Singkatnya, Bawaslu memiliki fungsi pengawasan yang melekat dalam dirinya dengan segala tugas, wewenang dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, setiap tahapan penyelenggaraan pemilu senantiasa berada dalam koridor pengawasannya (UU No.7 Tahun 2017, Tentang Pemilihan Umum).
Namun pada titik ini, bawaslu tak bisa menjalankan fungsi pengawasan secara single fighter melainkan bersama para stakeholder secara khusus masyarakat. Hal ini tereksplisit dalam slogan yang selalu digemakan oleh Bawaslu “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakan Keadilan Pemilu”.
Sebagai organ demokrasi yang mengungkapkan kedaulatan rakyat, pemilu perlu menjadi perwujudan keterlibatan rakyat dalam penataan kehidupan bernegara (Paul Budi Kleden, 2013:47). Keterlibatan itu tidak hanya terungkap dalam pemberian dan penghitungan suara melainkan bersifat integral yakni mulai dari tahap pra-pemberian dan penghitungan suara.
Salah satu keterlibatan rakyat adalah mengambil bagian dalam pengawasan terhadapa segala tahapan penyelenggaraan pemilu itu sendiri.
Pengawasan masyarakat menjadi bagian penting dari proses penyelenggaraan pemilu untuk memastikan pemilu dilakukan secara jujur, adil dan demokratis. Partisipasi masyarakat tidak sekadar menggunakan hak pilihnya saat pemilu di bilik suara tetapi bagaimana mengambil bagian dalam pengawasan setiap tahapan pemilu sebagai bagian kontrol terhadap pemilu itu sendiri.
Dalam konteks inilah keterlibatan masyarakat dalam pengawasan menjadi penting untuk menciptakan kualitas pemilu yang bermutu (bdk. Fadli Ramadhani, dkk, 2015;4).
Pada titik ini juga masyarakat perlu menjadikan momentum ini menjadi kesempatan untuk mengekspresikan kedaulatannya. Keseluruhan pemilu perlu dihayati sebagai ungkapan kedaulatan rakyat (Paul Budi Kleden, Loc.Cit). Itu berarti, rakyat tidak membiarakan pemilu dan persiapannya menjadi urusan penyelengara dan peserta pemilu. Salah satu tindakan konkritnya adalah melakukan pengawasan pada setiap pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu.
Partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan pemilu juga sesungguhnya bentuk dari penggunaan hak warga negara untuk mengawal hak pilih. Dengan langkah ini, “hak pilih” masyarakat benar-benar steril dari pelbagai jebakan para kaum oportunis pemilu. Sebagai pemegang kedaulatan, posisi rakyat dalam pemilu bukanlah obyek untuk dieksploitasi dukungannya melainkan harus ditempatkan sebagai subyek, termasuk dalam mengawal integritas pemilu.
Baca juga:
- Money Politic Pemilu Sudah Gencar Dibicarakan, Siapa Paling Bersalah?
- Negosiasi dan Donasi Menjelang Pemilu 2024
Dalam kerangka ini, masyarakat menjadi elemen penting dalam proyek pengawasan pemilu. Masyarakatlah yang menjadi garda terdepan sebagai pengawas. Hal ini karena, spasial masyarakat sangat dekat dengan segala dinamika pemilihan umum. Pada titik ini juga pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat melibatkan banyak orang sehingga aktus pencegahan pelanggaran akan semakin maksimal.
Di sisi lain, segala proses tahapan penyelengaraan pemilu tidaklah mungkin diawasi oleh bawaslu. Bisa saja ada pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu dan juga penyelenggara tetapi tidak ditemukan atau terdeteksi oleh bawaslu tetapi sebaliknya ditemukan atau dideteksi oleh masyarakat. D engan kerjasama ini, maka keadilan dan integritas dari pemilihan umum sungguh-sungguh ditegakkan.
Impact Absennya Partisipasi Pengawasan dari Masyarakat
Suatu pemilu yang dijalankan tanpa mekansime dan iklim pengawasan yang bebas dan mandiri, akan mejadikan pemilu menjadi proses pembentukan kekuasaan yang sarat dipenuhi dengan segala kecurangan. Dalam situasi yang demikian, pemilu telah kehilangan legitimasinya dan pemerintahan yang dihasilkan sesungguhnya juga tidak memiliki legitimasi.
Ketika masyarakat tidak turut mengambil bagian dalam pengawasan tahapan pemilihan umum maka ketika terjadi pelanggaran dibiarakan menguap begitu saja. Pada hal tindakan pelanggaran tersebut sungguh mencedari kedaulatan rakayat itu sendiri. Hak pilih mereka tercemar. Integritas pemilu pun terdegradasi oleh aksi-aksi pelanggaran tersebut.
Di sisi lain, pemimpin yang lahir dari rahim “malapraktik pemilu” sesungguhnya adalah pemimpin premature. Pada titik ini juga pemimpin tersebut adalah pemimpin busuk. Dengan praktik yang telah ia lakukan demi melanggengkan kehendaknya untuk berkuasa maka ia sedang menyemai benih kebusukan dalam demokrasi. Benih kebusukan ini akan secara perlahan akan menggerogoti tatanan demokrasi.
Dalam kaca mata moral, ketika masyarakat absen dalam pengawasan sehingga terjadinya pelanggaran maka secara implisit masyarakat telah mengambil bagian dalam aksi pelanggaran tersebut. Masyarakat dan pelaku telah “berkolaborasi” akan praktik pelanggaranan tersebut.
Singkatnya, bungkamnya masyarakat dalam pengawasan pemilu memberi dalih tersirat bahwa aktus pelanggaran sudah selayaknya terjadi demikian (F. Budi Hardiman, 2018;165). Masyarakat adalah korban sekaligus pelaku.
Penutup
Setiap tahapan penyelenggaran pemilu memiliki potensi pelanggaran. Oleh karena itu partisipasi masyarakat dalam pengawasan sangatlah dibutuhkan demi meminimalisir ruang gerak pelanggaran. Adapun hal-hal yang perlu diawasi, misalnya memastikan netralitas ASN, Polri dan TNI, money politic, isu SARA, pelanggaran kode etik dari penyelenggara, kampanye hitam dan lain sebagainya.
Dalam kerangka yang sama, apabila dalam pengawasan dan ditemukan dugaan pelanggaran maka sebaiknya masyarakat langsung melaporkan kepada Bawaslu sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam menangani pelanggaran pemilu. Pada titik ini masyarakat harus memiliki bukti yang kuat, misalnya rekaman atau foto atau video.
Akses terdekat masyarakat adalah pengawas desa/kelurahan, Panwslu Kecamatan atau Bawaslu Kabupaten. Bersama rakyat awasi pemilu, bersama Bawaslu tegakan keadilan pemilu.
Baca juga:
- Ide Penundaan Pemilu dan Presiden Tiga Periode Memperlemah Penilaian Publik atas Kinerja Presiden
- Sebanyak 78,9 Persen Publik Menolak Penundaan Pemilu
- Kiblat Lima Menit untuk Lima Tahun - 28 Desember 2022
- Masyarakat, Pengawal Integritas Pemilu - 26 Desember 2022