Mahasiswa Kupu-Kupu Juga Aset Bangsa

Mahasiswa Kupu-Kupu Juga Aset Bangsa
©Kompas

Bagi mahasiswa, pasti sudah tak asing lagi dengan istilah “kupu-kupu” dan “kura-kura”, bukan? Apalagi saat awal kali kita masuk kuliah lalu mengikuti kegiatan ospek, pasti senior selalu menegaskan: jangan menjadi mahasiswa kupu-kupu. Mau jadi apa bangsa ini?

Pasti sudah tergambar dengan jelas jika mahasiswa kupu-kupu orangnya tampak cupu, kuper, dan nggak ideal sama sekali. Sedangkan mahasiswa kura-kura sudah pasti keren, jago beretorika, serta cerdas dalam mengatur waktu. Sering kali anggapan terhadap yang kupu-kupu pastilah seorang yang apatis.

Perlu kita ketahui, bahwasanya sikap apatis itu bukan datang begitu saja, seperti mendapatkan wahyu. Apatis pasti memiliki penyebab. Entah itu datangnya dari lingkungannya maupun dari tekanan emosional.

Menurut para ahli, berikut penyebab seseorang menjadi apatis, pertama, tidak percaya lagi pada orang lain. Hal tersebut terjadi disebabkan seseorang itu terlalu sering dikecewakan serta merasa dikhianati oleh orang yang disayangi atau juga orang yang dipercaya.

Kedua, tekanan emosional. Hal tersebut dapat disebabkan seseorang menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari orang lain, misalnya dirundung terus-menerus.

Ketiga, kekurangan fisik. Tidak jarang seseorang menjadi apatis disebabkan kehilangan rasa percaya diri. Misalnya, kekurangan fisiknya menjadi cibiran orang lain di lingkungan hidupnya serta membuatnya kehilangan rasa percaya diri.

Yang terakhir, kurang kasih sayang. Orang yang kurang kasih sayang biasanya dapat atau bisa menyebabkan seseorang menjadi apatis.

Dari beberapa penyebab di atas, mustahil jika sikap apatis berasal bawaan dari lahir. Mungkin yang kupu-kupu yang disebut apatis pastinya tidak terima jika dikatakan:Mahasiswa apatis tak berguna untuk kemajuan bangsa atau Mahasiswa kok kupu-kupu, dasar apatis! Pasalnya, kata-kata itu sering dilontarkan oleh mahasiswa organisatoris yang memandang mahasiswa kupu-kupu sebelah mata.

Baca juga:

Ada lagi yang mengatakan bahwa Mahasiswa apatis = sampah. Hal semacam itu, apakah etis bagi seorang organisatoris yang notabenenya berorganisasi untuk berproses guna kemajuan bangsa, tetapi malah mendiskriminasikan sesama mahasiswa?

Kembali lagi pada mahasiswa kupu-kupu. Tak selamanya mahasiswa yang setelah selesai kuliah lalu pulang itu tidak peduli terhadap organisasi kampus atau terhadap UKM yang ada. Tetapi bisa jadi mahasiswa tersebut memiliki kesibukan lain, seperti bekerja guna menghidupi kehidupan sehari-harinya.

Mahasiswa yang sambil bekerja itu sangat perlu diapresiasi. Karena ia tak banyak mengobrolkan teori ini-itu dan tak banyak berkoar-koar di atas mimbar, tetapi langsung memanfaatkan peluang ekonomi untuk menopang hidupnya serta masa depannya kelak jika sudah berkeluarga.

Selain bekerja, ada pula mahasiswa tipe kupu-kupu yang memiliki hobi menulis, seperti artikel, sastra. Bahkan tulisan ilmiah yang tulisannya dapat dipertanggung jawabkan serta dapat memberi kontribusi untuk sosial masyarakat.

Dalam kehidupan mahasiswa, tak selamanya pula mahasiswa kura-kura itu ideal. Faktanya, sebagian dari mereka juga banyak yang berkoar di atas mimbar tentang keadilan dan kekerasan seksual, tetapi penis di bawahnya membual. Banyak pula yang dengan gagah satu tangannya terkepal, tetapi tangan yang satu sodorkan proposal.

Memang betul kata Albert Camus jika hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Mahasiswa kura-kura tak selalu ideal dan yang kupu-kupu tak selalu gagal. Justru kenyataan pada saat ini, mahasiswa kura-kura mengikuti organisasi hanya untuk mencari kekuasaan serta kedudukan.

Hal seperti itulah yang menjadikan politik di Indonesia tak sehat. Sejak di bangku perkuliahan saja banyak yang salah kaprah dalam berorganisasi. Pemilihan ketua BEM pada suatu kampus juga tak luput dari permainan di baliknya.

Mengapa saya menuliskan bahwa mahasiswa kupu-kupu juga aset bangsa? Yang pertama, adanya yang kupu-kupu menjadikan organisatoris seperti BEM kampus lebih berguna. Tanpa adanya mahasiswa tipe kupu-kupu, untuk apa adanya BEM? Siapa pula yang diatur mereka kalau bukan mahasiswa tipe kupu-kupu di antaranya?

Kedua, mahasiswa tipe kupu-kupu yang bekerja bisa membantu negara dalam hal perpajakan. Ketiga, sebagian mahasiswa memilih kupu-kupu karena ia ingin fokus pada hobinya, seperti menulis maupun berkarya. Dari karya-karyanya juga yang bisa membawa bangsa lebih berkemajuan. Karena sebagai bukti bahwasanya Indonesia masih banyak memiliki generasi yang produktif, kreatif, serta menghasilkan suatu karya yang bisa mengangkat nama baik bangsa.

Jadi, saat ini, perbedaan antara yang kupu-kupu dengan yang kura-kura terlalu kuno untuk diperdebatkan. Semua itu fungsional dan saling melengkapi.

Setiap mahasiswa juga memiliki soft skill yang berbeda. Perbedaan itu bebas mereka kembangkan melalui jalan mereka sendiri. Jika ada mahasiswa aktivis atau kura-kura yang menilai bahwa mahasiswa kupu-kupu itu tidak berguna, apatis, atau apa pun itu, dapat dipastikan bahwa si aktivis itu memang belum benar-benar tulus dalam memberikan kontribusi terhadap organisasinya maupun bangsa Indonesia.

WS Rendra pernah mengatakan bahwa kesadaran adalah matahari. Marilah tingkatkan kesadaran bahwa setiap orang memiliki fungsi dan peran terhadap kehidupannya masing-masing. Apa gunanya menggembor-gemborkan perihal keadilan, pendidikan, dan kritikan terhadap bangsa jika terhadap sesama mahasiswa masih ada sekat?

Moh. Ainu Rizqi
Latest posts by Moh. Ainu Rizqi (see all)