Kreol dan Pijin; Arbitrer yang Terpinggirkan

Kreol dan Pijin; Arbitrer yang Terpinggirkan
©Grid

Perjuangan eksistensi dan konsistensi pijin dan kreol adalah bakat perjuangan kekuatan arbitrer.

Saat jalan-jalan ke Pulau Ubin, Anda akan banyak menemui paparan Singlish (Singaporean English) seperti papan iklan yang tertulis: Oh ye..Oh ye..Y u so like that! Buy a drink lah! Sebuah konstruksi kalimat yang tak lazim bagi telinga American English (AE) ataupun British English (BE).

Beberapa disrupsi gramatikal dan kelas kata mewarnai kalimat tersebut di atas, seperti adanya kontraksi personal pronoun ataupun afiksasi sebagai penekan pada bagian tertentu. Pulau kecil indah nan asri yang terletak di timur laut Singapura itu merupakan pertahanan terakhir yang kuat bagi penutur Singlish.

Begitu pun yang terjadi di Papua New Guinea, Tok Pisin (Papuan English) juga memorak-porandakan tatanan baku bahasa kolonial terbesar tersebut. Sebut saja pada contoh nomina: Sop bilong tit mewakili kata “pasta gigi”, Haus dok sik mewakili kata “klinik hewan”. Juga ada ujaran semisal: Lukim yu bihain pukpuk” yang mewakili makna: See you later Alligator!

Itulah sebagian kecil contoh dari bahasa kreol dan pijin yang tersebar di wilayah-wilayah pendudukan kolonial. Mereka muncul sebagai reaksi atau respons mereka terhadap perubahan politik dan sosial di negara mereka (Kushartanti, 2009: 62).

Bahasa pijin dan kreol awalnya muncul melalui proses pembelajaran bahasa kedua karena desakan keadaan. Biasanya dipakai perbudakan perkebunan dan aktivitas penyebaran agama tempo dulu.

Pijin yang diartikan sebagai simplifikasi bahasa, kosakatanya kebanyakan berasal dari bahasa lain serta mempunyai struktur tata bahasa yang sangat berbeda. Keadaan sosiolinguistik ini terbentuk ketika para penutur sebuah bahasa melakukan hubungan kebahasaan dengan penutur bahasa lain. Seperti keadaan sosiolinguistik budak yang bekerja pada perkebunan yang diurus oleh penutur bahasa lain dan tidak mengerti bahasa lawan tuturnya.

Sosiolinguistik perbudakan di Afrika ataupun kerja paksa di Asia merupakan contoh sel perkembangan kreol dan pijin. Mereka yang bekerja telah mewarnai kebahasaan dalam satu tempat guna menjaga agar tetap saling berkomunikasi dengan sesama mereka di samping dengan pihak atasan.

Dengan eksistensi dan konsistensi komunal, pijin berkembang menjadi lingua franca yang disebut dengan kreol. Variasi bahasa kreol dan pijin juga muncul dari proses fosilisasi dan konvensionalisasi (van Bree, 1990: 272).

Sebagai contoh, Singlish (Singaporean English), yang telah digunakan di Singapura itu yang berawal kedatangan Inggris di sana. Singlish berkembang di antara kelas pekerja yang mempelajari unsur-unsur bahasa Inggris tanpa sekolah formal. Mereka mencampurkan unsur-unsur bahasa ibu untuk mendapatkan kreol dan pijin.

Melalui proses kreolisasi ini, Singlish menjadi bahasa kreol yang sepenuhnya terbentuk, stabil, dan independen di sisi fonologi, sintaksis, morfologi, dan penyisipan sintaksis yang tetap.

Semangat perkembangan arbitrer bahasa kreol dan pijin kerap mendapat tekanan dari penguasa. Singlish, misalnya. Pemerintahan Singapura telah melembagakan sebuah program yang disebut Speak Good English Movement (SGEM) untuk membasmi Singlish.

Tekanan dunia juga dialami Negara Dominika, sebuah pulau kecil di Karibia timur, yang sedang mencoba untuk melestarikan versi unik bahasa Kreol mereka. Dominika berjuang untuk Kwéyòl, salah satu dari banyak varian bahasa Kreol yang diucapkan di lebih dari selusin pulau di Karibia itu.

Jumlah bahasa kreol dan pijin tentunya banyak di dunia. Kebanyakan mereka dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Eropa seperti Inggris dan Spanyol.

Kolonialisme dan penyebaran agama sangat memegang andil terbesar untuk perkembangan bahasa kreol dan pijin. Hal ini berdasarkan penelitian bahwa bahasa kreol dan pijin yang ditemukan di seluruh dunia memiliki bahasa dasar Eropa, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, Jerman, Prancis, dan Belanda.

Bahasa kreol dan pijin pada umumnya tercipta di daerah-daerah kaya sumber daya alamnya. Seperti wilayah-wilayah dekat garis khatulistiwa yang sudah terkenal sejak dulu menjadi daya tarik para pedagang Eropa.

Wilayah-wilayah ini kerap menjadi daerah tujuan kolonialisme dan penyebaran agama hingga membangkitkan terciptanya kreol dan pijin. Alhasil, lahirlah kreol dan pijin berbasis Bahasa Prancis, seperti: ragam pijin Melanesia, Tok Pisin di Papua New Guinea yang pada akhirnya sekarang berkembang menjadi kreol.

Ada juga Bislama di Vanuatu dan pijin di Solomon Island. Bahasa pijin ini dipengaruhi bahasa Eropa seperti Inggris, Jerman, Portugis, dan Melayu. Bahasa kolonial disebut sebagai base, sedangkan bahasa yang memengaruhi tata bahasanya disebut substrate.

Tata bahasa dan kosakata pijin pada umumnya sangat sederhana (Kushartanti, 2009: 62).

Perjuangan eksistensi dan konsistensi pijin dan kreol adalah bakat perjuangan kekuatan arbitrer. Seperti halnya orang-orang Yunani kuno dulu yang mempunya bakat ingin mengetahui hal-hal baru di dunia manasuka bahasa (arbitrer). Dengan berani dan gigih, mereka bebas membuat spekulasi mengenai definisi, asal mula, sejarah, dan struktur bahasa.

Pengetahuan tradisional kita mengenai bahasa sebagian besar adalah berkat mereka (Bloomfield, 1995: 2). Keingintahuan manasuka bahasa ini terlihat dari apa yang pernah ditulis Herodotus yang menggali semangat perjuangan manasuka bahasa ini.

Baca juga:

Herodotus menjelaskan bahwa Raja Psammetichus di Mesir pernah mengasingkan dua orang bayi yang baru lahir di sebuah taman, untuk mengetahui mana bangsa dan bahasa tertua di dunia. Ketika bayi-bayi tersebut mulai berbicara, mereka mengucapkan kata “bekos“, yang ternyata dari bahasa kreol Frigia yang berarti “roti” (Yule, 1985: 2).

Perjuangan manasuka bahasa adalah bagian dari kebebasan yang hakiki.

Bagaimana eksistensi bahasa kreol dan pijin di Indonesia? Tentunya sama, terpinggirkan. Kita lupa bahwa ruh Bahasa Indonesia adalah Melayu pijin! Termasuk yang pernah ada, dan punah seperti kreol Tansi dan kreol Tugu yang sudah tak dapat diselamatkan dari dekreolisasi.

Perlu adanya minat, semangat, dan penelitian yang lebih dalam terhadap struktur bahasa Tansi dan Tugu dengan melibatkan para linguis dan lembaga kebahasaan guna memperkaya identitas kebahasaan.

Saya sempat sumringah mengenai hal ini. Ketika saya muntahkan semangat manasuka bahasa kreol dan pijin ini dalam lomba cipta cerpen ulang tahun Kota Jakarta. Semangat itu ada dalam cerpen Peluit Kreol yang berkisah tentang kisah arbitrer kreol Tugu serta budaya musik keroncongnya.

Masa, sih, Badan Bahasa kita cuma bengong saja? Lebih sibuk entri dan reviu akronim kurang greget: bucin, bumin, nakes di KBBI. Oalah, mana kreol dan pijinmu?