakek barusan. Aku masih ingin mencari tahu tentang penyair, tetapi kakek sudah lebih dulu mengunci bibirku dengan telunjuknya dan memberiku sebuah buku.
“Bacalah buku ini, kau akan paham bagaimana, apa, dan siapa itu penyair. Tidurlah, nak. Semoga mimpimu indah dan kau bisa bertemu dengan penyair yang sedang menganyam kata-kata.”
Aku masih belum mengerti. Terpaksa aku pulang ke bilik sempitku, sambil menyelipkan kecewa di dada.
Malam ini, tanya berkelebat di dinding-dinding kamarku tentang penyair yang diceritakan kakek. Sedang di atas meja, buku yang diberikan kakek menjelma semacam ribuan kunang-kunang yang menghiasi langit malamku yang sepi dan gelap.
Aku takut serempak tersenyum sumringah. Sebab keindahan semacam ini adalah hal langka yang kualami untuk seorang anak lugu sepertiku.
Mungkin kakek benar, aku mesti membaca buku itu, siapa tahu penyair yang diceritakan kakek semacam kunang-kunang ini atau penyair ada dalam buku ini. Juga bila nanti aku benar-benar menjadi penyair, maka malamku dihiasi dengan ribuan kunang-kunang yang indah memesona.
Melihat kunang-kunang, aku jadi penasaran tentang penyair. Malam ini, tidurku jadi lebih berwarna.
***
Di gurun ini, terbentang padang ilalang. Sehingga tak banyak yang kutemukan dan kurasakan selain matahari yang gugur di atas ubun-ubun. Guyuran kicau ceracau burung-burung di ranting kering yang sebentar lagi akan mengeluarkan derak pasrah manakala ditebang angin yang patah dari dahan musim.
Dengan kaki yang telanjang, aku menyusuri gurun. Entahlah, tiba-tiba aku berada di sini sendirian.
Dari jauh, di bawah naungan pohon bidara, mataku menangkap seorang lelaki paruh baya yang sedang asyik membaca buku. Bisa dipstikan huruf-huruf di buku itu sampai takut dilahap mata lelaki paruh baya itu sebab sorot matanya yang letih begitu nyalang.
Aku makin mendekat. Dan jelaslah kini kakek yang jenggotnya sudah uban belum menyadari kehadiranku. Aku bisa melihat judul buku yang sedang dibacanya, Negeri Para Bedebah. Aku ingin bertanya. Tetapi, sebelum memuntahkan tanya, ia lebih dulu bertanya.
“Mengapa kamu ke sini, nak? Apa kabar dengan matamu? Mau mencari siapa, nak?”
Aku jadi bingung sendiri. Sejak tadi aku memang tak tahu aku bisa berada di padang ilalang. Aku berpikir keras saat dihujani tanya.
“Cari siapa, nak?” Ia menepis kebingunganku.
“Em..emm..cari penyair.”
Bukan kepalang, ia begitu kaget dan dengan sedikit cekatan ia mengambil secarik kertas di saku bajunya yang usang untukku.
“Bacalah tulisan ini, nak. Kelak kau akan mengerti mengapa kau bisa berada di sini dan di manakah sebenarnya penyair yang kau cari itu berada.”
Dengan sedikit sangsi, aku menerima kertas lusuh itu, sedang ia melemparkan senyum paling dingin. Kami beranjak dari tempat ini dan menuju pada entah. Dalam perjalanan, kakek itu memecahkan sunyi dengan bercerita.
“Nak, kampung kita dilahirkan di dalam hati para penyair, tetapi makmur dan mati di tangan politikus!”
“Mati? Lalu siapa yang menyanyikan requiem atau barangkali elegi untuk kampung itu dan membangkitkannya lagi?”
“Mungkin mimpi anak muda yang teguh di kampungmu atau juga mimpi-mimpimu, nak”
“Mm..mm..mimpi-mimpi saya, kek?”
Di samping ranjang, kakekku kaget hebat melihat aku yang terpelanting, sambil terkekeh ia bertanya, “Lalu bagaimana dengan mimpimu dan kunang-kunang, kenangan dari penyair itu? Sudah ketemu, kan?”
catatan:
*Ngere emba (Ende): bagaimana
- Stephanie dan Kopi Kenang-Kenang - 27 Februari 2020
- Buku Harian - 15 Desember 2019
- Mawarani - 5 Oktober 2019