Kesahihan Pengetahuan

Kesahihan Pengetahuan
©YouTube

Kita tahu, salah satu pembahasan yang cukup mendasar dan menjadi persoalan sentral dalam wilayah dan domain pengetahuan adalah apakah pengetahuan itu bersifat mungkin? Apakah kita bisa meraih pengetahuan tentang alam, manusia, dan segala sesuatu?

Pengetahun tentang probabilitas dan kemungkinan pengetahuan merupakan poin yang tidak akan pernah diingkari dan diragukan oleh orang-orang yang berakal. Problem ini telah banyak mengundang berbagai aliran dalam filsafat untuk membahasnya.

Sebagaimana kita tahu bahwa fokus utama epistemologi adalah apakah manusia sanggup menyingkap atau menguak kebenaran dan memperoleh informasi tentang realitas? Apakah standar atau patokan untuk mengenali kebenaran dan memisahkannya dari pemikiran yang keliru atau melenceng yang bertentangan dengan realitas?

Syahdan, permasalahan selanjutnya yang muncul berkaitan dengan pengetahuan adalah bagaimana membuktikan bahwa pengetahuan manusia sesuai dengan realitas. Masalah ini juga muncul akibat adanya perantara (penengah) antara subjek (ilmuwan) dan objek pengetahuannya (ilmu). Adanya perantara (penengah) inilah yang menyebabkan subjek disebut dengan ilmuwan dan objek disebut dengan ilmu pengetahuan.

Jelasnya, subjek (ilmuwan) berbeda dengan objek ilmu. Jika seorang ilmuwan dapat menemukan keberadaan objektif ilmunya tanpa mengandalkan perantara (penengah), maka pertanyaan adalah bagaimana membuktikan pengetahuan manusia sesuai dengan realitas tentu saja menjadi tidak relevan.

Tentunya, hal ini terjadi karena pengetahuan dengan kehadiran mustahil menjadi keliru. Oleh sebab itu, pengetahuan yang bisa keliru dan melenceng dalam arti tidak sesuai dengan kenyataan tidak lain adalah pengetahuan Hushuli (perolehan).

Katakanlah bahwa sebagian definisi-definisi di atas bisa ditafsirkan dengan benar atau dianggap sebagai defenisi yang menjelaskan ciri khas (meskipun pola defenisi seperti itu tidaklah tepat), yaitu bahwa definisi-definisi tersebut sekadar menerangkan sebagian tanda khas kebenaran, atau sekadar sebagai peristilahan khusus.

Namun, bagaimanapun, semua pembenaran tersebut tidak mampu memecahkan masalah-masalah yang bekaitan dengan standar kebenaran. Seluruh definisi tersebut, pertanyaan tentang kebenaran dalam pengertian pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan, belum terjawab sehingga tetap menuntut jawaban yang jitu dan menjernihkan.

Baca juga:

Kita sudah sepakat, setiap manusia menjalani kehidupannya dengan berpijak pada ribuan gambaran-gambaran yang terdapat dalam pikirannya, dan berkeyakinan bahwa di luar alam pikiran ini terdapat alam lain yang hakiki, dan realitas-realitas yang mandiri di mana gambaran-gambaran pikiran tersebut merupakan pencerminan terhadap apa-apa yang terdapat di alam eksternal.

Tak satu pun manusia yang berakal sehat yang meragukan keberadaan alam eksternal tersebut. Demikian juga tak satu pun meragukan bahwa dia mengetahui sesuatu dan dapat memahaminya akan sesuatu itu.

Namun demikian, dalam sejarah filsafat telah ditunjukkan bahwa terdapat gelombang-gelombang Sofisme dan Skeptisisme yang menghanyutkan dan menjauhkan manusia dari pencapaian pengetahuan. Kedua paham ini hadir di Eropa dan Yunani kuno pada abad kelima sebelum Masehi.

Tak hanya itu, pandangan-pandangan dari kedua paham tersebut sempat memengaruhi sebagian ilmuwan-ilmuwan. Paham-paham tersebut juga secara mutlak mengingkari segala bentuk eksistensi, keberadaan, ilmu, pengetahuan, dan makrifat.

Sofisme adalah suatu paham yang menafikan secara mutlak keberadaan alam eksternal yang kemudian berkonsekuensi pada penolakan segala jenis makrifat dan pengetahuan. Mereka ini beranggapan bahwa alam eksternal itu sama sekali tidak berwujud sehingga dapat dihasilkan darinya suatu ilmu, pengetahuan, dan makrifat. Sementara Skeptisisme merupakan suatu paham lain yang tidak mengingkari alam eksternal, namun menafikan segala bentuk  pengetahuan yang berasal dari alam tersebut.

Segala upaya yang dilakukan oleh filosof-filosof ternama Yunani tersebut untuk menumpas kesesatan berpikir kaum Sophis tetap saja tidak secara total mencabut akar-akarnya. Kita bisa menyaksikan dengan didirikannya suatu aliran resmi baru, Skeptisisme, yang dipelopori oleh Pyrho. Dengan hadirnya agama Islam dan merosotnya peradaban Yunani kuno, maka secara resmi berakhir pula maktab-maktab Sofisme.

Ibnu Sina misalnya mempunyai metode tertentu untuk mengobati penyakit-penyakit keraguan tersebut. Dia menyakatan, “Nyalakanlah api dan katakan pada para peragu untuk masuk ke dalam kobaran api tersebut. Apabila mereka menolak dan menjaga jarak dari api itu, maka tanyakanlah pada mereka mengapa mereka menghindari dan takut pada api yang berkobar itu.”

Padahal, menurut perspektif mereka, ada dan tiadanya api itu adalah sama. Atau cambuklah mereka itu apabila mereka menjerit kesakitan, maka katakanlah pada mereka bahwa apakah kebaikan dan ketiadaan kebaikan atau sakit dan tiadanya sakit adalah sama dalam pandangan Anda.

Baca juga:

Demikian halnya juga Ibnu Jazm dalam kitabnya, al-Fashl, menuliskan, “Sofisme merupakan suatu aliran yang menolak kebenaran-kebenaran itu dan mereka ini terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, mereka yang menolak dan menafikan kebenaran secara mutlak; kedua, mereka yang meragukan kebenaran-kebenaran itu; dan ketiga, mereka yang memandang secara relatif kebenaran-kebenaran itu dan menyatakan bahwa suatu realitas bisa benar dan salah.”

Suatu realitas adalah benar bagi orang-orang yang memandang bahwa itu adalah suatu kebenaran, dan suatu realitas adalah salah bagi orang-orang yang memandang bahwa hal tersebut adalah suatu kebatilan.

Dengan ini, bisa dikatakan bahwa aliran-aliran yang secara khusus mengingkari dan menolak keberadaan alam eksternal, mereka tidak mempunyai landasan sejarah yang cukup kuat. Dan sekarang, jika terdapat seseorang atau aliran yang menafikan eksistensi alam eksternal, maka pastilah mengidap suatu penyakit kejiwaan, dan jalan pengobatannya sebagaimana yang dikatakan Ibnu Sina.

Salman Akif Faylasuf
Latest posts by Salman Akif Faylasuf (see all)