Marak Razia Buku, HMI Malah Membisu

Marak Razia Buku, HMI Malah Membisu
©Harian Sejarah

Tirto merilis daftar razia buku (kiri) di era Jokowi sebanyak lima kali, yaitu pada tanggal 10 Mei 2016 di Penerbit Narasi Yogyakarta; 11 Mei 2016 di Grobogan, Jawa Tengah; 12 Mei 2016, Polres Sukoharjo, Jawa Tengah menyita buku berjudul The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam Kamaruzzaman & Biro Chusus PKI dari sebuah toko buku.

Dan yang paling mutakhir adalah penyitaan yang sedang ramai jadi perbincangan di beberapa pekan mutakhir, yaitu pada 28 Desember 2018 di Kediri, Jawa Timur dan 8 Januari 2019 di Jalan HOS Cokroaminoto, Padang Barat, Kota Padang (11/01/2019).

Rentetan razia buku ini menjadi suatu ironi. Karena harus terjadi di era yang kita sebut era demokrasi di mana kebebasan menjadi salah satu nilai yang paling agung. Dan lebih ironis lagi, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai organisasi yang mengklaim diri sebagai organisasi intelektual tidak pernah sekali pun melakukan gerakan penolakan atau kecaman terhadap (tragedi) razia buku.

HMI malah membisu di tengah-tengah maraknya razia buku. Padahal ia merupakan ancaman yang serius bagi pertkembangan intelektualisme kita, yang kian hari semakin tumbuh subur, seiring terbukanya keran demokrasi pascareformasi.

Membincang tentang intelektualisme bukan barang baru bagi HMI. HMI dan intelektualisme layaknya dua mata uang, keduanya tak dapat terpisahkan. Terbukti, HMI melahirkan banyak tokoh intelektual; mulai dari akademisi, penulis, negerawan, ulama, hingga politisi. Sebut saja, misalnya, Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Mahfud MD, dll.

Para intelektual yang lahir dari rahim HMI tersebut tiada lain karena keakrabannya dengan buku; tanpa membedakan antara buku kiri dan buku kanan, atau buku yang halal mereka baca dan yang haram. Semua buku, dari berbagai ilmu pengetahuan dan beragam paham dan ideologi, mereka lahap; baca, wacanakan, dan tulis.

Tradisi membaca, berdiskusi, dan menulislah yang membuat HMI terdaulat sebagai organisasi intelektual. Masa-masa itu tentu boleh jika saya sebut sebagai masa keemasan HMI.

Masa keemasan HMI kini telah pudar. Hal ini seiring pudarnya minat baca kader HMI dan menjadikan buku sebagai instrumen untuk menggali ilmu pengetahuan dan gagasan. Membaca kini tidak lagi menjadi ritual keseharian di HMI, demi terciptanya kader intelektual. Malah kader HMI kita lebih suka sibuk oleh hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan intelektualisme yang mampu menjadikan HMI tetap eksis hingga hari ini.

Baca juga:

HMI hari ini adalah HMI yang lebih menyerupai partai politik daripada organisasi perkaderan dan intelektual. Terbukti, konflik internal hanya demi berebut kekuasaan dan struktural mendominasi di tubuh HMI, sebagaimana yang terjadi di internal PB HMI hari ini. Sehingga kaderisasi terabaikan dan kualitas intelektualnya patut kita ragukan.

Suka atau tidak, tetap harus kita akui bahwa membisunya HMI atas rentetan razia buku adalah salah satu bukti bahwa HMI sudah tidak lagi peduli dengan buku dan intelektualisme yang sepanjang sejarah HMI menjadi khas utama. Ketidakpedulian HMI terhadap buku dengan berbagai macam jenisnya (kanan dan kiri) merupakan era kegelapan HMI.

Juga, membisunya HMI atas razia buku merupakan salah satu bentuk delegitimasi HMI sebagai organisasi yang membela kebenaran. Karena apa pun alasannya, merazia buku, apalagi tanpa proses pengkajian terlebih dahulu, adalah tindakan yang tidak benar dan konyol.

Karena merazia buku berarti merazia ilmu pengetahuan dan kebenaran yang hendak buku tersebut sampaikan. Di sinilah HMI kita harapkan kehadirannya untuk membela kebenaran itu.

Dan jikapun buku-buku (kiri) tersebut terbukti benar mengandung dan menyebarkan paham yang merusak ideologi Pancasila dan kesesatan, maka merazia buku bukanlah jalan yang bijak.

Seharusnya ide-ide dan isme-isme yang terkandung di dalamnya itu kita lawan dengan ide-ide dan isme-isme juga, bukan malah pemberangusan. Di sini jugalah seharusnya HMI hadir untuk menciptakan ruang wacana dan intelektualisme, bukan malah bungkam.

Sangat kita sayangkan, organisasi setua dan sebesar HMI lebih memilih bungkam dan membisu di saat terjadi kriminalisasi terhadap buku yang menjadi sumber intelektualisme. Dan malah terkesan membiarkan atau bahkan mengamini tindakan kesewenang-wenangan itu.

Entahlah, virus apa yang sedang menjangkiti HMI, sehingga persoalan yang begitu urgen untuk diselesaikan malah tidak mendapat perhatian. Atau persolan semacam ini (razia buku) terlalu remeh-temeh untuk diselesaikan oleh organisasi kemahasiswaan paling akbar, paling masyhur, paling intelektual, sekaligus paling jompo di negeri ini. Mungkin HMI masih sibuk mengurusi persoalan politik kita yang kian hari semakin silang sengkarut.

Baca juga:

Atau karena yang aparat razia adalah buku-buku kiri yang mereka anggap mengusung dan menyebarkan PKI, marxisme, komunisme, dan leninisme; yang secara historis HMI mempunyai sejarah hitam dan beberapa kali terlibat benturan dengan PKI. Sehingga buku-bukunya tidak perlu kita bela, dan bahkan haram untuk sekadar kita perbincangkan. Entahlah.

Jika tingkah HMI tetap seperti ini, maka keberadaannya di muka bumi ini mubazir alias sia-sia. Wujuduhu ka’adhamihi, kata orang Arab. Dan klaim sebagai organisasi intelektual dan pembela kebenaran patut kita pertanyakan.

Dalam konteks ini, HMI seharusnya sedikit malu dengan nama besarnya yang menggaung di antero negeri. Juga harus malu dengan kemasyhurannya sebagai organisasi intelektual yang selama ini melekat pada dirinya; jika tidak bisa membela dan berteriak lantang akan tragedi razia buku yang marah terjadi di negeri ini.

Mari bangkit dan lawanlah kesewenang-wenangan terhadap buku ini! Karena HMI bukan sekadar Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan Harapan Masyarakat Indonesia, sebagaimana pernah dikatakan Jendral Soedirman.

Naufal Madhure
Latest posts by Naufal Madhure (see all)