Menurut Richard Poe, ide-ide yang diistilahkan dengan Tranzi tadi memang setali tiga uang dengan ide Osama bin Laden. Mengandalkan solidaritas agama, etnis, dan sejauh mana mampu menebar kebencian atas apa yang disebut sebagai kemapanan demokrasi kapitalis liberal.
Sementara, Christianto Wibisono mencatat bahwa kelompok Tranzi tadi sudah unjuk gigi sejak demo anti-WTO di Seattle sampai dengan demo anti-globalisasi. Mereka juga menuntut AS sampai negara-negara Eropa membuka pintu selebar-lebarnya untuk imigran dari negara miskin.
Di sisi lain, mereka menularkan kedengkian, kecemburuan sosial, dan hanya melihat kejelekan dari pihak lain. Ini juga yang belakangan kian menular di Indonesia. Dan yang menyebarkannya justru sebagian pemuka agama yang menerjemahkan itu sebagai cara untuk membangkitkan umat.
Masalah ini juga pernah Victor Davis Hanson, penulis buku An Autumn of War, alami. Ia menyebut Tranzi tadi sebagai ideologi kebencian dan memang menjadi berhala, yang mengandalkan sentimen SARA, primordial, primitif, dan diktator.
Kelompok itu memiliki ciri kuat paling gemar menyalahkan orang lain, gemar mencari kambing hitam. Namun, nyaris tak pernah mau melihat kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Mereka juga getol memanfaatkan massa dan menjual nama rakyat. Tak terkecuali agama ketika suatu agama telah sebagian besar penduduk suatu negara anut.
Ini juga sempat tersingging dalam satu artikel di The New York Times tentang kelompok yang disebut kaum garis keras. Bersembunyi di tempat yang diistilahkan sebagai “Arab Basement”. Mempersiapkan terorisme seraya menghasut “Arab Street”.
Mereka gemar mengipasi kemarahan, dendam, kebencian, dan melakukan provokasi di sana. Mereka hanya ingin menularkan ideologi kebencian dan permusuhan atas segala yang berada di luar identitas mereka.
Yang getol mereka manfaatkan hanyalah masyarakat pinggiran yang berpendidikan rendah, malas belajar, cepat termakan hasutan, dan gampang mereka setir. Satu kelompok teranyar yang terbilang sukses memanfaatkan itu adalah ISIS sendiri. Betapa orang-orang yang frustrasi di negeri sendiri, menebar teror di dalam negeri, sampai berkiprah dalam teror internasional.
Baca juga:
- Apakah Partai Politik yang Bawa-Bawa Nama Islam Itu Bikin Umat Makin Membaik?
- Kenapa SARA dan Hoaks Muncul Menyerang Jokowi?
Sialnya, lagi-lagi, sebagian tokoh yang getol menyebarkan hal ini di sini telah dipandang sebagai tokoh yang dihormati, didengar, dan bahkan cenderung dinabikan. Bahkan pemerintah pun terkesan mampu mereka bungkam.
Pilihan di tengah kondisi ini, membiarkan yang terjadi agar terjadilah. Atau turut mengampanyekan pemahaman agar bisa melihat perbedaan sebagai berkah, sebagai potensi, yang bisa saling menguntungkan dan menguatkan.
Indonesia memiliki berkah kelebihan ini, dengan beragam suku dan agama, yang memiliki kelebihan tersendiri. Alangkah luar biasa jika mereka saling mengisi, alih-alih saling melarutkan diri dalam perasaan benci. Toh, sejatinya kita sadar, ideologi kebencian itu bukan sekadar dapat merampas kebahagiaan banyak orang, tetapi kerap membunuh diri sendiri.
Kebencian dengan alasan sesuci apa pun juga takkan membuahkan apa-apa. Kecuali hanya memberikan perasaan tidak aman, tidak nyaman, dan bahkan menenggelamkan diri dalam ketakutan hingga tak dapat melakukan apa-apa. Sementara ketakutan kerap menjadi ciri dari ketidakmampuan menemukan kelebihan di dalam diri sendiri dan potensi baik yang ada di sekeliling.
Ketidakmampuan ini hampir selalu menjadi jurang sangat dalam. Ini memutuskan jalan untuk dapat beranjak ke posisi lebih baik dan lebih tinggi.
Sekarang kita memilih apa? Sebaiknya memilih sadar. Setidaknya untuk melihat apakah sudah mengikuti jalan yang benar? Atau sekadar larut dalam perasan membenarkan diri sendiri?
Membiarkan diri dalam perasaan paling benar hanya menghalangi kesempatan untuk bersentuhan dengan kebenaran yang sebenarnya, yang sejatinya bukanlah kotak sempit yang membuat kita tak dapat beranjak ke mana-mana.
Ya, itu saja dulu ocehan saya pagi ini. Jika terasa mirip khotbah Jumat, mungkin Anda hanya iri pada jenggot saya. Eh.
Baca juga:
- Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Kemenag RI - 30 November 2019
- Jalan Paulo Coelho Menjadi Penulis - 27 November 2019
- Sepak Bola Indonesia Lebih Hidup di Tangan Anak Muda - 25 Oktober 2019