Ketubuhan Perempuan: Tubuh Aku (her) Mulia-Problematis

Ketubuhan Perempuan: Tubuh Aku (her) Mulia-Problematis
©Skanaa

Situasi ketubuhan perempuan adalah mulia, sebab itu sebuah titik realitas kehidupan awal.

Sejenak terlintas seruan emansipasi-universal tentang perempuan yang dideklarasikan oleh sang novelis dari Inggris, Virginia Wooll, yang ditulis oleh Gillian Gill dalam And the Women Who Shaped Her World (2019) bahwa sebagai wanita, aku tidak punya negara. Sebagai seorang wanita, aku tidak menginginkan negara. Sebagai seorang wanita, negaraku adalah seluruh dunia.[1]

Demikian merupakan sebuah adagium penegasan akan keistimewaan seorang wanita bahwa ‘aku’-nya wanita adalah universal, kompleks, dan menyeluruh. Mungkin ini sedikit radikal untuk dikatakan bahwa wanita adalah ibu dari semesta para manusia riil. Ini adalah tanda (sign) akan kemuliaan seorang wanita. Ini adalah sebuah catatan ideal tentang wanita.

Tak dimungkiri bahwa status mulia wanita tersebut saat ini, hari ini, hanyalah suatu realitas pereduksian status: dari yang mulia menjadi yang hina. Sadar atau tidak pun bahwasanya status wanita hari ini berada dalam situasi ironi: antara mulia dan hina.

Wanita itu mulia adalah sebuah konsepsi ideal. Wanita itu hina adalah de facto hari ini. Hal tersebut didasarkan pada pelbagai fenomena asosial terhadap perempuan seperti pemerkosaan, women trafficking, dan bentuk kekerasan lainnya. Hal inilah yang mengafirmasi kepada publik bahwa tentang wanita hari ini adalah catatan problematis.

Dalam karya ini, penulis mencoba untuk mendalami serta menyoroti status hina dari wanita dengan berfokus pada persoalan tubuh. Refleksi tentang kebertubuhan wanita adalah status quetiones yang menjadi perhatian dewasa ini.

Mengapa harus tubuh?

Tubuh perempuan masa kini hanya dipandang sebagai objek dan daya tarik publik. Ketubuhan aku (her) hanyalah realitas seduction (rayuan),[2] yang tak lebih dari pada seksdar pemuasaan hasrat badaniah (nafsu seks).

Mengapa demikian? Apakah tubuh perempuan harus selalu dihinakan?

Demikian setiap pribadi dituntut pada pola retrospeksi untuk kembali menyadari akan kemuliaan tubuh dari sang wanita.

Baca juga:

Suara Minor dari Tubuh ‘Aku’ (her)

Situasi problematis tentang tubuh perempuan dapat digambarkan sebagai suatu dinamika suara minor dari kesadaran perempuan akan kebermaknaan tubuhnya.

Benar bahwa tentang tubuh perempuan adalah sebuah catatan minor dewasa ini. Tubuh perempuan dijustifikasi dalam analisis semiotika tubuh. Tubuh perempuan diproduksi sebagai tanda yang direpresentasikan melalui ranah bahasa. Tubuh perempuan dieksplotiasi menjadi tanda atau signifier yang dikaitkan dengan makna tertentu.

Atau bahkan tubuh aku (her) dijadikan sebagai alat tukar dalam sebuah sistem komunikasi sosial. Tubuh perempuan bahkan terperangkap dalam skema reproduksi tanda tubuh yang beraroma ketidakadilan, atau bahkan ketidaksetaraan.[3]

Gambaran problematis tubuh perempuan ini adalah kenyataan dari apa yang hendak dikatakan sebagai bentuk suara minor dari tubuh perempuan, tubuh ‘aku’ (her). Situasi minor dari tubuh perempuan diakui bahwa tubuh ‘aku’ (her) telah dijadikan sebagai objek.

Contohnya adalah tubuh perempuan telah ditundukkan, dikuasai, dikekang, tidak diberikan kebebasan atau hak kuasa pada tubuh, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu peluang dalam industri ekonomi-politik oleh para pemilik modal.

Matterlart Michele dalam karyanya Women and the Cultural Industries (1986) menyatakan juga bahwa tubuh ‘aku’ (her)  dijadikan sebagai tontotan.

Menjadikan tubuh sebagai ‘tontonan’ bagi sebagian wanita merupakan jembatan atau jalan pintas untuk memasuki pintu gerbang dunia budaya populer untuk mencari popularitas, untuk mengejar gaya hidup dan untuk memenuhi kepuasan material, tanpa menyadari bahwa mereka sebetulnya telah dikonstruksikan secara sosial untuk berada di dunia marginal-dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditi.[4]

Tubuh ‘Aku’ (her): Ini adalah Kemuliaan

Keterjebakan dalam pola reduksionis tubuh perempuan seyogianya memotivasi kembali kesadaran akan status integritas tubuh wanita. Bahwasanya tubuh wanita bukan sekadar bagian dari aku-nya wanita, tetapi merupakan suatu integritas manusia wanita. Kesadaran demikianlah yang bermuara pada asumsi bahwa tubuh wanita itu mulia.

Halaman selanjutnya >>>
Raymundus Tanu