
Aku ini tak tahu apa-apa
Gugup dan gagap dalam lisan
Memperjuangkan nasib yang kerontang
Mempercayakanmu yang katanya tahu segala
Untuk menyibak keluh-kesah dari balik dada
Padamu aku menaruh harap
Di saat engkau terlena dengan kuasa
Aku menegur dengan puisi biasa
Jangan anggap sedang membencimu
Apalagi dipelintir jadi caci-maki
Mengancam lapor ke polisi
Dijerat pasal-pasal karet
Saat kritik-kritik disajikan kepadamu
Jangan engkau menatapku tajam
Bak radar angkatan siap tempur
Lalu balik bertanya: “mana solusinya?”
Lah, bukankah engkau sudah bilang
Ingin menjadi pemberi solusi atas problem
Jika aku harus mencari solusi untukmu
Kenapa engkau digaji negara?
Bukankah ini problem di atas problem?
Politisi Berpuisi
Kulihat seorang politisi
Sedang membacakan puisi
Di depan layar televisi
Harum mewangi bak terasi
Nikmat kalau dimbah nasi
Namun sayang sudah basi
Hanyalah bualan imajinasi
Dan akan menjadi ilusi
Kemudian aku pun menulis puisi
Di sehelai kertas yang masih bersi
Yang kunamakan “politisi berpuisi”
Semoga dia tidak merasa risi
Surat Anak Petani kepada Pelayan Berdasi
Selamat malam, tuan
Maaf, malam-malam aku mengetuk hatimu
Entah ini sudah malam atau masih pagi
Sebab kulihat mukamu semakin gelap saja
Aku menulis surat ini untukmu yang dulu kucintai
Hati bergetar, tangan gemetar, pena terbata-bata
Aku ini anak petani, tuan
Lahir dari dua musim: semi dan gugur
Hidup dari buah-batang ibu-bapak:
Buah-batang kelapa, pepaya dan singkong
Rumpu-rampe, jagung titi, tuak putih, kopi hitam
Di bawah bilik beratap alang-alang
Aku ingin bertanya kepadamu, tuan:
Apa yang sedang engkau cari di dunia ini
Sampai-sampai melacuri harga diri
Demi kenikmatan duniawi semata
Menjarah pajak yang kami sumbang di rumah kami
Lalu berkelit seolah-olah tak terjadi apa-apa
Maaf, tuan, kupikir anjing buncit-ku saja yang rakus
Mencuri singkong bakar di atas balai bambu ini
Tapi kumaklumi, kelak bisa ditukar sesen rupiah
Sedang engkau, tak dapat mendatangkan apa-apa
Justru menumpuk derita untuk kaum papah
Tak seperti awal sebelum engkau menjadi manusia
Di atas panggung mengunya kekata paling romantis
Serecup asa terpancar dari binar matamu nan teduh
Banyak orang jatuh cinta di bilik-bilik suara
Namun kini tertipu oleh rayu manis puisimu
Tidakkah engkau tahu, tuan
Banyak pembantu malang di negeri jiran
Kerja kerasnya kadang tak dihargai
Dipulangkan ke negeri asal tanpa nyawa
Sedang engkau pelayan berdasi
Berleha-leha di atas kursi empuk
Sudah dikasih hati minta jantung pula
Tuan, aku menanti lima tahun yang akan datang
Rindu ini kian terbakar seperti api dalam sekam
Jika waktunya telah tiba bersua di bilik coblos
Akan kukecup mukamu dengan liur
Lalu kucakar-cakar dengan paku tajam itu
Bila perlu kujadikan orang-orangan sawa
Menakut-nakuti babi hutan dan tikus-tikus
Sebab hatimu kini paling seram bin horor
*Rumpu-rampe, jagung titi: makanan khas orang Lamaholot, NTT
- Puisi Rumit - 17 Januari 2020
- Kontemplasi - 6 Januari 2020
- Hargailah Puisi - 21 Desember 2019