Dalam hal ini, persoalan agama mereka andaikan bisa selesai secara politis-elitis. Yang terlibat dalam dialog hanyalah pemimpin organisasi agama tertentu, paling tidak tokoh agama di wilayah-wilayah konflik.
Nyatanya, para elite tidak melakukan konflik yang bernuansa agama, melainkan datang dari masyarakat bawah yang kadang-kadang tidak bisa terkatakan cukup religius. Konflik yang terjadi di Ambon dan Poso, misalnya, sebetulnya tidak berlatar belakang persoalan agama, melainkan persoalan sosial kemasyarakatan yang sangat “duniawi,” seperti kesenjangan ekonomi dan kekerasan umum biasa.
Kedua, dialog antaragama merupakan refleksi dari pemahaman monistik yang mengandaikan bahwa kebenaran agama-agama adalah satu, yang oleh karenanya bisa dicari titik temunya.
Pandangan ini sungguh semacam pelecehan terhadap agama-agama. Sebab klaim kebenaran mereka tidak terakui. Mereka mengandaikan agama-agama masih terjebak dalam batas-batas kebenaran tampakan yang relatif (eksoterik). Mereka belum sampai pada kebenaran hakiki (esoterik).
Pandangan seperti itu menentang pluralitas nilai dalam semua agama. Setiap agama memiliki nilai yang berbeda. Dialog antaragama, jikapun harus berlaku, seharusnya tidak dengan tendensi penyatuan, melainkan pengakuan terhadap perbeda-bedaan tersebut. Upaya mencari titik temu agama-agama bahkan bisa menimbulkan bahaya totalitarian.
Pendekatan Holistik
Dalam hal ini, semua pendekatan harus coba kita lakukan. Yang lebih penting adalah penegakan hukum harus berjalan.
Tegaknya hukum akan berdampak positif terhadap adanya rasa aman setiap kelompok masyarakat. Kerap kali konflik dan kekerasan muncul karena adanya rasa tidak aman dan tidak adanya kepastian hukum. Mereka tidak percaya kepada aparat hukum untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di masyarakat. Akibatnya, mereka menyelesaikan sendiri persoalan sosialnya dengan cara yang kerap kali melanggar hukum itu sendiri.
Kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi juga harus teratasi. Bukan berarti harus membatasi ruang aktivitas bagi sebagian kelompok masyarakat, melainkan memberi ruang aktivitas ekonomi bagi mereka yang selama ini terpinggirkan, baik oleh sistem maupun kapabilitas individual. Negara harus bertanggung jawab menjaga kebebasan setiap individu dalam beraktivitas dan memberi dukungan bagi mereka yang tidak mampu.
Baca juga:
Jika pendekatan yang bersifat holistik ini tidak kita lakukan, maka kekerasan bahkan terorisme tetap akan menjadi pemandangan sehari-hari. Kekerasan dan terorisme tidak pernah ada dalam kamus agama. Tetapi, ia bisa muncul berpayung agama jika kondisi sosial memberinya kesempatan.
*Sebelumnya dimuat di Majalah Madina
- Homoseksualitas Bukan Kejahatan - 28 Januari 2023
- Pidato Megawati - 12 Januari 2023
- Hate Crime - 13 Juni 2022