Meluruskan Fitnah ‘Gus Dur Mendukung Papua Lepas dari NKRI’

Meluruskan Fitnah "Gus Dur Mendukung Papua Lepas dari NKRI"
©NU

Memenggal-menggal pernyataan Gus Dur, lalu mengeklaim Gus Dur mendukung Papua merdeka adalah sikap tidak adil. Itu memberi fitnah kubur kepada Gus Dur.

Orang marah memang bagusnya dibujuk. Yang tidak bagus itu dibujuk’i, alias dibohongi.

Salah satu kebohongan dalam polemik Papua adalah klaim bahwa Gus Dur mendukung lepasnya Papua dari NKRI.

Memang sulit memetakan alur pikir Gus Dur; komitmennya kepada kebebasan berpikir rentan disalah-artikan sebagai dukungan kepada pikiran itu sendiri. Apalagi saat pernyataan Gus Dur kerap berubah-ubah, bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Bagi sebagian oknum, ini membuka peluang untuk mengglorifikasi sebagian perkataan Gus Dur, dan menenggelamkan sebagian lain.

Padahal, dengan melihat rangkaian sejarah dengan utuh, maka perbedaan sikap Gus Dur bisa dipahami. Sebaliknya, memenggal-menggal pernyataan Gus Dur, lalu mengeklaim Gus Dur mendukung Papua merdeka adalah sikap tidak adil. Itu memberi fitnah kubur kepada Gus Dur.

Maka barangsiapa mengaku Gusdurian, wajib meluruskan. Bukannya malah melestarikan fitnah. Berikut ini upaya kami meluruskan beberapa klaim yang sering dipelintir dan dipakai sebagai justifikasi atas fitnah bahwa Gus Dur mendukung Papua merdeka.

**

Klaim 1: Gus Dur mendengarkan aspirasi rakyat Papua, khususnya sebagian yang ingin lepas dari NKRI.

Ya memang, mendengar saja, bukan menuruti.

Dan mendengar tidak perlu berkali-kali. Apa yang didengar Gus Dur sebagai Presiden sudah tercatat dan terdokumentasi. Sudah diestafetkan kepada presiden-presiden setelahnya. Sama sekali tidak perlu tiap-tiap Presiden RI harus dipaksa duduk berhadap-hadapan secara fisik dengan perwakilan rakyat Papua, kalau aspirasinya masih sama.

Kalau aspirasinya berbeda, baru ada urgensi untuk dengar ulang. Misalnya saat Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Tim 61, yaitu perwakilan Orang Asli Papua dari tokoh perempuan, adat, agama, dan masyarakat; pada September 2019, pasca-kerusuhan Agustus.

Tim 61 menyampaikan 9 poin aspirasi, yang muaranya menunjukkan komitmen tetap di dalam NKRI. Bahkan pimpinan rombongan, Ondoafi (kepala suku) Skouw Yambe, Bapak Abisay Rollo, saat itu menghibahkan tanah 10 hektare untuk dibangun istana Presiden di Skouw, ujung timur Kota Jayapura.

Kembali ke Gus Dur. Faktanya, banyak kesaksian dari orang terdekat Gus Dur semasa jadi Presiden menyatakan Gus Dur tidak ingin Papua lepas. Ahmad Suaedy misalnya, salah satu penulis paling otoritatif dalam memetakan pikiran-pikiran Gus Dur, dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan Gus Dur itu menuruti hampir semua kemauan orang Papua, “asal jangan minta merdeka”.

Pak Suaedy juga pernah mewawancarai Agus Sumule, salah satu anggota Tim 100, yang juga berperan aktif dalam penyusunan draft RUU Otsus Papua. Pak Sumule bersaksi, saat Tim menyampaikan garis-garis besar rancangan tersebut, Gus Dur jelas eksplisit mengatakan, “asal jangan minta merdeka”.

Pada saat menerima aspirasi dari delegasi Presidium Dewan Papua, Juli 2000, Gus Dur menyatakan kekecewaannya mendengar aspirasi Merdeka.

Sebelumnya, Gus Dur menyumbang 1 miliar untuk perhelatan Kongres Rakyat Papua pada 30 Desember 1999, di Taman Imbi, Kota Jayapura. Acara itu dihadiri sekitar 5.000 orang. Di sana diperdengarkan aspirasi mereka yang hadir, bahwa ingin lepas dari NKRI. Di situ pula pertama kali bintang kejora dikibarkan secara terbuka, bahkan diawali dengan pembacaan Surah Al-Fatihah oleh Habib Thaha Alhamid, saat itu Sekretaris Presidium Dewan Papua.

Pada Mei 2000, diadakan lagi Kongres Rakyat Papua II, dengan pembahasan mengenai sejarah integrasi Irian Barat ke dalam NKRI. Perhelatan kedua ini, menurut kesaksian Agus Sumule, dihadiri juga oleh Jaap Solossa dan Barnabas Suebu; keduanya sama-sama pernah terpilih sebagai Gubernur Papua era Otsus.

Pada Juli 2000, delegasi PDP menghadap Presiden, menyampaikan laporan hasil 2 kali Kongres itu. Kepada delegasi, Gus Dur menyatakan akan mempelajari hasil kongres, menindaklanjuti dengan dialog, mencari solusi terbaik. Sementara kepada kabinetnya, Gus Dur menyatakan kecewa terhadap adanya aspirasi ingin lepas dari NKRI.

Pada Oktober 2000, Gus Dur mencabut izinnya untuk pengibaran bintang kejora. Lalu memerintahkan pelarangan pengibaran di seluruh Papua. Diadakanlah serangkaian penangkapan dan pengadilan terhadap oknum-oknum pengibar bendera.

**

Klaim 2: Gus Dur mengizinkan pengibaran bendera bintang kejora.

Ya memang, tetapi izin itu hanya izin lisan. Tidak dibakukan menjadi produk hukum. Dari situ saja sudah jelas sampai di mana keseriusan Gus Dur soal bendera itu. Pun, pengibarannya bersyarat. Harus bersama-sama Sang Merah Putih, dan harus lebih rendah 30 cm dari Merah Putih.

Pada Oktober 2000, seperti dilaporkan Tri Agung Kristanto, Gus Dur mencabut kembali izin lisan itu. Alasannya, pasca-Kongres Rakyat Papua I & II, dan diizinkannya pengibaran bendera bintang kejora, ternyata malah tindak kriminal di Papua makin marak. Pengibaran juga tidak mengikuti syarat yang ditetapkan Gus Dur. Artinya, pihak-pihak yang sudah dibaik-baiki oleh Gus Dur, nyatanya tidak mampu menjaga situasi kondusif di Papua. Maka, no more Mr. Nice Guy.

Kekecewaan Gus Dur ini diamini Agus Sumule. Dalam wawancara dengan Ahmad Suaedy, ia menyesalkan, “cukup banyak orang-orang Papua yang tidak menjaga kepercayaan yang sudah diberikan.”

Izin pengibaran bintang kejora yang efektif hanya dari Desember 1999 hingga Oktober 2000, hanya 10 bulan, sudah masif di-framing seolah Gus Dur mengizinkan pengibaran sepanjang masa jabatannya. Itu disinformasi, dan dengan ini sudah saya luruskan.

Ada juga framing yang menyatakan, Gus Dur menganggap bendera bintang kejora hanya lambang kultural, sehingga boleh dikibarkan.

Masalahnya, pihak yang mengibarkannya tidak memandang itu sebagai lambang kultural. Jarang sekali ada pengibaran bintang kejora tanpa disertai yel-yel “Papua Merdeka”.

Kalaupun ada oknum pengibar yang mengeklaim bintang kejora hanya lambang kultural, niscaya itu taqiyah belaka, hanya upaya untuk berkelit dari sanksi hukum. Maka menyuburkan framing bintang kejora sebagai lambang kultural justru memberi legitimasi terhadap upaya taqiyah tersebut.

Ada lagi framing menyatakan Gus Dur menganggap bintang kejora hanya umbul-umbul. Bahkan menurut Wiranto (salah satunya) Gus Dur menyatakan “Anggap saja umbul-umbul sepak bola”.

Seharusnya framing umbul-umbul ini menjadi komunikasi internal, bukan untuk dibuka ke publik. Namun sudah telanjur dibuka. Apa dampaknya? Dampaknya adalah framing ini membuka interpretasi bahwa Gus Dur justru tidak menghormati jati diri orang Papua sendiri.

Di mata mereka yang menganggap bintang kejora sebagai lambang identitas kebangsaan, framing “umbul-umbul sepak bola” itu jelas merendahkan. Bahwa ketersinggungan terhadap sikap merendahkan itu tidak disampaikan, tentu alasannya politis. Yang penting sudah diizinkan, situ mau anggap ini umbul-umbul kek, layangan kek, jemuran kek, yang penting berkibar.

Begitu berkibar, diliput pers internasional dengan framing sesuai agenda, maka ia menjadi legitimasi adanya “Bangsa Papua”, bukan hanya “Etnis Papua”. Walhasil, justru NKRI menjadi pihak yang terkecoh dalam interaksi ini.

Kesalahan terbesar dalam interaksi apa pun, apalagi interaksi politik, adalah memandang remeh lawan.

**

Klaim 3: Selama Gus Dur jadi Presiden, tidak ada orang Papua ditembak.

Ini bohong. Pernyataan ini kerap disampaikan sejumlah oknum aktivis pengusung aspirasi Merdeka, salah satunya Filep Karma.

Berikut ini saya urai sejumlah kejadian yang di dalamnya terjadi penangkapan dan klaim penembakan orang Papua selama periode kepresidenan Gus Dur, 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001.

Kasus Wamena Berdarah

Tiga kata kunci ini biasanya mengacu ke kejadian 2003, pasca-Gus Dur. Sedangkan kerusuhan di Wamena yang terjadi pada 6 Oktober 2000 jarang disuarakan. Website KontraS, misalnya, hanya memuat laporan untuk Wamena 2003, tidak memuat Wamena 2000.

Komnas HAM menyebut Wamena Berdarah 6 Oktober 2000 sebagai peristiwa yang “unik”, karena “aparat keamanan yang berupaya menurunkan bendera bintang kejora kemudian dibalas oleh penduduk lokal dengan menyerang penduduk pendatang”.

Komnas HAM memperkirakan 37 korban jiwa, 89 luka-luka, 17 rumah dan 11 kios ludes dibakar, dan lebih dari 13.000 warga mengungsi ketakutan.

Kasus Polsek Abepura

Pada 7 Desember 1999 dini hari, 15 orang bersenjata kapak dan parang menyerang kantor Polsek Abepura dan membakar 3 unit Ruko di dekat Polsek. Total 1 anggota polisi dan 1 orang satpam dibunuh, dan 3 orang luka parah.

Dalam rangkaian penindakan pasca-kejadian, tercatat 93 orang ditahan dan 3 orang meninggal; 1 di antaranya karena ditembak polisi, menurut laporan Komnas HAM.

Kelak, Benny Wenda ditangkap atas tuduhan sebagai dalang aksi, kabur dari tahanan Polsek pada 2002, dan mendapat suaka di Inggris pada 2003.

Kasus Wasior

Ini salah satu kasus berlabel “pelanggaran HAM berat di Papua” yang sudah masyhur dokumentasinya. Saat kejadian, Provinsi Papua Barat belum terbentuk.

Kasus berawal dari sengketa antara warga desa Wonoboi, distrik Wasior, Manokwari dengan perusahaan kayu a.n. PT Vatika Papuana Perkasa. PT VPP mengingkari kesepakatan dengan warga, yaitu membayar komisi kepada warga saat melakukan pengapalan kayu.

Warga lalu menyandera 1 unit speed boat. PT VPP tidak menghiraukan tindakan warga, sehingga warga mengadu kepada kelompok TPN (Tentara Pembebasan Nasional)/OPM. TPN/OPM menyerbu kompleks PT VPP, dan berujung terbunuhnya 5 orang anggota Brimob, 1 warga sipil, dan raibnya 6 pucuk senapan beserta amunisi.

Penindakan atas kejadian ini pada 13 Juni 2001 berujung 4 korban jiwa, 5 orang hilang, 39 orang korban penyiksaan, dan 1 orang korban perkosaan.

Catatan kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa klaim “selama Gus Dur jadi Presiden tidak ada orang Papua ditembak” tidak terbukti.

**

Klaim 4: Gus Dur mengubah nama Irian menjadi Papua.

Ini benar. Dan itu memang perlu.

Alasan Gus Dur pun kuat: dalam budaya Jawa, anak yang sakit biasanya diganti namanya, supaya sehat.

Alasan lain, karena dalam bahasa Arab kata Irian itu berasal dari urryan, yang berarti telanjang; sehingga bermakna negatif.

Tidak ada yang salah. Namun ada 2 hal yang perlu diluruskan. Pertama, perubahan nama menjadi Papua sesungguhnya kembali ke nama lama. Nama Irian itu sebenarnya baru, diusulkan oleh Frans Kaisiepo dalam Konferensi Malino tahun 1946, untuk mengganti nama Papua Nieuw Guinea yang sebelumnya diberikan oleh Belanda.

Kedua, teori tentang nama Irian vs Papua bukan cuma 1 versi yang disampaikan Gus Dur itu. Ada teori lain. Beragamnya teori ini perlu diangkat, sebab sudah beredar pemahaman yang keliru bahwa penggantian nama itu semata berdasar fatwa Gus Dur saja.

Padahal, Gus Dur justru membuka kran diskusi untuk membahas perubahan nama itu di antara tokoh-tokoh masyarakat Papua, sehingga perubahan nama berdasarkan proses musyawarah, bukan didikte oleh Gus Dur.

Berikut serangkaian teori yang mendasari perdebatan nama Irian vs Papua.

Irian

Kata “Irian” sama-sama mempunyai akar dalam sejumlah bahasa asli Papua, yaitu bahasa Biak, Serui, dan Merauke. Dalam bahasa Biak dan Serui, “iri” sama-sama berarti tanah, sedangkan “an” dalam bahasa Biak berarti panas, dalam bahasa Serui berarti bangsa. Dalam bahasa Merauke, “iri” berarti “diangkat tinggi”, sedangkan “an” berarti bangsa.

Usulan nama Irian berasal dari pahlawan nasional Frans Kaisiepo, yang disampaikannya pada Konferensi Malino 16 Juli 1946.

Ini poin plus, namun kemudian mentah. Keunggulan historis kalah oleh stigma yang telanjur terbentuk bahwa suku-suku pesisir Papua (yang terwakili oleh Biak, Serui, dan Merauke) lebih condong ikut NKRI, karena lebih menikmati pembangunan ketimbang suku-suku Papua di pegunungan.

Irian juga mempunyai poin minus saat telanjur diutak-atik-mathuk oleh Presiden Sukarno sebagai akronim “Ikut RI Anti Nederland”.

Papua

Kalau kata “Irian” dikatakan punya konotasi negatif karena bermakna “telanjang”, sesungguhnya kata “Papua” pun tidak kalah negatifnya. Ada 2 teori menyangkut etimologi nama Papua.

Bahasa Melayu

Papua berasal dari kata “pua-pua” dalam bahasa Melayu, yang artinya keriting. Nama ini pertama kali digunakan oleh seorang navigator Portugis, António de Abreu pada 1511, selepas penaklukan Kesultanan Malaka oleh komandannya, Alfonso de Albuquerque.

Pertanyaannya, apakah telanjang lebih negatif daripada keriting? Mestinya makna telanjang bersifat netral, karena orang Jawa di abad pertengahan pun telanjang (dada). Orang Bali juga, bahkan bukan cuma laki-lakinya. Sedangkan keriting justru punya konotasi rasis, karena mengacu kepada ciri fisik etnis tertentu.

Tapi argumen ini pun kemudian mentah, saat mulai digaungkan semangat identitas etnis Melanesia secara masif. Salah satunya lewat lirik lagu “Hai Tanahku Papua” yang dipopulerkan Edo Kondologit : “hitam kulit, keriting rambut, aku Papua”.

Sejak itu, bentuk rambut—dan warna kulit—yang tadinya memuat konotasi rasis, akhirnya menjadi simbol identitas dan kebanggaan, sehingga hilang makna rasisnya.

Ini fenomena bagus, yang telah membawa masyarakat Papua pada tingkat kesadaran dan kecerdasan melampaui orang Indonesia pada umumnya, yang rata-rata masih memakai warna kulit dan bentuk rambut sebagai bahan olok-olok.

Praktis, kampanye positif ini memberi nilai plus pertama kepada legitimasi nama Papua.

Bahasa Tidore

Kata Papua berasal dari frasa “papa ua” dalam bahasa Tidore. “Papa” artinya bapak, “ua” artinya “tidak punya”. Dalam sintaksis bahasa Tidore, “ua” ditaruh di belakang. Misalnya “dowi ua”, artinya “tidak punya duit”.

Pada awalnya, papa ua bermakna anak yatim. Kemudian di antara tokoh masyarakat Tidore menegaskan makna tersirat frasa itu, yaitu “tidak punya bapak” berarti merdeka. Pesannya, Kesultanan Tidore telah memerdekakan orang Papua sebelum integrasi ke NKRI. Artinya, Belanda tidak punya wewenang ikut campur dalam New York Agreement dan Pepera.

[Ada masukan dari komentator a.n. Rusli Muhammad bahwa ejaan yang benar adalah papo ua, bukan papa ua, dan maknanya adalah “tidak satu daratan alias terpisah”. Masukan ini sedang diverifikasi.]

Teori pemerdekaan oleh Kesultanan Tidore itu memang hanya sebatas klaim, tidak ada dokumentasi pendukungnya; namun secara garis besar ia menambah nilai plus legitimasi nama Papua. Walhasil, Papua menang telak 2-0 vs Irian. Jadilah ia nama baru. Sebagai hasil konsensus antar-rakyat OAP sendiri, bukan semata atas fatwa Gus Dur.

Lalu mengapa Gus Dur menyatakan seolah perubahan nama itu murni atas fatwanya? Kalau menurut saya, itu karena mayoritas orang Indonesia di luar Papua masih terlampau rendah tingkat kepeduliannya untuk berupaya memahami polemik Irian vs Papua yang ruwet dengan berbagai konteks sejarah, stigma etnis, politik, hingga linguistik. Lebih gampang menelan propaganda akronim ala Bung Karno.

Maka untuk mengatasi mayoritas malas mikir ini, lempar saja bahasa Arab, niscaya mingkem. Gitu aja kok repot.

Baca juga:

Demikian 4 klaim atas sikap Gus Dur yang sudah saya luruskan di sini.

Pengutipan tanpa konteks sejarah terhadap klaim-klaim di atas berpotensi dan SUDAH dipelintir menjadi legitimasi atas fitnah “Gus Dur mendukung Papua lepas dari NKRI”. Tentu masih ada klaim-klaim lain, namun 4 ini yang utama, dan paling sering diangkat.

Sebagai kesimpulan, Gus Dur memang bersikap sangat akomodatif terhadap Papua semasa menjadi Presiden, dan kebijakan-kebijakan beliau pantas dirembukkan untuk direplikasi dalam konteks masa kini; dalam upaya mengambil hati Orang Asli Papua untuk tetap dalam NKRI. Namun Gus Dur tidak mendukung lepasnya Papua dari NKRI. Itu wajib digarisbawahi, demi menghentikan pencomotan nama Gus Dur oleh oknum yang mengusung aspirasi keluarnya Papua dari NKRI.

Walhasil, demikian upaya saya meluruskan fitnah atas Gus Dur. Tentu ada risiko yang menunggu setelah menulis ini, namun Laa takhof walaa tahdzaan, innallaha ma’anaa.

Referensi
  • Ahmad Suaedy, “Interview by Ahmad Suaedy with Agus Sumule, Jayapura, 20 July 2014”, arsip publik Deakin University, 2015, dro[dot]deakin[dot]edu[dot]au/view/DU:30074501p
  • CNN Indonesia, “Filep Karma Sebut Gus Dur Presiden yang Paling Baik ke Papua”, 19 Februari 2019, cnnindonesia[dot]com.
  • Komnas HAM, “Jurnal HAM Volume 12 Tahun 2016”, komnasham[dot]go[dot]id.
  • KontraS, “19 Tahun Tragedi Wasior: Negara Harus Bertanggungjawab”, 12 Juni 2020, kontras[dot]org.
  • Tri Agung Kristanto, “Bara Disintegrasi itu Masih Menyala”, esai dalam buku “Perjalanan Politik Gus Dur”, 2010.
  • Mata kepala penulis sendiri.
  • Pengetahuan umum.
Fritz Haryadi
Latest posts by Fritz Haryadi (see all)