Keringnya Kali Kami

Teringatlah olehnya sebuah bendungan dekat kali itu dan dua sumur di tengah kampungnya. Bendungan itu telah berjasa bagi lahan persawahan warga.

Lelaki itu, hingga kini, masih duduk di sebuah pondok di pinggiran sawah. Tempat berukuran kecil dengan dinding dari belahan bambu, lantai dari papan pohon kelapa, dan atap dari alang-alang. Sebuah tempat yang dalam diamnya menjadi saksi atas banyak hal.

Sudah tak terhitung lagi berapa banyak butir keringat yang membasahi papan-papan yang mulai menua itu. Atau berapa bulir air bening yang sesekali jatuh merembes ke papan itu karena pipi enggan menahannya lebih lama. Ya, tempat yang rasa-rasanya jauh lebih berharga dari rumahnya sendiri.

Di pondok itulah, beberapa hari terakhir ini, sering ia habiskan ¾ harinya. Sekadar membiarkan dirinya larut dalam kenikmatan dibuai angin sepoi-sepoi. Rambut panjang tak terurus itu tersibak ke sana-kemari. Sesekali diambilnya sehelai daun jagung lalu meletakkannya di genggaman tangan kirinya, sementara jari telunjuk dari tangan kanannya mulai mengelus-elus daun itu dalam-dalam.

Memang sejak jagung dan padi di lahan sawahnya berusia tiga bulan, ia mulai gemar memandangi mereka. Bukan karena tak ada pekerjaan sama sekali, melainkan sudah menjadi sebuah kebiasaan. Bahwa ketika setiap tanamannya menginjak tiga bulan, ia harus memandangi tanaman-tanaman itu dengan penuh cinta.

Hal itu menjadi semacam sebuah perayaan syukur kecil-kecilan. Kadang-kadang beberapa helai dari atap alang-alangnya luruh dan terbang menjauh menerobosi jagung dan padi yang tampak segar itu.

Saat seperti itu adalah kesempatan yang tepat baginya mengingat segala proses panjang yang telah dilalui dalam kurun waktu tiga bulan. Mulai dari menyemai bibit-bibit tanaman, lalu menyiangi mereka, memberi pupuk secukupnya, hingga mengairi lahan itu setiap hari atau beberapa hari sekali agar lekas tumbuh dan berkembang.

Ia sadar betul betapa rapuh hidupnya tanpa tumbuhan-tumbuhan itu. Di samping tumbuhan-tumbuhan itu telah menghasilkan rezeki yang cukup baginya dengan menjual seperempat dari tiap panenannya, padi dan jagung itu sudah seperti kekasih hati yang setia menemaninya mengusir sepi.

Sebab kadang-kadang hidup seorang diri membuatnya merasa kurang bersemangat. Agar tak merasa sepi, ia selalu tenggelam dalam kesibukan mengurus tanaman-tanaman itu.

“Anto, kamu sudah tahu, belum?” tanya Pardi dengan napas naik-turun yang serentak mengagetkannya .

“Sudah tahu apa?”

“Itu air di kali kita mendadak berkurang hari ini.”

“Kok bisa? Bukannya kemarin saat kita ke sana masih aman-aman saja?”

“Entahlah. Yang jelas sebagian warga bilang itu dampak kekeringan. Kan sudah lima bulan ini hujan tidak pernah muncul? Dua atau tiga hari lagi pasti air di kali akan kering,” kata Tinus kemudian berlalu.

Kepergian Pardi menyisakan deretan pertanyaan yang mengusik, juga mendadak daun-daun jagung yang sedang dielusnya terhempas ke tanah. Bagaimana nasib warga di kampung ini? Ke mana para petani harus mencari air untuk mengairi lahan-lahan pertanian ini? Bukankah cepat atau lambat, tanpa air yang cukup, baik warga maupun tumbuhan-tumbuhan itu akan perlahan-lahan melemah dan mati?

Kenikmatan menjelang sore itu seolah raib. Hilang lenyap. Pardi pun hilang di antara kepulan asap pembakaran sampah yang mulai menggumpal di kompleks persawahan.

Teringatlah olehnya sebuah bendungan dekat kali itu dan dua sumur di tengah kampungnya. Bendungan itu telah berjasa bagi lahan persawahan mereka.

Dengan adanya bendungan itu, air dapat dialirkan ke saluran irigasi yang ada lalu menuju ratusan hektare sawah. Namun, sudah sepuluh tahun terakhir, bendungan itu rusak karena bocor. Dan belum ada satu pun upaya perbaikan yang datang.

Beberapa waktu lalu, memang telah ada beberapa orang yang mengamati bendungan itu. Tapi, yang ada malah hanya foto-foto saja, perbaikan tak kunjung datang.

Masyarakat setempat bukannya tinggal diam. Mereka berupaya menutup kebocoran itu dengan meletakkan beberapa karung yang telah diisi pasir pada titik-titik kebocoran. Namun, upaya itu tak kunjung berhasil. Mereka pun pasrah. Sementara air yang mengalir pun sedikit. Jika kali kering, maka otomatis sawah akan mengering menyusul tanahnya terbelah-belah.

“Lalu, bagaimana nasib para petani?” batin Anto

Sementara dua sumur yang ada belum tentu bisa mencukupi segala kebutuhan warganya. Ia tahu betul satu dari antara kedua sumur itu malah airnya keruh dan tidak bisa digunakan untuk minum. Otomatis harapan untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka hanya pada satu sumur. Beli air galon atau pasang PAM rasa-rasanya tidak mungkin. Keterbatasan ekonomi telanjur membelenggu erat.

Sampai di sini, Anto tidak berani berpikir lebih jauh lagi. Ia merebahkan tubuhnya seketika, membiarkan angin kembali menyibak rambut panjangnya. Rasa kantuk pun menyerang. Meski begitu, keringnya air di kali mulai merenggut kenikmatan menjelang sore itu. Ia terlelap.

Setelah dua hari berlalu, kali itu telah benar-benar kering. Tak ada lagi air yang tersisa. Kepanikan besar mulai melanda seantero kampung itu. Menyisakan derai air mata, isak tangis berlebih, dan deretan pertanyaan yang seolah menggugat keadilan dari sang Khalik. Tangisan pecah kedengaran di mana-mana.

Warga pun mulai berbondong-bondong mengerumuni dua sumur di tengah kampung. Tidak hanya ratusan manusia yang tampak berbaris. Berjejalan pula ratusan ember, jeriken, dan galon yang tak beraturan dan mulai menanti dalam sunyi.

Meski dalam situasi batas seperti itu, konflik yang berujung perkelahian pun tak terhindarkan. Masing-masing orang mulai berlomba-lomba untuk berbaris paling depan setiap hari baru tiba. Bahkan ada yang menyimpan katrol pengangkat air sejak semalam.

Entah bagaimana, syukurlah kabar kekeringan luar biasa itu akhirnya menerobos keriuhan pusat kota. Itu pun setelah menghentak-hentak telinga orang-orang berdasi dan menggugat nurani kemanusiaan mereka; kepedulian pun muncul.

Hari-hari selanjutnya, lapangan di pinggiran kampung itu dipenuhi mobil-mobil tangki air yang berjejalan dari ujung ke ujung. Sementara itu, telah berbaris rapi juga ribuan manusia yang menantikan giliran mendapatkan air bersih dari mobil-mobil bertangki itu.

Dengan menenteng dua ember bak hitam berukuran sedang, Anto malah tampak kurang bersahabat. Kakinya menginjak rerumputan yang mendadak luruh beberapa jam terakhir. Sedang pikirannya terbang menembus tanaman padi dan jagung-jagungnya.

Sudah tiga hari sejak kali itu kering, sawahnya tak pernah lagi dialiri air. Berharap dari sumur pun tidak mungkin. Sebab air yang diperoleh dari sana terbatas. Dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di rumah.

Sementara daun-daun jagung miliknya mulai layu. Makin pasrahlah ia ketika air yang diterima dari mobil-mobil bertangki itu juga tidaklah cukup. Namun, tidak ada pilihan lain selain bermandikan keringat dalam barisan panjang itu.

“Silakan, Pak. Sekarang giliran Snda,” kata salah satu petugas pemberi air.

Anto terhenyak, buru-buru disodorinya dua ember, lalu pergi.

***

Dua minggu telah berlalu dan mobil tangki air yang puluhan itu tetap setia memberikan air bersih bagi warga. Namun, sebagian warga mulai merasa aneh dengan jumlah orang yang ikut antre tersebut. Adalah Wanto, petani senior di tempat itu, mendadak memecah keriuhan sekelompok warga yang tengah antre.

“Bapak-bapak, adakah yang pernah melihat Anto?”

“Tidak pernah, Pak,” jawab Mundus seketika.

“Betul sekali, bapak-bapak. Sudah tiga hari ini saya tak pernah melihat si Anto lagi. Entah ke mana perginya orang itu. Apa dia tidak kehausan?” sahut Romanus sambil menyisakan tanya yang tak bisa dijawab sekelompok orang itu.

“Jang..an..jang..an…” Kata-kata Wanto mulai terdengar putus-putus.

“Jangan-jangan apa, Pak?” sambung Romanus penasaran.

“Ia tewas karena kekurangan air,” sambar Pak Wanto seketika.

Mendengar itu, sekelompok warga mulai panik dan memutuskan keluar dari barisan tersebut. Sebagian langsung menuju kediaman Anto. Sebagian lainnya menuju lahan persawahan miliknya.

Setelah di rumahnya mereka tidak menemukan Anto sama sekali, begitu pun di lahan persawahannya. Perasaaan khawatir memuncak. Mulailah mereka mengutuk habis kekeringan sebagai penyebab segalanya, termasuk hilangnya Anto. Saat itu muncullah Pardi.

***

“Apa pun yang terjadi, padi dan jagung-jagungku tidak boleh sampai layu, apalagi luruh dan mati. Mereka harus tetap hidup,” batin Anto sambil sesekali mengarahkan pandangan matanya ke atas.

***

“Apa yang terjadi, teman-teman?” tanya Pardi seketika.

“Itu, si Anto hilang,” jawab Wanto.

“Sudah beberapa hari ini ia tidak ikut antre air dari mobil bertangki itu,” tambah Mundus.

“Apanya yang hilang? Beberapa hari terakhir ini aku dan Anto bersama-sama terus. Kami sedang mengerjakan suatu pekerjaan tambahan untuk jalan keluar dari kekeringan ini,” jawab Pardi sedikit tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu. Lalu di mana si Anto sekarang?” sahut Tinus tidak sabar.

“Di dekat kali kita,” jawab Pardi sambil menunjuk ke arah kali.

Mendengar penjelasan Pardi, mereka pun langsung menuju kali itu.

“Anto.., Anto..,” teriak Mundus ketika tiba di kali itu.

Mendengar teriakan itu, buru-buru ia naiki tangga berbambu. Saat sampai di puncaknya, sekelompok orang sudah menunggunya dengan mata melotot.

“Anto, kenapa penggalian sumur ini tak kau ceritakan pada warga yang lain? Kan bisa dikerjakan secara bersama?” kata Wanto dengan nada menyerang.

“Maaf, teman-teman. Bukannya tidak ingin bercerita atau mengajak, tapi aku dan Pardi ingin berusaha sendiri dulu. Syukurlah, penggalian sumur ini tidak terlalu membutuhan waktu lama. Karena letaknya dekat kali, jadi kini kita sudah bisa mengairi sawah kita dengan air sumur ini,” jawab Anto.

Meski agak kecewa dengan Anto, namun mereka tak bisa menyangkal senyum kegembiraan yang mulai merekah di bibir masing-masing. Apalagi gumpalan awan hitam seketika itu bergerombol di atas kepala mereka. Senja terasa begitu bersahabat. Pulang pun menjadi kian bersemangat.

Arnus Setu
Latest posts by Arnus Setu (see all)