
Nalar Politik – Zainal Arifin Mochtar, mencium aroma tendensi negara melakukan tindakan pembentukan undang-undang menurut kehendak sepihak. Bagi Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM Yogyakarta ini, ada semacam legislasi ugal-ugalan dengan politik hukum yang tak lagi memihak masyarakat dan tujuan hukum itu sendiri.
“Negara hanya semacam mencari pembenar atas tindakan produksi hukum dengan formalitas seadanya. Sekadar menggugurkan kewajiban formal meski miskin esensi dan substansi dari kewajiban formal itu,” jelas Zainal Arifin Mochtar melalui artikel opininya hari ini di Kompas (31/8).
Dalam artikel berjudul Uji Formil dan Senja Kala Legislasi itu, ia mengingatkan bahwa UU bukanlah hal sederhana. UU, menurutnya, cukup sakral, dibentuk dengan daya berlaku yang dapat bersifat perintah ataupun larangan terhadap rakyat dan warga negara.
“Bahkan di ujungnya, terlepas dari posisi penolakan hukuman mati, pelanggaran atas UU di Indonesia bisa dipakai sebagai pembenar untuk mencabut nyawa seseorang. Logika kontrak sosial mendedahkan rakyat memberikan kuasa kepada negara untuk begitu banyak urusan, termasuk mengatur rakyat.”
Anggota Dewan Penasihat Pukat Korupsi FH UGM tersebut menegaskan bahwa harus ada batasan-batasan bagi negara untuk melaksanakan titipan kewenangan. Rakyat yang berdaulat menitipkan kepada negara melalui proses representasi dan kontestasi kepemiluan, dan aktor negara yang terpilih harus melaksanakan keinginan rakyat yang menitipkan kedaulatan, salah satunya dengan kepengurusan lewat pembentukan UU.
“Prinsip demokrasi menyebutkan, pembentuk UU, yakni presiden dan perlemen dalam sistem demokrasi presidensial, perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat. Hanya jadi pelaksana dari keinginan rakyat.”
Perihal konstitusionalisme ini, Zainal kemudian mengutip perspektif Bryan Thompson. Konstitusionalitas atas kerja-kerja negara itu, menurutnya, harus bersumber dari hukum dasar, hanya mengikat jika didasarkan atas kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara.
“Ketika kekuasaan itu telah diberikan, negara berkewajiban untuk taat dan patuh atas konsep pembatasan kekuasaan yang disematkan pada negara dan memperhatikan sungguh-sungguh keinginan rakyat sebagai sumber kedaulatan yang dimiliki negara dalam menjalankan kewenangannya.”
Karena itu, bagi Zainal, ada formalitas pembentukan UU dan ada substansi pembentukan UU yang dapat disandarkan pada keinginan rakyat dalam bentuk partisipasi dan materi (substansi UU). Keduanya seperti satu tarikan napas yang dihela dalam proses hidup legislasi.
“Dengan demikian, pengujian formalitas pembentukan UU tak hanya dapat dimaknai menyangkut prosedural dalam bentuk proses dan tahapan pembentukan UU sebagaimana diatur konstitusi, tetapi berkaitan juga dengan penggunaan hal-hal lain di luar pengujian materiil yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.”