Namun, seperti terbukti dari adanya “perang informasi” saat ini, Plato pernah mengatakan bahwa masalah akan timbul ketika penampilan kompetitif dari kebijaksanaan itu tidak mampu membedakan mana yang berasal dari orang yang benar-benar bijaksana atau yang sekadar tampilan belaka.
“Jika kamu viral di media sosial, apakah itu berarti bahwa unggahan kamu memang bermakna? Popularitas bisa saja diukur dari jumlah ‘like’, tetapi kebijaksanaan tidak.”
Mungkin karena alasan itulah kenapa Plato, semasa hidupnya, terus mencari eksistensi filsuf sejati (true philosopher), orang-orang yang tulus “mencintai kebijaksanaan”, membedakannya dari para sofis (sophers) yang hanya tampak bijaksana dari luar. Dia ingin memisahkan influencer yang baik dari yang buruk.
Mewakili Socrates, Plato tidak pernah terkesan dengan orang-orang yang suka pamer moral di ruang publik. Seperti sering terlihat di media sosial, dia tidak suka orang munafik yang gemar mengkritik orang lain agar lebih bermoral menurut versinya.
“Makin kamu mempertontonkan betapa merasa bermoralnya kamu dibanding yang lain, makin besar kemungkinan bahwa kamu tidak menyadari kekurangan moral sendiri.”
Platform Ideal
Dalam Republic, Plato membayangkan sebuah masyarakat ideal yang hidup tertib dan damai di bawah kepemimpinan seorang filsuf yang mampu mendapatkan kebenaran sejati dari segala bentuk opini publik. Plato menerapkan sensor ke dalam kota teoritisnya untuk membedakan informasi yang baik dan yang buruk dari para pemengaruh.
Tak salah jika Jenny Jenkins dari Swansea University berspekulasi, Plato tidak akan pernah mengizinkan warganya menggunakan media sosial. Facebook atau Twitter, misalnya, tidak memiliki niat mempromosikan moralitas atau secara khusus mendidik pengguna.
“Sebaliknya, Plato mengusulkan pendidikan dan hiburan, serta wacana secara umum, harus diregulasi secara ketat. Jika tidak memajukan kesejahteraan masyarakat sesuai prinsip-prinsip rasional, semua seni independen akan dilarang.”
Dalam platform ideal Plato, hanya negara satu-satunya yang layak jadi pembuat konten. Konten itu adalah “Bentuk Kebaikan” yang terinspirasi dari wawasan filsafat.
“Kita mungkin perlu mewaspadai bagian buku ini, mengingatkan kita pada negara-negara yang memberlakukan kebijakan sensor Internet secara agresif. Namun, dari sudut pandang kontroversi terkini, seperti disinformasi vaksin atau polarisasi politik, kita setidaknya dapat merasakan ketakutan Plato dalam eskperimen sosial-politik imajinasinya.”
Baca juga:
- Kritik Hamid untuk FBH: Merayakan Kemurungan Hidup Bersama Filsafat
- Kegunaan dan Kebangkrutan Filsafat
Bagian itu juga Plato tegaskan dalam Phaedrus, yang berkisah tentang mitologi Mesir. Dia memperlihatkan bagaimana raja dewa Thamus mengkritik penemuan bahasa tertulis dewa Theuth. Theuth menawarkan hadiah berupa tulisan untuk membantu umat manusia, tetapi Thamus menubuatkan bahwa itu hanya akan membawa efek korosif pada kebudayaan.
“Akan ada banyak pendengar tanpa pernah belajar apa pun. Mereka akan tampak tahu banyak hal padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa. Yang berada di dekat mereka akan sengsara karena terlihat bijaksana padahal tidak.”
Bukankah itu semacam kritik tajam atas era informasi hari ini? Di hadapan mesin perambah, aksesibilitas data instan, dan percakapan media sosial yang penuh moralitas, indra manusia, bagi Plato, tidak akan pernah memadai untuk memahami kebenaran sejati. Hal-hal yang kita anggap realitas sesungguhnya, menurut Plato, hanyalah sebuah imaji.
“Konten yang kita buat—gambar artistik, cerita, atau representasi dalam bentuk apa pun—adalah imaji dari imaji. Pada akhirnya, semua hal yang kita unggah hanyalah imaji dari imaji dari imaji karena sudah disunting, dikomentari, dan disesuaikan dengan sirkulasi digital.”
- Memulai dengan Kalimat-Paragraf Topik - 26 Februari 2022
- Kenapa Menulis Harus Belajar? - 5 Februari 2022
- Jokowi Tidak Mau Sowan ke Ormas Perusuh - 4 Desember 2021