Mencintai itu memilukan
Bakas nama menjadi laut yang banyak cemarnya
Selebihnya seperti sajak lalu tidak tahu siapa penyairnya
Dan kau aman jadi cuaca atau langit tanpa ada yang mengubah namanya
Aku jadi orang asing bagimu
Tidak lebih dari satu wajah yang terperangkap jelas di kepalamu
Sejak saat itu, kau tak mampu menyanyi atau menghitung sesuatu tanpa
Merasakan jari-jariku lagi
“E” kusayang biarlah sajak ini menjadi senja yang sendu yang pernah basah dikepalamu
Dan itu adalah kesibukanmu menebak siapa yang pernah mencintaimu tanpa luka
Ledalero, 2019
Malam Minggu
Sesekali aku ingin mengajakmu
Menikmati secangkir teh atau kopi sambil membicarakan sesuatu yang kau sukai
Menjelma jadi puisi rindu yang sering kau baca sebelum tidur
Aku ingin kau tetap di sini menikmati secangkir teh atau secangkir kopi bersama sepiring roti
Agar kau mengerti aku tidak akan membiarkanmu benar-benar tenggelam pada kata
Yang memburumu pada malam minggu yang kemudian
Barangkali biarlah aku menjadi abu
Kau tetaplah menjadi api yang berkali-kali membakar rinduk
Ledalero, 2019
Sekolah Minggu
Bagimu tubuh adalah puisi
Yang lupa dibacakan untuk Tuhan
Dari senin sampai jumat kau memesan sebuah hari
Yang terus memberi: sabtu
Puisimu begitu panjang sebab Sabtu begitu singkat
Dan jiwamu masih mencari hari yang cocok yang sering kau lupa
Minggu. Pada kedalaman Minggu pagi
Kau awali puisi dengan tobat
“Tuhan, semoga tobatku berkenan mengubahku”
Air matamu jatuh dengan bengis
Dan kau membacakan puisimu sesuai dengan irama dan sunyi
Sebagai sebuah penyesalan. Kau terus membacakan puisimu
Sambil mengingat pelajaran agama yang kau pelajari di sekolah
Tentang sepuluh perintah Allah yang sering kau langgar berkali-kali
Ledalero, 2019
- Bidadari Terakhir - 20 April 2020
- Surat Cinta untuk Adonai - 20 April 2020
- Ennu - 19 April 2020