
Meskipun dari sisi prosedur elektoral Indonesia sudah menjalankan pemilu yang relatif bersih dan adil, tetapi kerawanan dan kompleksitas pemilu 2019 tetap perlu kita waspadai.
Tak terasa 2017 mendekati senja kala, memasuki 2018, yang oleh banyak orang sebut sebagai tahun politik. Karena itu, menarik membincang peta jalan demokrasi dan arah politik 2018.
Artikel ini menyajikan proposisi tentang wajah demokrasi dengan terlaksananya keserentakan pemilihan presiden dan legislatif sekaligus. Premis awalnya adalah pemilu serentak mengandung kerumitan dan kerawanan. Tidak hanya karena pertama kalinya dalam sejarah elektoral, pemilu serentak 2019 akan menentukan masa depan demokrasi di Indonesia. Meskipun ia bukan satu-satunya ukuran maju-mundurnya demokrasi.
Gelombang Demokrasi Indonesia
Pascareformasi 1998, Indonesia melakukan banyak simulasi demokrasi, antara lain dari sistem partai banyak ke penyederhanaan partai. Dalam UU pemilu yang baru, penyederhanaan partai tidak kelihatan. Kontestan parpol pada pemilu 2019 kemungkinan bertambah dengan dua atau tiga partai baru.
Literatur demokrasi memandang simulasi demokrasi di negara berkembang merupakan paradigma transisi demokrasi menuju demokrasi yang berkualitas. Tarik-menarik dari multipartai ke sistem penyederhanaan partai adalah contoh dan implikasi dari transisi demokrasi.
Tipikal demokrasi Indonesia setidaknya dapat kita baca melalui Rose & Sin (2001) yang menemukan banyak studi tentang gelombang demokratisasi dan meyakini kompetisi elektoral yang terinstitusionalisasi memperkuat konsolidasi demokrasi. Karena itu, pilkada 2018 dan pemilu serentak 2019 adalah pertarungan atas maju-mundurnya kualitas demokrasi di Indonesia.
Dalam jangka pendek, konsolidasi demokrasi dapat kita potret dari pelaksanaan 171 pilkada yang mencakup 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Tiga pilkada di antaranya akan memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur di provinsi dengan penduduk paling padat di antero Nusantara, yaitu Jabar, Jateng, dan Jatim. Cara-cara lama atau cara-cara baru memilih kepala daerah berikut proses pemilihannya menentukan potret demokrasi Indonesia.
Sejalan dengan argumentasi Carothers (2002) yang meyakini relasi kuat antara pemilihan umum dan domokrasi, partisipasi politik menentukan akuntabilitas demokrasi. Jika proses pemilihan kepala daerah tidak mengalami banyak perubahan, dapat kita pastikan potret pilkada 2018 menentukan kualitas demokrasi masa depan.
Baca juga:
- Dukungan Publik terhadap Partai Politik Tetap Stabil sejak Pemilu 2019
- Perjuangkan PBB Ikut Pemilu 2019, Yusril Ihza Mahendra Sowan dan Minta Doa ke Ulama
Berbagai tantangan masih akan kita hadapi pada 27 Juni 2018 saat pilkada serentak akan memilih 171 kepala daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih akan memutakhirkan data pemilih, tetapi data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) menunjukkan angka sekitar 160 juta orang berpotensi menggunakan hak suaranya.
Masih di 2018, akan ada dua tahapan penting Pemilu 2019: pendaftaran calon anggota legislatif pada Juli 2018 serta pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada Agustus 2018. Pemilu serentak DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta presiden dan wapres akan berlangsung pada 17 April 2019.
Kerawanan Pemilu
Lebih spesifik, prognosis kerawanan pemilu 2019 dapat kita telusuri berdasarkan identifikasi Indonesian Parliamentary Center (IPC) pada pemilu 2014.
IPC mengidentifikasi 14 kerawanan pemilu, antara lain ketidakpuasan terhadap daftar pemilih karena banyak masyarakat pemilih tidak terdaftar, kampanye yang menonjolkan kekuatan, surat undangan pemilih tidak sampai kepada pemilih terdaftar, jumlah logistik yang kurang, perbedaan persepsi tentang surat suara sah, pemungutan dan perhitungan suara melebihi waktu yang ditentukan, serta dugaan manipulasi tentang penggelebungan suara.
Oleh karena itu, menghadapi tahapan dan proses pemilu di 2018 dan pelaksanaan pilkada 2018 yang aman dan damai tidak cukup hanya mengandalkan peran penyelenggara dan pengawas pemilu. Jauh dari itu, peran dan eksistensi parpol juga ikut menentukan. Selain parpol, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sangat kita butuhkan partisipasi aktifnya.
Kita harus menyadari bahwa proses berdemokrasi tidak berhenti pada pemilihan kepala daerah dan pemilu 2019. Demokrasi kita uji sepanjang masa, tidak hanya lima tahunan periode berkuasa. Negara harus berperan aktif dan mempromosikan konsolidasi demokrasi yang jauh ke depan. Sebagai bangsa, kesejahteraan rakyat adalah titik perjuangan yang paling akhir.
Proses berdemokrasi yang dibiayai dengan triliunan rupiah seharusnya berdampak pada kesejahteraan banyak orang. Jangan sampai rakyat bertutur, biaya pilkada dibagi rata saja per penduduk. Tiga gelombang pilkada, yakni 2015, 2017, dan 2018 diperkirakan menghabiskan sekitar Rp26 triliun. Sementara itu, kompleksitas pemilu 2019 diproyeksikan menghabiskan dana Rp16-19 triliun.
Meskipun dari sisi prosedur elektoral Indonesia sudah menjalankan pemilu yang relatif bersih dan adil, tetapi kerawanan dan kompleksitas pemilu 2019 tetap perlu kita waspadai. Dengan tren positif dari pengakuan lembaga di dalam dan luar negeri atas proses dan transparansi, proses pemilihan di Indonesia masih perlu kita pertahankan.
Pada 2018 dan 2019, boleh jadi tren positif tidak akan berubah, dengan syarat semua stakeholders memiliki visi demokrasi yang sama, yaitu bertekad berkontestasi untuk demokrasi yang lebih baik dan memberi dampak bagi kesejahteraan rakyat.
Halaman selanjutnya >>>
- Kompleksitas Pemilu 2019 dan Masa Depan Demokrasi - 6 Januari 2018