Mahkamah Konstitusi di Tengah Perdebatan Judicial Activism dan Judicial Restraint

Mahkamah Konstitusi di Tengah Perdebatan Judicial Activism dan Judicial Restraint
Sampul Buku

Perdebatan perihal judicial activism dan judicial restraint baru mengemuka setelah kekuasaan kehakiman, dalam perkembangannya, juga diberi tugas menegakkan prinsip supremasi konstitusi melalui perannya sebagai penafsir konstitusi. Peran sebagai penafsir konstitusi menjadi vital karena prinsip supremasi konstitusi (yang dipelopori oleh Amerika Serikat dengan mengadopsi model konstitusi tertulis) diletakkan sebagai bagian penting Constitusionalism, yang merupakan syarat utama negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi.

Dengan memberikan peran menafsirkan konstitusi kepada pengadilan, berarti prinsip supremasi konstitusi itu ditegakkan melalui supremasi pengadilan (judicial supremacy).

Di Amerika Serikat, mula pertama impelementasi penegakan prinsip konstitusi melalui supremasi pengadilan itu ditegaskan terutama ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan pengadilan memiliki kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang dalam kasus Marbury vs Madison (1983). Sejak saat itu hingga kini, secara akademik, isu judicial activism dan judicial restraint masih tetap berada dalam “status” inconclusive discourse.

Dalam kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dibedakan antara kemerdekaan yang bersifat de jure dan yang bersifat de facto. Kemerdekaan de jure adalah berkait dengan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan formal yang dirancang untuk melindungi hakim dari tekanan yang tidak sepatutnya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam kekuasaan kehakiman itu sendiri. Sementara itu, kemerdekaan de facto adalah merujuk pada perilaku.

Selain itu, secara akademik, ada pula pembedaan antara kemerdekaan formal dan kemerdekaan substantif. Yang disebut terdahulu adalah merujuk pada persyaratan bahwa hakim-hakim harus merdeka yang kemudian melahirkan kemerdekaan peradilan tempat mereka bertugas, sedangkan yang disebut belakangan adalah merujuk pada independensi dalam kasus-kasus yang ditangani.

Dengan kata lain, kemerdekaan formal adalah berkait dengan netralitas pikiran seseorang hakim, sedangkan kemerdekaan substantif adalah berkenaan dengan tuntutan bahwa hakim harus bertindak merdeka dan tidak berpihak dalam mengadili kasus-kasus konkret yang dihadapkan kepadanya.

Kekuasaan hakim yang merdeka menjadi makin vital setelah dalam perkembangannya kekuasaan kehakiman juga diberi fungsi sebagai “pengawal konstitusi” yang tujuan sentralnya, menyitir kata-kata Alec Stone Sweet, adalah “mempertahankan superioritas normatif ketentuan konstitusi dalam tertib hukum”.

Dalam pelembagaan kekuasaan kehakiman yang berstruktur dualis, fungsi mengawal konstitusi dipisahkan dari fungsi sebagai “pengadilan biasa”. Untuk melaksanakan fungsi mengawal konstitusi itu, dibentuk pengadilan tersendiri yaitu Mahkamah Konstitusi atau yang disebut dengan nama lain.

Terlepas dari model mana yang dianut, memberikan fungsi mengawal konstitusi kepada kekuasaan kehakiman sama artinya dengan memberikan kepadanya fungsi untuk menafsirkan konstitusi. Ini adalah perkembangan yang sangat mendasar.

Sebab, menafsirkan konstitusi bukanlah sekadar “pekerjaan” memahami maksud yang tertuang dalam teks konstitusi, melainkan aktivitas mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi dengan bertolak dari dan berpegang pada kaidah-kaidah penalaran tertentu serta tidak mengabaikan aspek-aspek konstitusionalitasnya.

Baca juga:

Judicial Restraint dan Judicial Activism di Indonesia

Menurut penulis dalam buku ini, diskusi dan perbincangan mengenai penggunaan judicial restraint dan judicial activism cenderung jarang dilakukan di Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara yang cukup kental dengan tradisi civil law (hal. 146), sehingga paradigma yang dianut di dalam kekuasaan kehakiman cenderung menjurus pada tendensi penggunaan judicial restraint, dan berdasarkan tradisi civil law pula, hakim dilarang membuat norma-norma baru di dalam putusannya. Sehingga, penggunaan judicial activism pun dinilai tak sesuai di Indonesia.

Selain itu, menurut penulis, sangat sulit menentukan dimensi-dimensi yang menganut dimensi judicial restraint maupun judicial activism di dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

Buku ini menarik untuk dibaca bagi orang-orang yang sering bertanya mengapa sering kali Mahkamah Konstitusi mengubah putusan dalam perkara yang sama sehingga bisa dibilang “inkonsisten” dalam mengambil putusan. Semisal saja, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang membentuk norma-norma baru, kecenderungan perubahan kewenangan dari negative legislator menjadi positive legislator, putusan mengenai open legal policy, dan lain sebagainya.

Buku ini pada Bab Pertama diawali dengan menjelaskan pembelahan dari makna dan prinsip kekuasaan kehakiman yang terjadi di Indonesia. Pada Bab Kedua, penulis menjelaskan tentang konsep analitis dari kekuasaan kehakiman, terutama berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dengan memberikan perbandingan kepada beberapa negara lain yang juga memiliki lembaga seperti Mahkamah Konstitusi.

Pada Bab Ketiga, dijelaskan problem Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan beberapa putusannya yang memancing diskusi publik. Bab Keempat, buku ini menguraikan bagaimana konsep dan implementasi dari judicial restraint dan judicial activism yang sebenarnya menjadi isu utama yang diangkat dalam penulisan buku ini.

Bab Kelima buku ini menjelaskan tentang pengujian undang-undang di Indonesia. Pada Bab Keenam, penulis memberikan penjelasan terkait perdebatan judicial restraint dan judicial activism yang sering kali muncul saat Mahkamah Konstitusi memutus sebuah perkara pengujian undang-undang.

Buku ini ditutup dengan Bab ketujuh yang berisi tentang demokrasi Indonesia, MK, dan activism vs restraint.

Riwayat Buku
  • Judul: Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi dan Diskursus Judicial Actvism Vs Judicial Activism
  • Penulis: Zainal Arifin Mochtar
  • Cet-1: Oktober 2021
  • Penerbit: Rajawali Pers
  • Ukuran: 23 cm, xxxvi, 176 hlm