
Lelaki itu bapak, lelaki yang mati rasa
Hanya sepenggal kata bijak yang bisa kutanam pada kepala ini
Untukmu lelaki kuat baja dan sabar bak laut
Tiada mengeluh ketika di pundakmu berbalutkan susah
Atau tidak pernah berteriak ketika senang
Di lorong depan rumah ketika secangkir kopi mengepul sebagai teman
Kala dengan lugu engkau membuka cerita
Tentang terik yang tidak pernah henti membakar tubuhmu
Tentang perjuangan yang menguras tenagamu
Hingga tiba rambut putihmu
Engkau tidak pernah mengeluh akan nasib yang tidak henti-hentinya
Menghantuimu
Lelaki itu bapak
Dia adalah lelaki mati rasa
Tiada bisa tersenyum tiada bisa menangis
Ketika perjuangannya tidak pernah memberikan hasil
Semuanya terbukti ketika dia tidur
Saat itulah dia menjadi asli tanpa topeng
Tanpa drama
Dia menjadi diri yang rapuh dan sakit
Dia menjadi manusia wajar bukan robot
Sebab dia adalah lelaki
Ya. Lelaki itu bapak
Ledalero, 2019
Percakapan Terakhir
Sebelum semuanya dikenang dalam cerita
Di depan kapela suatu siang sepertinya kekecewaan menjadi sesuatu
Yang sulit untuk dilupakan
“Kamu yakin”
Dia menghela napas
“Aku tidak ada pilihan lain selain pilihan ini”
“Bagaimana dengan perasaan kamu”
“Jangan pikirkan itu.”
Kataku
“Tidak cukupkah perjuanganku selama ini”
“Cukup. Tapi jangan tekan aku dalam hal mencintai”
“Mengapa kamu mengakiri ini,” tanyanya singkat sambil menggelengkan kepala
“Maafkan aku karena sebelum aku mengenalmu aku lebih dulu mengenal dia”
“Semua lelaki sama saja”
Dalam gugupku dengan polos aku bertanya
“Sebelum aku melukaimu kamu menangis dipundak siapa?”
Wanita itu hanya diam.
Sebab dia pernah terluka sebelumnya
Ledalero, 2019
- Bidadari Terakhir - 20 April 2020
- Surat Cinta untuk Adonai - 20 April 2020
- Ennu - 19 April 2020