Sebuah pikiran picik karena fanatisme buta membuat diriku gelap mata dalam menilai realitas yang ada. Maaf, Pak Prabowo, aku berbalik arah.
Nalar Warga – Pada Pilpres 2014 lalu, pasangan Prabowo-Hatta mengumumkan secara resmi kemenangan mereka atas Jokowi-JK. TVOne merupakan satu-satunya stasiun TV Nasional yang menyiarkan peristiwa bersejarah itu secara langsung.
Entah konspirasi apa yang dilakukan TV Nasional lainnya sehingga mereka malah menyiarkan fakta sebaliknya. Tapi, ya sudahlah, aku pikir namanya juga politik. Ada-ada saja yang dilakukan orang demi menurutkan ambisi kekuasaan.
Yang pasti, aku dan banyak orang ikut bersukaria mendengar kabar kemenangan Prabowo-Hatta. Sejak saat itu, secara resmi, aku meyakini Presiden Indonesia adalah Prabowo Subianto.
Ada yang Aneh
Namun, di tengah sukaria tersebut, aku merasa ada yang aneh. Karena tak beberapa lama setelah sujud syukur yang dilakukan Prabowo Subianto, KPU malah mengumumkan bahwa Presiden terpilih justru Jokowi-JK.
Aku pikir, “Apa-apaan ini?” Sungguh, saat itu aku merasa politik telah menjadi tempat paling kotor di dunia. Lebih kotor dari sarang tikus.
Ada pertanyaan besar dalam benakku melihat fenomena yang terjadi. Aku berpikir, apa yang sebenarnya telah dilakukan KPU sehingga mereka malah tanpa rasa takut kepada Tuhan melakukan cara licik agar Jokowi-JK memenangkan Pilpres?
Tapi, aku tak punya daya apa-apa. Bahkan untuk sekadar menyumpah ke sana kemari, tak akan mengubah keadaan. Bagiku, kekuasaan adalah monster besar yang tak bisa dilawan dengan caci maki.
Meskipun Jokowi-JK sudah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, aku dan banyak orang tetap percaya pada kebenaran. Aku tetap menganggap Presiden Indonesia sebenarnya adalah Prabowo Subianto dan wakilnya adalah Hatta Rajasa.
Sampai di penghujung masa jabatan Jokowi-JK, aku masih yakin dan tetap teguh pendirian. Aku bersikeras bahwa Presiden Indonesia sebenarnya adalah Prabowo Subianto.
Prabowo-Sandi akan bertarung di Pilpres 2019. Aku berpikir kejadian yang sama tak boleh terulang lagi. Kuasa Jokowi-JK yang dulu bisa menyogok KPU harus diantisipasi. Bila KPU saja bisa disogok, tentu hal lain lebih mudah mereka lakukan.
Ketakutan-ketakuan yang ada dalam benakku akhirnya terjadi, tepat pada 3 Oktober 2018. Kejadian ini mengundang emosi ketika aku mendengar kabar bahwa aktivis Ratna Sarumpaet dikeroyok.
Aku awalnya menduga ada konspirasi besar dalam kasus yang menurutku tak biasa ini. Aku tahu, Prabowo memang sering disebut dengan pelanggar HAM semasa Orde Baru. Tapi, benar atau tidak, itu, kan, masa lalu dan sampai sekarang belum bisa dibuktikan?
Tak Lagi Mau Terjebak
Sekarang, pikirku, tak ada waktu untuk terjebak terus-terusan di masa lalu. Fakta kekinian sudah jelas: kubu Jokowi-Ma’ruf telah melakukan pelanggaran HAM dengan cara berbuat keji kepada Ratna Sarumpaet.
Daripada sibuk ngurusin pelanggaran HAM masa lalu, lebih baik fokus ke pelanggaran HAM saat ini di depan mata. Itulah keyakinan yang menggebu-gebu yang aku utarakan kepada seorang teman.
Bak gayung bersambut, pikiranku diejawantahkan oleh Pak Prabowo dan tim pemenangannya dengan melakukan konferensi pers terkais kasus Ratna Sarumpaet tersebut. Kejadian 2014 terulang lagi. Hanya TVOne yang berani menyiarkan kebenaran.
Aku sudah sangat yakin dan sudah terlihat bahwa kehancuran Jokowi sudah di depan mata. Sebentar lagi polisi akan menemukan pelakunya. Prabowo-Sandi siap untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024.
Namun, tak lama setelah keyakinan itu membumbung tinggi, tiba-tiba banyak orang, termasuk diriku pribadi, jadi bingung ketika Ratna Sarumpaet mengatakan bahwa ia bohong. “Apa?” Aku sangat terkejut dengan pernyataan aktivis perempuan berusia 70 tahun ini.
Jadi berpikir ulang, apakah Pak Prabowo dan Sandiaga kena tipu oleh orang dalam sendiri? Tidak mungkin, pikirku. Ratna bukan penyusup. Ia orang yang sama-sama merancang strategi pemenangan. Tak mungkin terjadi hal konyol seperti itu.
Banyak orang sekitarku yang mulai berpikir dalam-dalam. Mari ulangi pertanyaan itu: Prabowo dan Sandiaga kena tipu oleh orang dalam sendiri? Aku tiba pada saat di mana mulai meragukan diri sendiri.
Apakah semua ini adalah drama yang gagal? Pikiranku kembali ke tahun 2014. Jangan-jangan kemenangan Prabowo-Hatta juga drama? Sebagai seorang mantan jenderal yang penuh taktik, mungkinkah Prabowo Subianto dua kali menampilkan drama konyol?
Pelan-pelan keyakinan diriku pada seorang Prabowo runtuh. Seorang mantan jenderal tidak mungkin masuk ke lubang yang sama lebih dari sekali.
Tipu Muslihat
Melihat fakta-fakta di atas dan juga berdasarkan pengakuan langsung seorang Ratna Sarumpaet, ada kesimpulan besar yang kuyakini. Bahwa sejak 2014, semua yang dilakukan Prabowo adalah tipu muslihat.
Aku jadi teringat: di dalam suatu perang, tipu muslihat adalah strategi yang tak mungkin diluputkan. Di setiap kesempatan, aku mengingat dengan baik bahwa Prabowo dan pendukungnya sering mengatakan Pilpres sebagai “perang”.
Baiklah. Sekarang tak ada waktu bagiku untuk berpikir lama. Sudah terang semuanya bahwa semua ini hanya tipu muslihat Prabowo. Sebegitu canggih tipu muslihatnya untuk melumpuhkan musuhnya yang sama-sama berkekuatan besar seperti dirinya. Bagaimana nanti kalau rakyat yang tidak punya kekuatan? Tentu akan lebih mudah diperdayakan.
Oh, tidak! Prabowo adalah seorang ahli strategi perang. Ia sudah terbiasa membunuh orang tanpa meninggalkan jejak. Oleh sebab itu, terlalu mudah baginya menghancurkan kekuatan rakyat, bahkan dengan tetap tampak sebagai pelindung rakyat.
Dalam kondisi krisis kepercayaan seperti ini, sangat tidak mungkin kelompok-kelompok tertentu menjadikan Prabowo sebagai “batu loncatan”. Alih-alih ketika ia terpilih nanti kita bisa ikut mendapat percikan kekuasaan, yang terjadi malah kita diinjak balik sama Prabowo Subianto. Kasus Ratna sudah tampak jelas di depan mata.
Orang yang selama ini mati-matian mendukungnya saja bisa dicampakkannya, bahkan mengaku sebagai korban, apalagi rakyat yang serba-tak jelas ini?
Ibarat ungkapan orang Indonesia: kalau takut terbakar, ya jangan bermain api. Pak Prabowo sudah berkali-kali ketahuan telah menyalakan api, masih saja kita mendustakan diri sendiri?
Dari kasus Ratna Sarumpaet, setidaknya aku bisa belajar dan sadar bahwa apa yang aku pikirkan selama ini sudah salah dan itu berlangsung 4 tahun lamanya. Sebuah pikiran picik karena fanatisme buta membuat diriku gelap mata dalam menilai realitas yang ada.
Maaf, Pak Prabowo, aku berbalik arah.
*Silfia Anastasia via @brvehrt_
- Blunder, Pinter, Keblinger - 29 Januari 2024
- Koalisi Anies-Ganjar - 15 Januari 2024
- Awalnya Diremehkan, Ternyata Berpotensi Menang Satu Putaran? - 28 Desember 2023