
Sudah berapa kali lebaran mereka tidak mudik, mereka pasti mudik sekarang, enggak mungkin nunggu ayahnya jadi mayat dulu mereka akan pulang!
Doktor Djatmiko setiap pagi terlihat membaca koran sambil sarapan kentang, telur rebus, dan segelas air putih; kondisi kesehatan membuatnya tidak boleh puasa. Koran itu hanya dibaca-baca sekilas lalu dilipatnya kembali dan diletakkan di atas meja. Lantas dia hanya terdiam sambil menatap pintu gerbang yang besinya sudah berkarat. Dia sedang menunggu, tepatnya terlihat menunggu seseorang yang datang.
Dulu sebelum istrinya meninggal, dia menunggu bersama istrinya. Duduk berdua di depan rumah sambil minum kopi, ya dulu kopi masih boleh dia nikmati sebelum dokter melarangnya. Bersama istrinya menunggu bukan hal yang membosankan, bukan hanya sebatas menunggu, hari-hari yang dilaluinya setelah pensiun tak membuatnya dirundung kesepian.
Setelah pensiun dari baragam jabatan yang dimilikinya, menteri, dosen, politisi, dan beragam ketua organisasi atau penasihat ormas. Doktor Djatmiko lebih punya banyak waktu bersama istrinya, yang tak pernah dia miliki setelah pernikahan. Ada rasa penyesalan yang harus dia pikul, kenapa dulu dia hanya meluangkan waktu sedikit untuk istrinya. Istri yang melahirkan tiga orang anaknya.
Sebenarnya dulu Doktor Djatmiko tidak hanya sibuk karena pekerjaan dan menyalurkan hobinya bermain tenis, tapi ada sesuatu yang membuatnya jarang pulang, sesuatu yang hanya tersiar sebagai selentingan, yang kabar beritanya pernah dibocorkan sebuah akun di Twitter. Yang kemudian pemilik akun itu ditangkap karena sudah menyebarkan berita bohong dan mencemarkan nama baik.
Istrinya percaya kalau selentingan itu tidak benar dan sekadar fitnah untuk menjatuhkan karier suaminya, maka dia pun berusaha menyakinkan anak-anaknya kalau ayahnya adalah orang yang baik dan setia pada keluarga, hingga hari-hari yang berat itu bisa dilalui dan wibawa Doktor Djatmiko di mata anak-anaknya kembali pulih.
Kini wanita yang ada di belakang kesuksesan Doktor Djatmiko sudah tidak ada dan anak-anaknya semuanya tinggal di luar negeri. Mereka semua sibuk, sebagaimana Doktor Djatmiko dulu. Bahkan mereka nyaris semuanya sibuk dan rumah hanya sebatas tempat singgah.
Pernah Doktor Djatmiko tinggal di rumah anak laki-lakinya yang pertama, dia tinggal di New York, bekerja sebagai bankir. Istrinya orang Indonesia, meski sebagai ibu rumah tangga tetapi sibuk berkegiatan di luar rumah, senam, arisan, belanja, ke salon, berenang, adalah kegiatan yang sering diutarakan bila hendak pergi. Begitu juga dengan cucu Doktor Djatmiko, keduanya sibuk dengan kegiatan sendiri-sendiri; sepulang sekolah memilih berada di kamar, main game, media sosial atau ngobrol dengan teman-temannya lewat handphone.
Ke rumah anak laki-laki kedua yang ada di Tokyo begitu juga dan ke anak bungsunya yang perempuan di Singapore, yang bekerja sebagai dokter, tetap saja semuanya pada sibuk, terlebih suaminya seorang diplomat Indonesia. Akhirnya Doktor Djatmiko memilih pulang ke Jakarta, meski kesepian menyelimuti hidupnya.
****
Melihat Doktor Djatmiko termenung dan menatap hampa pintu gerbang, Mang Dadang, seorang pembantunya datang dan mengajaknya ke dalam.
“Tuan, duduknya di dalam saja atau berbaring di kamar, sebentar lagi matahari akan terik. Begitulah prakiraan cuaca yang saya lihat di televisi!” ujar Mang Dadang, sambil mengambil rujukan prakiraan cuaca agar meyakinkan.
“Tidak apa-apa, Mang, saya sedang menunggu anak-anak pulang. Sebentar lagi, kan, lebaran, pasti mereka semua pada mudik!”
“Tuan, kalau mereka mau datang tentu sudah memberi kabar, lagi pula sekarang masih pandemi, tidak diperbolehkan mudik lebaran oleh negara.”
“Sudah berapa kali lebaran mereka tidak mudik, mereka pasti mudik sekarang, enggak mungkin nunggu ayahnya jadi mayat dulu mereka akan pulang! Mereka itu pulangnya naik pesawat, enggak mungkin berkerumun, lagi pula tidak mungkin mereka dilarang, ada nama Djatmiko di belakang nama mereka, siapa di negeri ini tidak kenal saya?!”
Mang Dadang memilih untuk pergi ke belakang dan membiarkan Doktor Djatmiko duduk menunggu. Nanti juga kalau sudah merasakan teriknya matahari dia memilih menunggu sambil tiduran di kamarnya.
Tapi setelah Mang Dadang menghilang di balik pintu, terlihat ada yang datang. Seorang perempuan muda berparas jelita. Dia berdiri sejenak di muka pagar, sebelum akhirnya tampak ragu melangkah mendekati Doktor Djatmiko.
“Ayah!” ucap perempuan muda itu dengan parau.
Doktor Djatmiko memandanginya sambil keningnya berkerut, “Kamu siapa?” tanyanya dengan suara bergetar.
Perempuan muda itu langsung bersimpuh di kaki Doktor Djatmiko. “Saya Arun, ayah, Arunika Djatmiko,” ucapnya sambil terisak.
Mendengar nama itu, Doktor Djatmiko tersentak dan terdiam sesaat. Matanya tak kuat membendung air matanya hingga mengalir membasah di pipinya. Dengan gemetar tangannya membelai rambut perempuan muda yang bernama Arunika. Sebuah nama yang dia berikan untuk anak yang terlahir dari wanita simpanannya, yang dulu pernah jadi selentingan kabar dan dibantahnya.
“Kamu sudah besar, Nak, maafkan ayah!” ujar Doktor Djatmiko dengan suara serak dan tersendat. Lantas dia menagis hingga terdengar sampai ke dalam.
Mang Dadang langsung muncul dan terlihat kebingungan.
- Pak Burhan dan Anggota Dewan - 7 Juli 2022
- Lebaran Kali Ini Tak Lagi Sepi - 18 April 2021
- Politisi Muda - 7 April 2021