Mahasiswa Masa Bodoh Generasi Ganas Apolitis

Di era yang penuh gejolak ini, mahasiswa sering kali disibukkan oleh berbagai tuntutan akademik dan dinamika sosial yang ada di sekitar mereka. Namun, di balik kesibukan tersebut, ada fenomena yang mengemuka dan mengkhawatirkan — generasi mahasiswa yang sering disebut sebagai “Mahasiswa Masa Bodoh Generasi Ganas Apolitis.” Istilah ini tampaknya menyoroti suatu keadaan di mana mahasiswa tidak hanya acuh tak acuh terhadap urusan politik dan sosial, tetapi juga tampak kehilangan arah dalam memaknai perannya sebagai agen perubahan. Dalam tulisan ini, kita akan membedah berbagai aspek yang melatarbelakangi fenomena ini, serta dampaknya terhadap masa depan bangsa.

Dalam kancah pendidikan tinggi, mahasiwa seharusnya bukan hanya menjadi penerima ilmu pengetahuan, tetapi juga pelopor pemikiran kritis dan sosial. Namun, sayangnya, banyak di antara mereka terperangkap dalam lingkaran kesibukan yang monoton: tugas kuliah, ujian, dan kegiatan organisasi yang kadang bersifat superficial. Akibatnya, dunia politik dan isu-isu sosial yang seharusnya menyentuh jiwa mereka, seolah menjelma menjadi hal yang asing. Mereka mengadopsi sikap apolitis, di mana mereka merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam masalah-masalah yang lebih besar. Metafora “gelombang pasang” bisa menggambarkan kondisi ini — meskipun beragam masalah mengalir deras, mahasiswa seakan terjebak dalam ‘samudera kesibukan’ mereka sendiri.

Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah kekurangan pemahaman yang mendalam mengenai sejarah perjuangan bangsa. Sejarah, yang seharusnya menjadi jendela bagi para mahasiswa untuk melihat perjalanan panjang bangsa ini dalam meraih kemerdekaan dan keadilan, sering kali terabaikan. Dalam konteks ini, mahasiswa harus menyadari bahwa peran mereka di masa kini sangatlah signifikan. Layaknya benih yang ditanam di lahan subur, semangat juang yang tumbuh dari pengetahuan sejarah akan mendorong mereka untuk bermimpi dan berkontribusi lebih bagi masyarakat. Jika mereka hanya fokus pada diri sendiri dan lupa akan tanggung jawab sosial, benih-benih itu tidak akan pernah tumbuh menjadi pohon yang kuat dan berdampak luas.

Di samping itu, arus informasi yang deras melalui media sosial menjadikan mahasiswa lebih asyik dengan realitas virtual daripada realitas sosial yang ada di depan mata mereka. Fenomena ini menciptakan celah generasi, di mana mahasiswa lebih peduli untuk memperdebatkan isu-isu trivial dibandingkan isu-isu substansial yang memengaruhi kehidupan sehari-hari. Dalam konstelasi sosial, ini menciptakan generasi “penonton”, yang hanya menonton dari jauh tanpa berani melibatkan diri. Dengan kata lain, mereka bagaikan orkestra yang memainkan lagu dalam harmoni, tetapi tanpa pernah belajar untuk menciptakan nada baru. Mereka terperangkap dalam box yang dibuat oleh algoritma, tanpa menyadari bahwa dunia nyata menanti untuk dieksplorasi.

Seharusnya, mahasiswa memiliki semangat untuk menghidupkan kembali tradisi dialog dan diskusi yang kritis. Dialog, dalam banyak hal, merupakan jembatan antara ide-ide dan tindakan. Dengan berdiskusi, mahasiswa bisa saling mempengaruhi, mendengarkan pandangan orang lain, dan memperluas wawasan. Namun, itu semua terasa seperti larangan di kalangan mahasiswa yang apolitis. Mereka berpikir bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah tidak akan pernah memengaruhi mereka, sehingga mereka memilih untuk abai. Padahal, ketidakpedulian mereka justru akan menghasilkan dampak yang lebih besar di kemudian hari — sebuah ironi yang sangat tragis.

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa apolitik bukan hanya satu sikap pasif, tetapi juga sebuah pilihan aktif. Pilihan untuk tidak peduli terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka, dan untuk tidak mengambil bagian dalam proses pembaruan. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh satu generasi yang dipilih untuk menjadi agen perubahan. Metafora “mahasiswa sebagai cermin” sangat tepat di sini; seharusnya, mereka mencerminkan aspirasi dan harapan masyarakat, bukan justru menciptakan distorsi yang mengabaikan realitas sekitar.

Dalam beberapa dekade terakhir, kita sering mendengar bahwa mahasiswa adalah tulang punggung pergerakan sosial dan politik. Namun, tanpa keterlibatan aktif, mereka tidak lebih dari sekadar iklan kosong — menjanjikan perubahan tetapi nol dukungan. Generasi ini perlu diberikan motivasi dan dorongan untuk bangkit dari apati. Adalah penting bagi mereka untuk dipandu oleh mentor yang tidak hanya memperkenalkan mereka kepada disiplin ilmu, tetapi dulunya juga pelaku sejarah yang berani melawan ketidakadilan. Ketika mahasiswa memahami peran mereka sebagai penggerak, mereka akan mulai merasa bahwa tindakan kecil pun dapat menyebabkan perubahan besar, layaknya kepingan domino yang mengubah komposisi keseluruhan hanya dengan satu dorongan kecil.

Maka dari itu, membentuk kembali kesadaran politik di kalangan mahasiswa merupakan langkah krusial. Kita harus mendorong mereka untuk melihat dunia di sekelilingnya, mendalami isu-isu yang ada, dan merangkul peran sebagai “agen perubahan.” Mahasiswa harus dilatih untuk berbicara, berdiskusi, dan mengambil tindakan terhadap ketidakadilan. Dengan demikian, mereka tidak lagi menjadi “Mahasiswa Masa Bodoh Generasi Ganas Apolitis,” melainkan generasi yang tanggap terhadap masalah, peduli dengan masyarakat, dan siap untuk menyusun sejarah bangsa yang lebih gemilang.

Related Post

Leave a Comment