Mawarani

Mawarani
©Blogspot

Mereka hanya mawar biasa, sedang aku adalah Mawarani. Mawarani Putri, begitu lengkapnya.

Mawar. Sederhana saja nama yang dihadiahkan kedua orang tuaku kala aku membuka tabir hidup. Panggil saja nama itu, aku yakin-seyakinnya kamu tak mudah melupakannya.

Tapi nama ini tidak seperti yang kamu kira, yakni untuk menjadi tameng menutupi aib perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual sebagaimana di surat-surat kabar yang pernah kamu baca. Jadi sangat beda Mawar namaku dengan mawar yang menjadi tameng itu.

Perbedaannya menurutku adalah mereka hanya mawar biasa sedang aku adalah Mawarani. Mawarani Putri begitu lengkapnya.

Aku pernah marah dengan mereka yang sering memperkosa mawar namaku meski sebenarnya bukan untuk menyinggungku. Tapi yang jelas, Mawar adalah namaku yang sebenarnya. Entahlah darimana asal-usulnya hingga orang tuaku memberi nama Mawar sebagai sapaan harumku, yang penting aku punya sebuah nama, sebuah tanda. Nomen est omen, bukan? Dan Aku punya itu.

Alih-alih memikirkan tentang namaku, pernah di suatu ketika aku bertanya pada Ibu yang sedang bercermin memandang tubuhnya yang tak lagi ranum sebab sebagian bulirnya sudah digisar waktu.

“Bu, mengapa namaku Mawar?” Ibu tidak langsung menjawab.

Sambil senyum-senyum, Ibu mengantarku ke taman depan rumah. Di sana berupa-rupa bunga yang indah membuat mataku binar. Lalu Ibu menyuruhku memandang dan mencium bunga yang warnanya merah yang mekar sekali lagi harum dan ranum.

“Bunga ini semerbak harum, Bu. Aku suka bunga ini,” sambil berkali-kali hidungku mencium mekar mawar.

“Nak, bunga ini namanya mawar. Mawar itu indah, mawar itu harum, mawar itu kamu..!?”

Aku senang bukan main mendengar kata-kata ibu. Sekuntum senyumku merekah mekar, hatiku berbunga-bunga, dan wajahku merona merah.

“Tapi, Bu, mawar ini ada duri-durinya?” Ibuku tertawa geli mendengar kepolosan putri semata wayangnya.

Sambil memelukku erat dan mengecup keningku berkali-kali, kami sama-sama tertawa meski sebenarnya aku belum sempat tahu apa sebab aku tertawa. Ibu amat mencintaiku. Cinta Ibu tentu melebihi bunga mawar yang tumbuh di taman kami. Mulai saat itu, aku sedikit puas bahwa namaku adalah mawar yang indah dan harum.

***

Sering-seringlah, setiap kali sebelum senja rehat dan langit memerah, juga sebelum magrib atau lonceng di Gereja tua meringis pertanda Angelus, aku menyempatkan diri ke taman untuk bermesraan dengan mawar sambil tak putus-putus mencium aromanya. Aku kagum mawar tak mengelak pun duri-durinya tidak melukaiku.

Saking sukanya aku padanya, pernah aku membawa setangkai mawar ke kamarku agar ia menemani tidurku, siapa tahu bunga mimpiku bermekaran harum mewangi. Dan ternyata benar, malam itu aku bermimpi bertemu dengan seorang pria tampan di taman yang penuh dengan mawar.

Pria itu memandang lekat bola mataku dan aku tak sanggup meladeni tatapan itu. Kami berdiri amat dekat. Tak  ada kata yang terucap selain saling melempar senyum termanis di antara kami.

Saat semua berakhir, aku menyesal setengah mati karena tak sempat menanyakan nama orang itu. Aku begitu menggebu padahal ini hanya mimpi yang kebenarannya patut disangsikan.

Lagi pula, mimpi ini mungkin saja direkayasa oleh mawar agar aku tak meninggalkannya. Ah, mawar.

***

Dulu, dahulu sekali, sebagai seorang gadis yang masih ranum, aku banyak ditaksir pria-pria tampan, termasuk pria yang hadir dalam mimpiku kala itu. Sumpah mati mereka sangat tergila-gila padaku dan patah hati berkali-kali.

Aku enggan menaruh simpati dengan pria-pria itu. Sebab sudah ada orang yang menambat hatiku.

Ya, pria yang pernah kutemui dalam mimpi itu, dialah yang hingga saat ini membuat napasku menggebu-gebu dan detak jantungku beralu-talu. Aku menyukainya. Sebab, selain tampan, ia pun pandai bermain kata.

“Kisah kita adalah lebah dan madu yang bertemu dalam satu kembang yang bernama cinta,” katanya di suatu ketika kala kami bertemu di sebuah taman.

Aku tersipu malu dan hanya membalas dengan melemparkan senyum paling manja yang kumiliki. Tetapi kata-kata manisnya tidak sepadan dengan alur cerita kami. Sebab relasi kami tidak sampai seumur jagung. Kami meski berjalan sendiri-sendiri untuk memetik bintang cita dan mimpi kami.

Saat pisah, aku baru tahu, ternyata cinta itu juga ada duri-durinya seperti mawar, tetapi duri jenis ini lebih menyayat hati. Hingga semenjak itu, aku makin berjanji untuk tidak ditusuk jenis duri ini dengan tidak mau membangun relasi yang eksklusif dengan makhluk yang bernama laki-laki.

***

Perihal Mawarani Putri, mawar di taman yang ada duri, pria tampan dalam mimpiku yang nyata, aku berusaha untuk menjadikan diriku seperti mawar taman Eden di zaman edan yang menebarkan harum mewangi dan elok dipandang mata bagi semua orang. Cintaku sudah utuh dan penuh untuk sang empunya cinta itu sendiri.

Cinta-Nya juga ada duri-duri, tapi aku suka duri-Nya sebab nikmat dan  tak menyayat hati. Aku amat nyaman menjadi belahan jiwa-Nya. Pun hingga detik ini, saat aku dengan mantap menatap keindahan mawar di taman Biara, aku sadar bahwa semua keindahan adalah Tuhan.

Oh iya, tentang pria tampan yang pernah kuceritakan, kini kami sudah menjadi sahabat selibat dan sama-sama pencinta mawar.

Rikard Diku
Latest posts by Rikard Diku (see all)