Kesunyian Ini Tidak Akan Pernah Berakhir

Kesunyian Ini Tidak Akan Pernah Berakhir
©Technioglot

Kita, Seperti Musim Yang Labil

Langit di kepalaku telah lapang dan benar-benar abu, ketika puisi menyentuh banyak raga; tetapi tidak raga kau

Di tengah jalan; aku adalah puluhan cahaya. Entah pagi, siang, sore, malam, atau bagian hari-hari lain kau. Memeluh tubuhku, mendekap rindu kau

Di persimpangan jalan kau adalah titik-titik kehidupan
Yang mendiami tubuh lesuhku
Menjadikannya begitu berani keluar dari pikiranku
Melepas jauh dari kematian kata

Dan perpisahan adalah hal paling tidak menarik dari sebuah perjumpaan
Seperti penghujan kepada kemarau ataupun sebaliknya

Seorang peramal cuaca mengatakan akan terjadi musim penghujan di wajahku. Tetapi setelah semua dibaca dan diramalkan, yang ada hanya kemarau panjang yang kering di tubuh puisi ini

Kehidupan mulai kembali ketika kau belum juga hadir. Seperti musim yang berubah-ubah, mungkin kau dan aku diceritakan selokal itu. Dingin, panas, mendung, terik dan banyaklah macam bentuknya.

Kesunyian Ini Tidak Akan Pernah Berakhir

Kesunyian ini tidak akan pernah berakhir. Manusia selalu menyembunyikan dirinya masing-masing. Di mana pun mereka berbincang, sekelebat ingatan menggantung pada rekaman masa lampau.

Berceritalah,
tentang anginmu,
tentang kemudi arahmu,
tentang manis dan  pahitmu menjelajah langit

Kembalilah, kembali
menjadi kumbara
dengan setengah sayap yang tertinggal
demi pulang sebagai kawan
demi ruang sebagai percakapan

Draf Doa

Tuhan

Dalam segala kerendahan dan ketidakmampuan
Aku datang menemui-Mu
Dengan seluruh kesalahan yang aku utarakan

Aku berdoa; barangkali engkau menjenguk batinku.

Perihal Tubuh dan Puisi

Tidak ada tubuhku di dalam diri. Dalam mata orang-orang bekerja, hanya diriku yang berada di tubuh palsu. Aku bersembunyi, di simbol-simbol tanda tanya, dan menceritakan bagaimana tubuhku  tergolek jatuh di ruang 8×6 meter sebuah panggung.

Kalau sekiranya pekerjaanku hanya mengoleksi selamat jalan, betapa pun menginjakkan kaki dan melangkahkan mayat sendiri. Kalau sekiranya sekiranya aku kehilangan tubuh, betapa pun tak dapat kau  perlakukan puisiku dengan kepingan-kepingan palsu.

Sebab, tubuhku bukanlah orang-orang ramai dan puisiku bukanlah benda-benda terjual.

Rifqi Septian Dewantara
Latest posts by Rifqi Septian Dewantara (see all)