
Krisis identitas merupakan bentuk kewaspadaan yang harus mampu kita tinjau kembali.
Seorang filsuf eksistensialisme Nietzsche dalam kritikannya tentang moralitas yang terkenal yaitu “genealogi moral” menganggap moralitas semacam hieroglif, atau sebuah tanda-tanda yang menyembunyikan sebuah rahasia kegelapan. Dalam bukunya, Jenseits vom Guten und Bosen (melampaui baik dan buruk), Nietzsche menggambarkan tentang benda-benda gelap yang dekat dengan matahari yang sama sekali tidak pernah kita saksikan.
Berbicara tentang baik dan buruk, menurut perspektif Nietzsche, terdapat sebuah kenyataan gelap. Moralitas dalam hal ini ia analogikan sebagai terang benderang. Inilah yang Nietzsche maksudkan atau tafsirkan yang kemudian ia sebut sebagai geneologi moral.
Moralitas dalam pandangan Nietzsche sebagai atau semacam bahasa isyarat dari emosi-emosi. Kedok atau pelaku dari bahasa isyarat menurut Nietzsche adalah rasionalitas, objektivitas, atau universalitas pandangan tertentu. Tentu hal ini bertentangan terhadap pandangan Rene Descartes tentang rasionalitas, sekalipun Jean Paul Sartre membantah habis-habisan konsep rasionalitas.
Jargon Rene Descartes cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) melihat sumber kekuatan dari seorang manusia berada pada rasionya atau pikirannya. Tubuh manusia tidak memiliki peran penting dalam hal ini, karena sistem atau pengendali dalam tubuh seorang manusia adalah berasal dari pikirannya.
Kendati demikian, seorang filsuf eksistensialisme kontemporer Prancis Jean Paul Sartre menentang pandangan tersebut. Ia berpendapat bahwa tubuh adalah diri, dan diri adalah tubuh. Ia meletakkan intensionalisme pada sesuatu yang berwujud yaitu tubuh, dalam hal ini sumber kekuatan pada manusia berasal dari badan atau tubuhnya sendiri.
Kembali pada krisis identitas moral. Pada hakikatnya keduanya adalah hal yang terpisah. Krisis identitas dan krisis moral adalah dua hal yang berbeda tetapi keduanya tidak dapat kita pisahkan satu sama lain. Keduanya merupakan bagian dari krisis multidimensional. Keduanya harus mampu kita pahami dalam konsep yang paling mendasar antara moralitas dan identitas itu sendiri.
Perkembangan pesat teknologi dan kemajuan globalisasi melahirkan generasi yang instan. Masyarakat cenderung terbatasi dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar karena perkembangan teknologi meninabobokkan. Sehingga sangat sulit sekali bagi manusia untuk dapat mengidentifikasi diri dengan komunitas di lingkungan sekitarnya. Kemajuan teknologi semacam melahirkan sebuah budaya baru di mana mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Hal tersebut merupakan perspektif dari sisi moralitas. Dari sisi identitas, kecenderungan manusia dalam suatu negara mengonsumsi berbagai produk dari negara-negara maju. Hal ini bertendensi bagi masyarakat untuk mempraktikkan budaya atau gaya hidup negara-negara maju, di mana dapat kita saksikan bersama secara realitas generasi bangsa kita hari ini yang sudah kecanduan budaya-budaya luar.
Baca juga:
Walaupun secara harfiah realitas menurut Albert Eisten adalah ilusi, tetapi sifatnya memaksa. Tidak heran hari ini generasi kita hampir melupakan dan tidak mampu mengenali identitas dari bangsanya sendiri. Krisis identitas ini yang merupakan bentuk kewaspadaan yang harus mampu untuk dapat kita tinjau kembali.
Menurut Durkheim dalam Lukes 1972, setiap anggota suatu masyarakat memiliki nilai-nilai, norma-norma, dan keyakinan-keyakinan yang merupakan bagian dari moralitas. Intensitas menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran kolektif itu memiliki kekuatan untuk mengarahkan pikiran, sikap, dan tindakan seseorang. Determinateness menunjukkan tingkat kejelasan setiap komponen yang merupakan bagian moralitas.
Muatan berkaitan dengan perbandingan jumlah antara simbol-simbol yang bersumber pada religi atau agama dan pemikiran sekuler yang menjadi bagian dari moralitas. Bila sistem moral tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya, artinya bila keseimbangan antara kebutuhan dan kehendak individu dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat keseluruhan bisa tetap terjaga, suatu kelompok masyarakat tidak akan mengalami permasalahan moral.
Krisis moral baru mulai timbul apabila berbagai unsur moralitas mulai mengalami erosi. Sebagian anggota masyarakat tidak lagi merasa terikat dengan aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Moralitas mengalami pelemahan sehingga tidak lagi memiliki otoritas atau kekuasaan untuk tidak mengendalikan sikap dan perilaku anggota masyarakat. Tidak terjadi lagi kemarahan moral atau moral outrage dari sebagian besar anggota masyarakat terhadap seseorang yang melanggar aturan moral.
Problemnya adalah penyebab terjadinya krisis moral dan krisis identitas adalah disebabkan oleh kebijakan pemerintah itu sendiri. Pemerintah terlalu menekankan pada industrialisasi dan modernisasi di bidang ekonomi, sementara pembangunan budaya dan karakter bangsa terlantar. Krisis moral dan krisis identitas hari ini adalah akibat karena tidak terbangunnya sebuah moralitas bangsa yang kuat.
Dalam kritik Nietzsche tentang geneologi moral, bahasa isyarat-isyarat dari emosi-emosi yang ia maksudkan di sini jika kita korelasikan atau mencoba menarik satu benang merah atau konklusi adalah kebijakan pemerintah, dalam hal ini ia sebut sebagai sebuah rasionalitas atau objektivitas yang menjadi kegelapan yang dekat dengan matahari atau sumber cahaya yang terang benderang yang ia maksudkan sebagai moralitas.
- Kultur Feodal, Embrio atas Matinya Demokrasi Kampus - 14 Januari 2023
- Kegagalan Pendidikan Kita - 9 Agustus 2022
- Romantika dalam Catatan Argumentasi Dimensi - 31 Maret 2022