
Dalam khazanah literatur klasik, politik secara sederhana adalah usaha yang dilakukan oleh warga (citizen) untuk menciptakan kebaikan bersama. Implikasi dari itu adalah manusia akan senantiasa melakukan berbagai cara untuk mewujudkan cita-cita kebaikan bersama, yang salah satu penopang utamanya adalah kepercayaan publik, selain partisipasi politik.
Inilah yang disebut oleh Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politicon. Sebab pada hakikatnya manusia mampu bernalar dan memahami makna esensial tentang perkara kebaikan-keburukan serta keadilan-penindaan. Atas dasar itulah sehingga manusia mampu mewujudkan kebaikan bersama secara terorganisir.
Lantas, ketika keadilan bersama telah terwujud, maka manusia akan mencapai euidaimonia (kebahagiaan).
Dalam hal teori politik kenegaraan, ada sebuah teori yang amat terkenal, yakni teori pemisahan kekuasaan (ditribution of powers). Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles, John Locke, maupun Montesquieu. Bahwa terdapat satu kekuasaan yang punya wewenang dalam membentuk peraturan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif yang secara kelembagaan disebut sebagai parlemen.
Hal tersebut masih banyak diadopsi dalam konsep negara modern hingga sekarang ini, termasuk Indonesia. Landasan bahwa kedaulatan di tangan rakyat, maka dewan perwakilan rakyat menjadi badan yang berwenang menyelenggarakan kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, politik kemudian banyak yang disalahpahami. Politik dikonotasikan sebagai hal yang negatif. Makna politik pun direduksi menjadi muslihat-muslihat bebas nilai, yang membenarkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Inilah yang membuat orang risih terhadap kata politik.
Selain risih, hal parah dalam masyarakat adalah fenomena buta politik. Buta politik menyebabkan hilangnya partisipasi politik masyarakat. Padahal, sadar atau tidak sadar, regulasi yang hadir itu merupakan produk politik.
Historisitas dan filosofi politik kebangsaan kita tentu telah melalui proses pergumulan dan pergulatan pemikiran yang panjang. Dalam sistem pemerintahan pra-kemerdekaan, kita pernah menganut sistem pemerintahan monarki. Kemudian dijajah oleh pemerintahan Hindia Belanda. Lalu mencoba sistem tata kelola negara yang lebih modern.
Kenyataan ini adalah bentuk perkembangan kapitalisme dalam rupa imperialisme. Dalam hal ini, pemerintahan Hindia Belanda melakukan penjajahan politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Dalam pola penjajahannya tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan fisik dan perbudakan bagi penduduk nusantara. Hal inilah yang menyulut perlawanan para raja, tokoh agama, pemuda, serta elemen masyarakat untuk keluar dari penjajahan tersebut dan mencita-citakan kemerdekaan.
Tepat tanggal 17 Agustus, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan sebagai buah hasil atas perjuangan melawan penjajahan dengan dasar cita-cita kedaulatan rakyat (demokrasi) di Indonesia dan telah tertancap kuat dalam sejarah politik Indonesia. Stimilusnya bersumber dari corak masyarakat gotong royong, asas kesetaraan, persaudaraan, dan unsur religiusitas sebagai nafas perjuangan. Semangat awalnya didorong atas kehendak untuk merdeka dari represi politik dan ekonomi kolonialisme-kapitalisme.
Dalam pidato Soekarno, secara gamblang mengatakan bahwa tugas kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri sedangkan tugas kami adalah melawan bangsa asing.
Jika diresapi, apa yang dikatakan beliau memang benar adanya. Bahwa hari ini kecenderungan perpolitikan bangsa Indonesia didasari atas perebutan kekuasaan semata. Banyak menguras energi, sehingga wajar jika banyak para aktor politik lupa cita-cita awal pendirian bangsa ini, hingga menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik.
Kenyataan ini bisa kita saksikan bagaimana kondisi demokrasi bangsa Indonesia yang tidak sedikit terjangkit patologi sosial seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Telah sering kita saksikan bersama lewat berita, mulai dari pemerintahan pusat, daerah hingga ke desa-desa. Data korupsi Indonesia menurut ICW bahwa dalam kurun waktu 6 bulan mulai 1 Januari 2017 hingga 30 Juni 2017, ada 226 kasus korupsi di Indonesia.
Belum lagi kebijakan tambal sulam yang dibuat oleh pemerintah yang jarang menyentuh substansi persoalan. Yang ada, programnya masih berupa program titipan kontraktor. Tidak salah jika kita mengatakan bahwa politik kebangsan kita masih cenderung kapitalistik.
Hal ini boleh kita saksikan dalam draft APBD di mana program yang dicanangkan masih terkesan seremonial. Tujuan ini mulia, tapi bukan ini substansi persolan kebangsaan kita. Tidak hanya lahirnya PERDA yang tidak mengakomodir maupun malakukan konsultasi terlebih dahulu kepada publik. Hal ini membuktikan bahwa oknum pemerintah setengah-setengah dalam berdemokrasi.
Bertolak pada problematika demokrasi di atas, apakah kita akan berkata bahwa demokrasi kita berada pada batas kepunahan? Tentu tidak. Kalimat itu terlalu pesimis.
Sebagai pemuda, tidak boleh termenung lesuh dan tunduk terhadap realitas. Pemuda seharusnya selalu bangkit dengan pembaruan gagasan dan karya yang akan membawa rakyat menuju kecerahan zaman. Pemuda harus bangkit untuk memperbaiki tatanan politik yang telah rusak.
Sebab demokratisasi masyarakat bukanlah pekerjaan yang instan. Butuh pengorbanan dan kerja keras serta keteguhan dalam memegang prinsip.
Pemuda harus tampil di garda terdepan untuk membawa bangsa ini kepada titik terangnya. Pemuda harus memberdayakan masyarakat yang terlena atas iming-iming money politic.
Hal ini bisa ditepis dengan usaha pendidikan politik sebagai jalan merajut tali peradaban atas kebiadaban oknum penghancur negara. Demokrasi akal sehatlah jawaban atas kekalutan politik kita. Dengan demikian, demokrasi akal sehat akan membawa lembaga parlemen sebagai ruang partisipasi kepentingan rakyat, bukan kepentingan perorangan ataupun golongan.
Sudah semestinya kita menghadirkan parlemen sebagai ruang aspirasi. Apalagi pasca reformasi 1998 yang mendorong perubahan politik negara. Sehingga berimplikasi terhadap penciptaan sistem yang lebih demokratis dan akuntabel.
Hal tersebut membawa angin segar terhadap DPR yang dulunya masa orde baru dinilai sedikit pengaruh dalam menentukan arah kebijakan. Namun, kini dikembalikan kepada koridornya, yakni menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014.
Apa yang semestinya kita lakukan dalam mengawal demokrasi kita, khususnya agar mengembalikan kepercayaan publik dan partisipasi politik sehingga lembaga parlemen hadir sebagai ruang aspirasi rakyat. Ada beberapa tawaran solusi konkret dari penulis.
Pendidikan Politik
Pendidikan politik dimaksudkan sebagai upaya penyadaran rakyat agar dapat berpartisipasi aktif dalam sistem politik, khususnya dalam pengambilan kebijakan. Hal ini penting mengingat demokrasi meniscayakan partisipasi publik.
Misalnya saja, dalam pemilihan DPR/DPRD, rakyat didaulat untuk menentukan pemimpinnya. Sehingga, ketika masyarakat cerdas, tentunya akan melahirkan pemimpin yang cerdas pula. Sederhananya, kualitas pemimpin menjadi cerminan kualitas dominan dalam sebuah masyarakat.
Bentuk-bentuk pendidikan politik ini bisa berupa pendidikan formal maupun informal. Hal inipun bisa dilakukan dengan memberdayakan agen-agen pendidikan politik di antaraya:
a. Keluarga
Keluarga merupakan madrasah pertama dalam kehidupan, sebab di situlah kita pertama kali memulai interaksi kehidupan. Karakter anggota keluarga sangat akan memengaruhi perkembangan pola pikir dan kepribadian anggota keluarga.
Misalnya saja, keluarga yang senantiasa mengajarkan akhlak yang baik, maka akan dicontoh oleh anak. Penanaman pendidikan politik ini akan lebih mengakar karena adanya keeratan hubungan emosional. Misalnya saja dalam sebuah keluarga yang menerapkan sistem otoriter, maka akan membiasakan anak dalam lingkungan otoriter.
b. Sekolah
Sekolah memiliki andil besar dalam sarana transformasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tersebut diharapkan tidak bebas nilai melainkan sarat akan pesan-pesan kemanusiaan yang membuat peserta didik lebih progresif dan produktif guna mempersiapkan generasi penerus bangsa.
c. Lingkungan Masyarakat
Bisa dikata seluruh masyarakat memiliki pesan-pesan luhur atau kearifan lokal yang sarat akan pesan-pesan kemanusiaan, misalnya saja dalam budaya mandar yang mengajarkan masyarakatnya untuk senantiasa saling memperkuat (sipamandaq) dengan senantiasa berjalan pada garis kebenaran (millete di atonganan). Bagitupun dengan pesan-pesan luhur di daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
d. KPU, BAWASLU, dan Partai Politik
KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas dalam melaksanakan Pemilu. Begitupun dengan BAWASLU sebagai lembaga yang bertugas dalam mengawasi persiapan, tahapan, maupun pelaksanaan Pemilu. Keduanya harus melaksanakan kewajiban sehingga dalam setiap geraknya akan memberikan pendidikan politik yang mendorong terciptanya iklim demokrasi yang sehat
Agen lain seperti Partai Politik juga harus senantiasa memberikan pendidikan politik kepada rakyat agar partisipasi politik dapat ditingkatkan. Serta yang terpenting adalah pola rekrutmen partai harus diperketat dengan mengedepankan asas keadilan. Para kandidat yang diusung oleh partai politik harus memiliki kualitas intelektual yang mempuni,memiliki integritas kepribadian, serta melihat track record kandidat
e. Media Sosial
Hal ini tidak bisa kita bendung bahwa sadar atau tidak sadar arus globalisasi semakin cepat. Koonsekuensi adalah arus informasi akan menembus dinding-dinding kehidupan masyarakat desa.
Misalnya, melalui internet atau media sosial yang juga semakin diminati oleh kalangan anak muda maupun dewasa. Ini adalah peluang sekaligus ancaman. Medsos akan menjadi peluang jika digunakan secara bijak dengan senantiasa mengambil informasi yang edukatif maupun menyampaikan pandangan politik lewat medsos.
Revitalisasi Fungsi Stake Holder
Kepercayaan publik terhadap pemerintah tidak dipungkiri mengalami penurunan mengingat kenyataan bahwa perilaku lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tidak jarang berperilaku koruptif. Perilaku koruptif ini tidak terlepas dari masyarakat yang juga koruptif.
Contoh misalnya dalam perhelatan Pemilihan Umum. Pilihan masyarakat masih didominasi oleh praktik money politic. Praktik ini mejadi lazim terjadi meskipun sudah ada aturan penindakan terhadap praktik money politic.
Dan hal terpenting lain untuk membangun kepercayaan publik adalah penerapan sistem checks and balances antara pihak eksekutif dan legislatif.
Terkhusus untuk DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi, seharusnya menguasai materi Undang-Undang sebagaimana telah menjadi tugasnya sebagai anggota Dewan.
Meskipun dalam teknis administratif, penyusunan naskah akademik suatu UU dibantu oleh tenaga ahli, namun sudah menjadi kewajiban selaku wakil rakyat harus memahami materi UU. Terutama dalam membaca realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya sehingga regulasi yang hadir tidak keluar dari spirit Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Seorang anggota Dewan juga dituntut memahami dan menguasai, khususnya peraturan perundang-undangan antara lain:
- UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD (MD3)
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undanngan
- Peraturan Pemerintah RI No 16 Tahun 2010 tentang pedoman penyusunan Tata Tertib DPR dan DPRD
Substansi dari segalanya: agar kembali kepercayaan publik. Maka pemerintah harus membuat terobosan baru dalam upaya pembangunan masyarakat, baik yang bersifat infrastruktur maupun suprastruktur.
Hari ini, kepercayaan publik bisa tumbuh jika kebutuhan akan pemimpin yang cerdas, amanah, jujur, sederhana dan merakyat terpenuhi. Agar cita-cita kemerdekaan dapat segera terwujud, baik itu merdeka dari kesengsaraan, keserakahan, penyelewengan dan kesewenang-wenangan. Sebab percayalah, ketika sebuah resim tidak lagi menggunakan akal sehat dan nurani dalam bertindak, maka tunggulah kehancurannya. Itulah hukum sejarah. Maka jangan abaikan kepercayaan publik.
*Muhammad Isbahuddin, Mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
___________________
Artikel Terkait:
- Bangun Kekuatan Politik Alternatif, Wujudkan Indonesia Berkeadilan
- Intelektual Muda dan Membangun Politik yang Sehat
- Partisipasi Politik dalam Tatanan Kebijakan Pemerintah - 28 Januari 2018
- Janji Politikus Desa - 28 Januari 2018
- SOPIA, Sosialisasi Politik Pemuda Indonesia - 28 Januari 2018