Ketika Dengkul Jadi Modal Politik Rian Ernest

Ketika Dengkul Jadi Modal Politik Rian Ernest
Blusukan Rian Ernest di Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur

Rian Ernest tampil berbeda dengan politisi pada umumnya. Ketika yang lain menempatkan uang sebagai sarana utama menuju Senayan, Caleg PSI untuk DPR RI Dapil DKI 1 Jakarta Timur ini justru tampak hanya memanfaatkan dengkul sebagai modal politik.

Lihat saja bagaimana kegemaran Rian Ernest menyusuri jalan. Setiap kali ada waktu, baik di sela studi maupun pekerjaan, hampir selalu ia isi dengan agenda blusukan. Bersama tim, ia sambangi warga, menyapa para calon pemilih.

“Ini gaya politikus bermodal dengkul. Bukan berarti tidak menggunakan otak, tetapi memaksimalkan dengkul untuk berjalan kaki menyapa warga,” kelakar Rian.

Di masa lalu, kegiatan blusukan sangat identik dengan politik uang. Hampir semua kandidat akan menebar uang ke setiap warga yang ditemui. Akibatnya, ketika Rian mencoba melakukan hal serupa, banyak warga tak malu-malu meminta uang, atau yang berupa barang seperti sembako.

Meski sudah lazim dianggap sebagai tradisi, tetapi Rian Ernest mengaku menolak. Alih-alih memberikan, ia justru menjelaskan kepada warga bahwa dirinya anti-politik uang.

“Uang akan merusak kualitas caleg. Caleg yang membagikan uang ke warga akan punya perasaan berhak jadi maling anggaran. Ya, karena merasa sudah membeli suara rakyat,” ujarnya.

Blusukan dengan Dengkul

Blusukan Bermodal Dengkul Rian Ernest

Bagi influencer di Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf ini, kegiatan blusukan juga bukan bertujuan agar dirinya semakin dikenal, disuka, dan kemudian didukung semata. Lebih dari itu, kegiatan blusukan ia tujukan untuk mengetahui masalah dan mengenal wilayah secara lebih baik lagi.

“Biar warga tak cuma kenal tembok. Tempel-tempel spanduk doang, tak pernah turun (blusukan), itu mah omong kosong. Politisinya gak kenal warga, warga pun cuma kenal tembok. Kenalan tembok doang,” kelakarnya lagi.

Penolakan dan ketidakpedulian dari warga bukannya tidak pernah Rian Ernest hadapi. Biasanya, dalam menghadapi hal ini, ia akan tetap mendengarkan aspirasi dan kritik-kritik warga.

“Antusiasme warga, apakah itu positif atau negatif, tetap merupakan suntikan energi. Setiap kali dengkul mulai terasa lemas berjalan, setiap kali berjumpa warga yang antusias, saya seperti mendapat energi baru.”