
Ulasan Pers – Pada 4 Maret 2019, KontraS bersama dengan Amnesty International Indonesia dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) melayangkan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pengaduan itu tentang dugaan maladministrasi pada Deklarasi Damai Kasus Talangsari tanggal 20 Februari 2019.
Kami menilai bahwa Deklarasi Damai ini hanyalah manuver semata untuk menghindari proses hukum bagi para pelaku dan melanggengkan impunitas. Selain itu, Deklarasi Damai ini dinilai cacat secara hukum maupun moral.
Tepat 10 bulan setelahnya, Kamis, 5 Desember 2019, ORI mengeluarkan hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa adanya maladministrasi dalam Deklarasi Damai Kasus Talangsari. Karena tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik dan tidak sesuai UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Temuan maladministrasi dalam Deklarasi Damai Talangsari tampak dalam tiga poin. Pertama, poin yang menyatakan bahwa masyarakat, lewat wakilnya di DPRD, tidak akan memperpanjang kasus pelanggaran HAM berat Talangsari Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur.
Poin ini jelas tak sesuai dengan amanah UU No. 26 Tahun 2000 tentang penyelesaian pelanggaran HAM non-yudisial. Mestinya menggunakan mekanisme yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Poin kedua dalam Deklarasi Damai menyebutkan klaim pemerintah. Bahwa selama 30 tahun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban.
Nyatanya, masih banyak korban yang belum berdaya ekonomi seperti semula. Klaim tersebut justru menunjukkan pemerintah masih belum memiliki pemahaman final tentang perbedaan yang mendasar dari pemulihan hak-hak korban dengan hak-hak warga negara yang memang melekat secara konstitusi.
Poin ketiga yang menyebutkan bahwa pelaku, korban, dan keluarga korban sepakat agar peristiwa tidak diungkap kembali juga bermasalah. Karena tidak ada pelibatan korban secara aktif. Sehingga tidak memiliki basis legitimasi apa pun dari korban maupun keluarga korban.
Baca juga:
Apabila menggunakan konsep keadilan transisi, seharusnya diselesaikan secara multidimensional. Melalui yudisial dan non-yudisial dalam bentuk pemenuhan hak-hak korban, pelurusan sejarah, penghukuman pelaku, dan lain-lain. Sehingga tidak dapat hanya diselesaikan dengan satu dimensi saja.
Atas dasar tersebut, kami merumuskan beberapa rekomendasi. (1) Temuan maladministrasi ini harus dianggap sebagai pendorong adanya penegakan hukum dan penyelesaian kasus secara berkeadilan dan konstitusional berdasar UU Pengadilan HAM.
(2) Temuan maladministrasi ORI sebagai acuan bahwa praktik rekonsiliasi yang telah diwacanakan tidak boleh keluar dari ruh penyelesaian pelanggaran HAM berat, yakni mengutamakan keadilan bagi korban.
(3) Pemerintah ke depannya, dalam mengeluarkan kebijakan terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, wajib mengutamakan kepentingan korban. Dilakukan dalam kerangka mekanisme yudisial dan non-yudisial yang dilaksanakan secara komplementer.
Sila baca catatan lengkapnya di link berikut: Buka Ruang Keadilan bagi Korban Talangsari
- Figur Presiden Lebih Kuat daripada Partai Politik - 8 September 2023
- Rakyat Indonesia Menolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara - 27 Agustus 2023
- Tren Dukungan Bakal Calon Presiden 2024 - 25 Agustus 2023