
Dalam berbagai literatur, gagasan dan sumbangan pemikiran terbesar Ki Hadjar Dewantara atas Indonesia lebih banyak kita kenal di dunia pendidikan. Makanya ia kita sebut sebagai bapak pendidikan Nasional Indonesia dan pencetus Tut Wuri Handayani. Sedikit sekali, walaupun tak bisa kita katakan tak ada literatur yang mengkaji atau membahas tentang gagasan lain, semisal demokrasi dan kepemimpinan.
Buku Kenji Tsuchiya, Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Taman Siswa (2019), ini seakan-akan berusaha keluar dari pembahasan teoritik tentang sistem pendidikan. Sesuai judul bukumya, Kenji berusaha menggali dan mencari gagasan. Ia menarik benang merah antara konsep demokrasi dan kepemimpinan pada era awal-awal terbentuknya Indonesia.
Buku ini tentunya menjadi semacam pengobat kerinduan, sekaligus penyempurna atas kelangkaan kajian kritis tentang sosial sejarah terkait pendirian dan gerakan Taman Siswa Yogyakarta. Kenji, seorang sarjana Jepang dari Kyoto University, melakukan penelitian tentang masyarakat, politik, dan kebudayaan di Indonesia melalui Taman Siswa.
Dalam bukunya, Kenji mencatat dinamika pergolakan yang terjadi di awal-awal berdirinya Perguruan Nasional Taman, atau yang lebih akrab kita kenal sebagai Taman Siswa pada 1922 di Yogyakarta. Mulai dari persoalan tidak adanya perhatian dari gerakan nasional maupun pemerintah Kolonial Belanda, perjuangannya melawan pemberlakuan “Ordonasi Sekolah Liar”, hingga memperlihatkan persatuan kaum nasionalis dengan anggota Taman Siswa yang sama-sama anti-Belanda.
Kenji berpandangan, melalui Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara menggunakan pendidikan sebagai senjata perjuangan untuk melawan kolonialisme Belanda. Dalam catatan Kenji ini, Ki Hadjar Dewantara melakukan pembangunan perjuangan secara terus-menerus dalam sistem pendidikan berkesinambungan di sekolah-sekolah cabang di berbagai tempat di Jawa dan luar Jawa.
Salah satu yang cukup menarik dalam kajian Kenji adalah ia bisa menggungkap pergulatan pemikiran Ki Hadjar Dewantara melalui Taman Siswa yang bersikap non-koperatif dan konfrontatif pada Belanda pada satu sisi. Namun, pada sisi lainnya, ia juga koperatif dan konfrontatif pada kaum nasionalis yang mendukung demokrasi terpimpin Soekarno.
Kenji mengungkap bahwa pandangan Ki Hadjar Dewantara terkait demokrasi dan kempimpinan berakar pada sikap penolakan atas jenis demokrasi yang bersifat liberal sebagaimana terterapkan di negara-negara Barat.
Istilah demokrasi oleh Ki Hadjar Dewantara ia carikan alternatif lain yang lebih sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia, tidak sama seperti “demokrasi rakyat” sebagaimana berlaku di negara-negara Komunis. Ki Hadjar Dewantara menawar gagasan “demokrasi kepemimpinan” di mana demokrasi ini lebih menghargai hak asasi manusia terkait ketertiban, kedamaian dalam kehidupan bersama sebagai bangsa.
Kenji menjelaskan dan menyajikan bahwa demokrasi dan kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara adalah demokrasi di bawah pimpinan kebijaksanaan, bukan kebijaksaan pimpinan. Gagasan ini ia anggap sebagai sintesis mengenai banyak perbedaan terkait perumusan paham demokrasi. Oleh Ki Hadjar Dewantara, ini berguna sebagai pendekatan di kalangan Taman Siswa dalam membangun sendi kehidupan kekeluargaan.
Gagasan demokrasi dan kepemimpinan ini terinspirasi dari artikel sahabatnya, Soetatmo, berjudul “Demokrasi dan Kebijaksaan”. Ki Hadjar Dewantara memodifikasi tesis Soetatmo yang berbunyi “demokrasi tanpa kebijaksanaan adalah melapetaka” ke dalam bentuk lain yang lebih sesuai dengan visi dan misi Taman Siswa “menjadi satu dengan anak didik harapan masa depan rakyat” dengan gagasan “sama rata sama rasa” (hlm. 341).
Baca juga:
- Penyakit Pendidikan Kita: Sembuh Satu, Kambuh Seribu
- Pendidikan sebagai Pembebas Kaum Marginal, Petani, dan Miskin Kota
Sebagai sebuah warisan pemikiran, gagasan demokrasi dan kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara ini bisa kita katakan hampir berkembang sempurna dalam tubuh Taman Siswa. Karena bisa menciptakan suatu demokrasi yang berbeda dengan demokrasi Barat dan bisa merealisasikan konsep “sama rata sama rasa” di tubuh Taman Siswa sendiri.
Konsep ini misalnya kita bisa lihat dari pengabungan antara ideologi pendidikan dan prinsip-prinsip pendidikan melalui prinsip Jawa yang kita kenal hingga saat ini, tut wuri handayani, membimbing dari belakang. Konsep demokrasi kekeluargaan ini bisa kita katakan bahwa setiap siswa memiliki kebebasan untuk memilih jalan, tapi guru mengikuti dari belakang memberikan kebijaksanaan. Sama halnya dengan hubungan anak dan orang tuanya.
Bagi Kenji, konsep ini bisa kita terapkan dalam hubungan organisasi melalui fungsi “organisasi keluarga”. Konsep ini sejalan dengan konsep asal-usul keluarga dalam kata-kata kawula dan keluarga. Kawula berarti abdi, hamba, di mana seorang membaktikan diri pada tuannya. Warga berarti “anggota”, orang bertanggung jawab mengambil keputusan.
Pada bagian ini, Kenji melihat penyatuan dua fungsi, fungsi kesetian dan fungsi membagi tanggung jawab. Setiap keluarga bisa memungkinkan menjadi abdi sekaligus juga menjadi tuan.
- Gangubai, Stigma dan Diskriminasi Pelacur - 3 Juli 2022
- Hasrat dan Jejak Ruang Media Sosial - 30 April 2022
- Autologi Diri Perspektif al-Ghazali - 26 Maret 2022