Kerentanan Masyarakat, Problem Struktural, dan Rapuhnya Sistem Politik

Kerentanan Masyarakat, Problem Struktural, dan Rapuhnya Sistem Politik
©Blogips

Konflik dan kekerasan dalam arena politik itu sesungguhnya dapat dipahami sebagai kerentanan struktur sosial.

Menyaksikan bermacam bentuk konflik dan eskalasi kekerasan yang terjadi di berbagai tempat makin mempertebal keyakinan bahwa kemajemukan struktur masyarakat Indonesia dan rangkaian problem struktural yang berlangsung sejauh ini dihadapkan pada situasi yang cukup rentan. Frekuensi kasus yang kian meningkat, sebagaimana diperlihatkan dari ekspos media massa sejauh ini, di antaranya berupa sengketa antar-kelompok dengan bermacam akar masalah, pemicu, serta besaran korban akibat yang ditimbulkannya, menjadi masalah serius negeri ini, yang juga polanya berlangsung di berbagai daerah.

Muncul konstruksi “seolah-olah” suasana perubahan (reformasi) justru dianggap memperburuk keadaan. Konstruksi semacam ini makin menjalar menjadi paham awam, dilengkapi dengan rangkaian pandangan spekulatif. Seolah-olah reformasi dianggap lebih buruk dibanding era orde baru. Apalagi, kelangsungan sejumlah episode konflik dan kekerasan di Indonesia sejauh itu hampir tidak luput dari momentum atau event-event politik dan kebijakan, baik itu terkait langsung maupun tidak langsung.

Misalnya, maraknya sengketa disertai destruksi dalam pemilihan kepala daerah (pemilukada) langsung, pertentangan masyarakat dengan pemerintah akibat kebijakan pembangunan yang mempersoalkan penggusuran, serta reaksi-reaksi negatif atas praktik “drama” hukum di Indonesia, adalah sejumlah contoh yang dengan mudah ditafsir sebagai distorsi reformasi dengan cara mengaitkannya urusan politik. Benarkah itu akibat reformasi?

Saya berpandangan, dan sekaligus berposisi, bahwa konflik dan kekerasan itu bukan akibat reformasi. Segala gejala dan bentuk konflik dan kekerasan dengan dinamikanya menjadi alat justifikasi dengan serangkaian mantra dan hasrat untuk kembali romantisme ke zaman orde baru.

Mengapa demikian? Karena neraca kondisi sosial dan konfigurasi politik antara era orde baru dengan zaman reformasi, seolah-olah orde baru tidak memperlihatkan keadaan konflik dan kekerasan dibandingkan zaman reformasi. Tentu saja pandangan itu sangat menyesatkan.

Saya menilai, terlalu distortif jika mengaitkan secara kausalitas antara makin tingginya derajat konflik dan kekerasan berkorelasi positif dengan reformasi. Artinya, sesungguhnya reformasi bukan menjadi penyebab langsung maraknya konflik, bahkan kekerasan yang makin membesar. Namun sebaliknya, justru karena reformasi yang oleh sementara pihak dinilai gagal atau tidak dijalankan sesuai mandat, itulah yang menyebabkan derajat konflik dan kekerasan meningkat. Besar kemungkinan akibat dari kerentanan kondisi sosial masyarakat (struktur dan kultur) sebagai pengaruh masa lalu, serta rapuhnya tata politik Indonesia dalam menjalankan fase transisinya.

Apa yang bisa menjelaskan bahwa reformasi yang terseok-seok saat ini merupakan dampak masa lalu yang menyebabkan Indonesia begitu berat untuk bangkit? Kekuasaan otoriterisme orde baru sesungguhnya memiliki selimut tebal penutup konflik dalam pengertian struktural melalui cara-cara represif agar tidak mencuat ke permukaan.

Pada zamannya dikenal tiga praktik politik; depolitisasi, deideologisasi, dan floiting mass (Mohtar Pabottingi, 1997), yang dilandasi oleh paham stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi (Mohtar Mas’oed, 1989).

Dengan cara seperti itu, ruang-ruang ekspresi dan artikulasi sebagai media interaksi, baik secara vertikal maupun horisontal tertutup. Keadaan “tenang dan harmoni” jika diperiksa secara seksama, bukan diartikan kenyamanan dan perdamaian dalam arti positif dan riil, tetapi sebentuk hegemoni dan stabilitas palsu karena dibangun dengan landasan rasa takut dan “kematian” aspirasi dari warganya.

Tak pelak jika kuatnya penguasa di zaman orde baru harus dibayar mahal, yakni hilangnya kebebasan sipil dan terbonsainya masyarakat. Seolah-olah tidak ada konflik. Padahal konflik, dari cara pandang kritis ditafsir tidak sekadar perilaku, namun lebih dari itu adalah konteks struktural atau kondisi ekonomi politik yang ditandai oleh ketimpangan dan kesenjangan sosial.

Liberalisasi Politik Lokal

Reformasi, dengan segala keterbatasan yang dikandungnya, telah menginvestasikan secara besar-besaran kebebasan pers dan liberalisasi politik sebagai prasyarat demokrasi, yang keduanya telah berhasil membuka selimut tebal membuat suasana makin komunikatif dan partisipatif. Pesona perubahan begitu terasa, ketika derajat partisipasi masyarakat meningkat serta kehendak melepas genggaman kuasa di aras pusat pemerintahan ke lokus daerah melalui desentralisasi dan otonomi daerah yang diintrodusir melalui UU 22/99, yang menghasilkan ruang dan arena praktik demokrasi lokal juga makin terbuka lebar (Arie Sujito, 2002).

Regulasi itu kemudian diganti dengan UU 32/ 2004. Dalam konteks itu, daerah menjadi ajang kontestasi politik yang semakin marak, serta perangkat perubahan terpasang secara marak, itulah suatu bentuk kelangsungan fase transisi demokrasi dari rute daerah (Sutoro Eko, 2002).

Dengan set-up kelembagaan dan regulasi semacam itulah pemilihan dan pergantian kekuasaan di tingkat lokal dimungkinkan menggunakan skema demokrasi langsung (Nico Kana, 2004), sebagaimana saat ini tengah menjadi bagian episode reformasi.

Terbukanya ruang politik lokal menyebabkan ekspresi partisipasi, inisiasi, dan hasrat berasosiasi makin meningkat. Tidak heran jika urusan identitas kelompok juga mengemuka dengan sulaman dan konstruksi politik identitas. Arena mutakhir yang terasa begitu nyata adalah kontestasi pemilihan umum dan juga pemilihan kepala daerah di aras lokal. Jika perspektif ini dikaitkan dengan persoalan relasi antara kelompok, persoalan positif dan kecenderungan dampak dan kerawanan juga tak bisa terhindarkan.

Mengikuti alur desentralisasi dan reformasi, pemilukada langsung sesungguhnya secara normatif menjadi skema strategis demokratisasi. Rotasi kekuasaan sebelum reformasi yang dipraktikkan dengan cara-cara oligarkis dan elitis, yakni hanya oleh DPRD, berdasarkan pengalaman sangat rawan menyebabkan terjadinya distorsi, manipulasi, bahkan jelas-jelas menenggelamkan aspirasi masyarakat luas.

Melalui mekanisme pemilukada langsung oleh masyarakat, diharapkan dan diasumsikan akan terjadi negosiasi kepentingan serta terbangun ikatan kuat antara calon pemimpin dan yang memilihnya. Jika kontraktual terselenggara dengan baik dalam prosesnya, para pemimpin terpilih dipastikan akan menjalankan tanggung jawabnya kepada mayarakat. Dalam paham ini, desentralisasi dan demokratisasi diharapkan mampu berpadu dengan produk kebijakan yang lebih berbasis aspirasi rakyat karena kewenangan makin mendarat di tingkat daerah.

Sayangnya, proses lanjutan perubahan era pasca-otoriterisme itu membuktikan bahwa cita ideal semacam itu terbukti meleset. Desentralisasi dan otonomi serta demokratisasi hanya bergerak pada lintasan formal-prosedural (Demos, 2005, 2007). Skema kebijakan politik daerah, karena tidak berlangsung secara baik, akhirnya justru menghasilkan karakter demokrasi oligarkhis yang secara kental ditandai lahirnya aktor-aktor politik lokal berwatak dan bergaya bosses di mana mereka itulah pelaku pembajakan dan membonceng arus perubahan di daerah.

Secara pragmatis, para aktor politik lokal bergaya boss itu memengaruhi dinamika masyarakat lalu menyeret politik pada tindakan konfliktual, yang tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai kepentingannya dalam pilkada. Dari situlah bisa dicermati betapa proses politik lokal dalam event politik pilkada sering  kali diwarnai bermacam sengketa, ketegangan, konflik antar-kelompok yang mengarah kekerasan.

Kerentanan Sosial

Jika demikian kondisinya, konflik dan kekerasan dalam arena politik itu sesungguhnya dapat dipahami sebagai kerentanan struktur sosial (gagal dibangun pengorganisasian yang kokoh di antara mereka untuk menyemaikan sikap-sikap keberadaban) dan bertemu secara objektif pada rapuhnya politik lokal di Indonesia.

Mengatasi atas hal ini tidak cukup melalui penanganan akibat-akibat semata, misalnya dengan pendekatan legalistik (hukum) yang bekerja mengabaikan pertimbangan struktur sosial. Atau hanya memberikan langkah kuratif dengan manajemen konflik berbasis normatif (pendekatan hukum dan peraturan). Akan tetapi, sudah semestinya kita menempuh jalan antisipatif, preventif dengan cara memetakan seluruh kecenderungan konflik dan kekerasan politik yang akhirnya ditemukan pola dan modusnya.

Agenda Strategis

Sudah saatnya pemerintah dan elemen-elemen politik yang berkepentingan dalam politik dan sosial ekonomi, seperti parpol, NGO, media massa, serta organisasi sosial kemasyarakatan, menyadari hal ini dan membuat terobosan baru yang lebih responsif, paradigmatik, dan konstruktif untuk memastikan agar kualitas perubahan kian membaik. Di antaranya ditandai oleh kian menurunnya derajat konflik dan kekerasan, dan pada akhirnya makin menumbuhkan rasa solidaritas perdamaian yang kokoh agar demokratisasi lokal sesungguhnya dicita-citakan dapat terwujud.

Berikut ini disajikan beberapa usulan dan langkah sebagai agenda strategis untuk resolusi konflik yang terjadi sejauh ini.

Pertama, perjuangkan dan wujudkan keadilan sosial dan ekonomi. Sebagian besar penyebab konflik dan kekerasan di tengah-tengah masyarakat, karena masalah jarak struktural antar-kelompok. Perbedaan akses (kesempatan), struktur ekonomi, pendidikan, lapangan kerja, kekuasaan, sehingga memengaruhi kesejahteraan menjadi lahan bagi meledaknya sengketa dan kekerasan warga.

Persoalan struktural ini biasanya bergerak secara cepat jika dibalut oleh isu-isu “SARA” (suku agama, ras dan antar-golongan). Kita tahu bahwa kesadaran masyarakat masih sempit karena praktik manipulasi (sebagaimana terurai di depan), sehingga persoalan perbedaan dan konflik mudah terperangkap dan mengalami pergeseran isu. Akar masalah konflik sebenarnya menyangkut keadilan sosial, tetapi hal itu mudah dimanipulasi menjadi perang agama atau suku.

Kedua, kembangkan pendekatan sosio-kultural berbasis modal sosial, meliputi nilai-nilai, kelembagaan dan mekanisme itulah kita bisa menemukan akar masalah sesungguhnya, dari “akar serabut” sampai “akar tunggang” konflik dan kekerasan, sehingga seluruh ranting dan dedaunan (metofora pohon konflik) dapat terbaca dengan baik. Caranya adalah dengan terus mengembangkan musyawarah dengan iktikad baik.

Bagaimanapun juga, menyelesaikan sengketa jangan sampai melahirkan korban, tetapi permusyawaratan dikedepankan dengan bersandar pada prinsip keadilan, tidak ada manipulasi dan diskriminasi, sehingga upaya mengatasi konflik dan kekerasan diminimalisasi korban. Dinamika konflik sosial jangan sampai dikotori oleh provokasi yang bisa tergelincir perpecahan yang berlarut-larut membuat suasana tidak kondusif.

Ketiga, penegakan hukum secara konsisten. Prinsip penegakan hukum adalah penting dalam tatanan sosial masyarakat, arahnya kepastian demi keadilan. Jika persepsi dan kesepahaman mengenai perbedaan tidak mampu diselesaikan, hukum harus menjadi alternatif dan pilar penting penengah.

Sebagai instrumen penjamin keadilan, institusi hukum harus ditopang oleh aparat yang jujur dan bertindak adil, kultur hukum yang rasional, dan konteks struktur hukum yang demokratis. Karena fungsinya yang strategis, di semua level sistem hukum harus mengabdi pada keadilan. Pengalaman praktik konspirasi aparat penegak hukum dalam bentuknya diskriminasi hukum mengakibatkan ketidakpercayaan (distrust dan delegitimasi) warga terhadap hukum.

Kita bisa melihat kekerasan massa dan perlawanan warga terhadap institusi hukum, setidaknya bersumber karena sistem hukum yang tidak ditegakkan secara konsisten. Praktik penyimpangan di sektor negara maupun masyarakat semestinya harus ditindak secara hukum dengan prinsip-prinsip dasar menjaga keadilan.

Latest posts by Lalik Kongkar (see all)