Mau Nyaleg? Tenar Saja Tidaklah Cukup!

Mau Nyaleg? Tenar Saja Tidaklah Cukup!
Rian Ernest | KompasTV

Nalar PolitikRamai artis, atlet, dan pesohor-pesohor tanah air ikut nyaleg, disodorkan partai politik sebagai calon anggota legislatif 2019. Meski lazim, tapi agaknya pilihan seperti ini adalah jalan instan belaka. Terutama bagi partai pengusung, semua itu agar ambang batas parlemen 4 persen bisa dilalui dengan aman.

Masalahnya adalah, apakah daftar nama-nama tenar yang disodorkan itu benar-benar mumpuni dan layak? Apakah pengusungan mereka itu bukan sekadar berdasar dari ketenaran nama dan diri belaka?

Rian Ernest, dalam Mencari Pemimpin episode Caleg Tenar: Parpol Cari Aman?, mengungkapkan bahwa partainya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), tidak pernah melihat caleg atas dasar ‘oh, artis; oh, atlet, akademisi’, dan lain sejenisnya.

“Di kami, PSI, tidak melihat semua itu sebagai jaminan atau itu yang mau kami prioritaskan untuk nyaleg. Nggak. PSI mau mencari kader-kader yang terbaik.”

Karena itu, dalam upaya penjaringan kader PSI, pihaknya tak pernah mau asal comot saja. Bahwa tak harus terkenal jika tujuannya hanya untuk bisa jadi kader PSI dan ikutan nyaleg.

“Di PSI, kami buat penjaringannya terbuka. Semua orang yang mau nyaleg wajib diwawancara. Seperti acara pencari bakatlah: dites, diwawancarai, live lagi, streaming di YouTube. Semua orang bisa nonton.”

Terkait fenomena artis yang ikut nyaleg, bagi Rian, tidak masalah. Tetapi mereka dapat berkah sebenarnya. Secara politik, mereka mendapat berkah berupa modal sosial.

“Kalau orang seperti saya nih, nyaleg juga seperti Chris John, misalnya, jalan ke kampung-kampung bareng Chris John, yang disapa dulu pasti Chris John, karena sudah lebih dulu terkenal. Chris John punya modal sosial yang lebih besar dari saya.”

Mengingat kekurangan seperti itu, Rian Ernest punya solusi untuk mengatasinya. Guna memperkenalkan sosoknya ke khalayak luas, mengejar modal sosial yang lebih dulu dimiliki lawan-lawan politiknya (artis-artis), ia memilih untuk blusukan ala Jokowi.

“Kalau saya jalan sama Chris John, warga kenal Chris John lebih gak? Iya. Cuma kan, dalam politik, gak bisa dong cuma dikenal lalu dipilih. Harus dikenal. Setelah dikenal, disukai. Setelah disukai, dipilih. Dan dengan blusukan semua itu bisa tercapai.”

Dari sinilah Rian merasa punya kesempatan besar. Selama ia bisa bekerja keras, tak henti memperkenalkan diri ke khalayak luas, modal sosial dengan sendirinya akan datang.

“Seperti yang saya lakukan, saya kan dari partai baru, bedalah sama teman-teman dari PDI-P, Demokrat, dan NasDem, misalnya. Ya udah, saya blusukan sajalah ala Pak Joko Widodo. Tiap hari blusukan, keluar-masuk kampung.”

Apakah itu cukup?

“Tentu lebih jelas. Karena kan lihat muka langsung. Kecuali mungkin yang lagi dalam rumah, mungkin lagi masak, gak bisa lihat saya. Tapi kalau lihat ke luar pagar sedikit saja, kelihatan tuh, siapa itu ya?”

Meski juga kadang dianggap sebagai tukang kredit, bahkan diusir, tetapi Rian tetap kukuh. Baginya, itu adalah risiko yang harus ia dan kawan-kawannya di PSI hadapi sebagai calon pemimpin masa depan.

“Di dalam politik, gak bisa semuanya bagus-bagus saja. Kita harus siap juga kalau kadang-kadang ditolakin warga. Itulah politik. Kalau kita gak siap ditolak, kalau kita gak siap menghadapi risiko lawan korupsi, saran kami dari PSI, jangan masuk politik deh.”

Bekerja Efisien dan Fokus

Dibanding dengan partai-partai pendahulunya, yang punya modal besar, PSI, sebagai partai baru, lebih berpikir bagaimana bisa bekerja seefisien mungkin. Kesadaran akan tenaga yang sedikit, kapasitas yang kurang, membuat PSI lebih fokus dalam bekerja.

“Kenapa PSI tetap optimis akan lolos meski banyak pihak yang meragukan? Berdasar data, party id atau tingkat kedekatan seseorang dengan partai politik yang ada di Indonesia itu kurang dari 10 persen. Artinya, hari ini, gak bisa partai mengatakan, ‘oh, kita aman.’ Karena, contoh saja, teman-teman PDI-P yang mendapat suara tinggi itu karena Jokowi effect. PSI juga ambil itu. Itu adalah strategi politik yang betul.”

Jokowi effect inilah yang menurut Rian paling berpengaruh. Maka, mau artis, mau seniman, kalau caleg bersangkutan jemawa, merasa diri sudah dikenal luas, lalu blusukannya sebulan sekali, bukan tidak mungkin bahwa kader-kader PSI yang lebih bekerja efisien akan mengalahkannya.

“Pada akhirnya, mau artis kek, mau atlet kek, siapa yang kerja, dia yang akan terpilih. Jadi, dikenal saja tidaklah cukup. Harus juga bisa disukai warga, dan harus dipilih.”

Hanya saja, tekan Rian, jika si caleg kelak benar-benar terpilih, ia tidak boleh lupa dengan isu yang hari ini masih membelit. Misalnya, 2016, program legislasi nasional jauh dari target, hanya 6 UU dari 52 yang berhasil disahkan, cuma 18 persen dari target. 2017, lebih rendah lagi, hanya 11 persen.

Itu sebabnya Rian ingin agar caleg yang nanti masuk ke parlemen bisa lebih fokus ke hal-hal yang penting dan utama, yakni program legislasi. Hal ini jugalah yang sekaligus menjadi penekanan PSI kepada kader-kadernya.

“Kami (PSI) cari caleg-caleg yang betul-betul kompeten, mengerti apa yang mau diperjuangkan di DPR, dan betul-betul masuk kantor, bukan kerjanya kunjungan kerja doang. Itu lebih penting dibanding hanya berkutat di polemik ‘oh ini artis, atlet, dan segala macam’.

_____________

Baca juga: