Kenapa Psi Tolak Perda Berbasis Agama

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan meningkatnya perhatian terhadap perda (peraturan daerah) berbasis agama. Di tengah pro dan kontra yang mengemuka, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengambil sikap tegas menolak penerapan perda tersebut. Apa yang melatarbelakangi keputusan ini? Mengapa PSI menganggap bahwa kecenderungan ini berpotensi merugikan? Mari kita telaah lebih dalam fenomena ini.

PSI, sebagai partai yang relatif baru di kancah politik nasional, memiliki visi yang pragmatis dan inklusif. Salah satu argumentasi utama PSI menolak perda berbasis agama adalah karena adanya kekhawatiran akan meningkatnya sekat-sekat sosial di antara masyarakat yang majemuk di Indonesia. Dengan populasi yang terdiri dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan budaya, imposition of religious-based regulations can potentially create divisions that undermine the essence of unified diversity, which is the hallmark of the Indonesian nation.

Salah satu isu krusial yang diangkat oleh PSI adalah bahwa perda berbasis agama seringkali menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Dalam konteks ini, perilaku intoleran merefleksikan pergeseran nilai-nilai sosial yang harus dipertahankan dalam masyarakat yang pluralistik. PSI berpendapat bahwa setiap individu, terlepas dari keyakinan agamanya, harus memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dengan harmonis. Pengaturan yang terlalu ketat berbasis agama berisiko akan menimbulkan rasa ketidakadilan yang mendalam.

Selain itu, PSI menilai bahwa perda berbasis agama sering kali dibidani oleh kepentingan politik tertentu, di mana elite politik menggunakan simbolisme agama untuk meraih dukungan pemilih. Fenomena ini menciptakan distorsi dalam pengambilan kebijakan publik yang sebenarnya harus berpihak kepada kepentingan semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama. Dengan demikian, loss of objectivity dalam proses legislasi dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat luas.

Meneliti lebih jauh, maraknya perda berbasis agama juga dapat dihubungkan dengan pola pikir konservatif yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Dalam agenda yang diusung PSI, terdapat harapan untuk mendorong masyarakat ke arah pandangan yang lebih progresif dan berorientasi pada hak asasi manusia. Dengan menolak perda berbasis agama, PSI ingin menyampaikan pesan bahwa cara terbaik untuk mempromosikan kesejahteraan adalah dengan dialog dan kerjasama antarumat beragama, bukan dengan pembatasan berdasarkan dogma.

Penting untuk dicatat bahwa penolakan PSI terhadap perda berbasis agama bukan berarti menafikan eksistensi agama dalam kehidupan sosial-politik. Sebaliknya, PSI mengajak masyarakat untuk melihat peran agama sebagai sumber moralitas dan etika yang tidak dapat dipisahkan dari upaya membangun kebersamaan. Namun, pengimplementasian nilai-nilai agama dalam ranah publik harus dilakukan dengan cara yang kontekstual dan inklusif, memastikan bahwa semua suara didengar dan dihormati.

Ketika menggali lebih dalam, kita juga harus memahami dampak dari penerapan perda berbasis agama terhadap sistem hukum dan tata kelola pemerintahan. PSI berpendapat bahwa kehadiran perda ini menghasilkan legalisasi diskriminasi, dengan menciptakan keragu-raguan hukum bagi mereka yang tidak sejalan dengan interpretasi tertentu terhadap ajaran agama. Hal ini berpotensi merusak integritas lembaga-lembaga negara serta melemahkan otoritas hukum yang seharusnya bersifat universal dan adil.

Di sisi lain, PSI juga menyoroti pentingnya pendidikan dan kesadaran masyarakat sebagai senjata ampuh dalam menanggulangi permasalahan ini. Dengan memberikan pendidikan yang inklusif dan berbasis pada pemahaman yang mendalam tentang keberagaman, masyarakat akan lebih siap untuk merangkul perbedaan dan menolak keras segala bentuk diskriminasi. PSI tidak hanya berharap untuk menjadi penggerak politik, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan kesetaraan.

Bandingkan berbagai pendekatan yang diambil oleh PSI dengan partai-partai lain yang mungkin lebih bersikap konvensional dalam menyikapi masalah ini. Pendekatan yang berbeda ini menunjukkan bahwa ada banyak jalur yang dapat diambil dalam mengatur kehidupan sosial di Indonesia. Namun, PSI memilih jalan yang menuntut keberanian dan inovasi, memperjuangkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan berorientasi masa depan. Dalam konteks ini, PSI berpeluang besar untuk menggugah pemikiran masyarakat serta mendorong diskusi yang lebih substansial seputar isu-isu penting dalam kehidupan berbangsa.

Ke depan, mari kita terus merenungkan dan berdialog mengenai peran agama dalam kehidupan sosial. Kita perlu menegaskan kembali bahwa pluralisme bukan hanya sekadar sebuah konsep, tetapi harus menjadi jiwa yang menghidupi berbagai kebijakan yang diambil. Dengan mengikuti jejak langkah PSI, diharapkan kita dapat mengembangkan cara baru dalam merespons tantangan-tantangan yang ada, memastikan bahwa semua lapisan masyarakat merasa diakui dan dihargai.

Related Post

Leave a Comment