Memahami Civil Society Elites dan Boundary-Crossing

Memahami Civil Society Elites dan Boundary-Crossing
©Snipstock

Dalam proses tersebut, ternyata turut serta terproduksinya apa yang disebut dalam studi terkini sebagai civil society elites.

Relasi negara dan masyarakat sipil di Indonesia telah berlangsung secara dinamis dalam setiap perubahan politik dengan karakterisasinya yang berbeda-beda. Pasca-kemerdekaan, arena masyarakat sipil adalah gelanggang tanding berbagai macam ideologi politik untuk berebut kuasa.

Sedangkan era otoritarianisme Orde Baru, arena masyarakat sipil dikooptasi sedemikian rupa karena arena tersebut adalah sumber kritisisme yang ideologis menggugat kepemimpinan Soeharto yang organistis, bahwa apa yang terpenting adalah stabilitas dan harmonisitas untuk mendukung proyek politik developmentalism. Alhasil, arena masyarakat sipil menjadi terdepolitisasi dan tak lebih merupakan apa yang disebut sebagai floating mass.

Keran demokratisasi yang dibuka pasca-98 membuat arena masyarakat sipil dan para aktornya menggeliat. Awal-awal demokratisasi terjadi di Indonesia, kalangan masyarakat sipil menjadi fondasi dari bangunan demokrasi yang masih rapuh. Perbaikan-perbaikan secara institusional ataupun struktural terus dicanangkan untuk konsolidasi demokrasi kedepan.

Civil Society Organizations (selanjutnya disingkat CSOs) merupakan perangkat organisatoris berdasarkan isu yang spesifik, yang pada intinya merupakan entitas yang diperlukan untuk terlibat pada proses pembuatan kebijakan, atau menjalankan fungsi watch-dog. Tetapi, dalam proses tersebut ternyata turut serta terproduksinya apa yang disebut dalam studi terkini sebagai civil society elites (Johansson & Uhlin: 2020).

Formalisasi dan birokratisasi masyarakat sipil pasca politik otoritarian di Indonesia merupakan salah satu penyebab terproduksinya elite masyrakat sipil (Lay & Eng: 2020), selain itu, modal sosial, ekonomi, kultural, dan simbolik yang dimiliki oleh elite CSOs merupakan faktor yang mendorong para elite CSOs untuk lincah bermanuver dari arena masyarakat sipil, ke arena negara, atau apa yang disebut sebagai boundary-crossing (Haryanto: 2020).

Elite masyarakat sipil adalah mereka yang mendapatkan pengakuan di arena masyarakat sipil (Lay & Eng: 2020). Elite masyarakat sipil bisa di identifikasi berdasarkan posisi dominan mereka di arena masyarakat sipil, atau lebih luas pada relasi sosial, yang mana mereka dapat dari akumulasi modal sosial, ekonomi, kultural, dan modal simbolik (Haryanto: 2020).

Formalisasi dan Birokratisasi Masyarakat Sipil

Dalam studi terbarunya, Cornelis Lay (Alm) dan Netra Eng (2020) mencoba menganalisa fenomena elite masyarakat sipil di Indonesia dan Kamboja yang terjadi akibat hadirnya aturan-aturan negara (state regulations) yang menjadikan masyarakat sipil terformalisasi dan terbirokratisasi sedemikian rupa.

Formalisasi dan birokratisasi tersebut diakibatkan oleh implikasi penerapan aturan-aturan negara yang mengatur CSOs dalam berbagai aspek, yakni sumber dana, bentuk organisasi, dan sarana partisipasi. Aturan yang mengatur berbagai aspek dalam CSOs ini kemudian menciptaka proses elitisasi (elitisation process) di CSOs.

Dalam hal pendanaan misalnya, CSOs yang mempunyai sumber dana luar negeri (forign funding) akan dituntut oleh negara agar transparan dan akuntabel dalam pendanaan. Dalam konteks negara otoriter, negara akan melihatnya secara skeptikal dan politis, karena bisa saja hal tersebut digunakan untuk menentang dominasi politik negara, atau justru karena sumber dananya berasal dari negara musuh.

Sumber dana ini juga menjadi modal ekonomi dari elite CSOs untuk dapat bermanuver dalam berbagai arena, ataupun sekedar mendanai proyek-proyek independen. Kemampuan elite CSOs untuk mengelola dana secara transparan dan akuntabel merupakan syarat untuk mendapatkan sumber dana dari donor-donor asing.

Baca juga:

Sebagai contoh dari formalisasi dan birokratisasi misalnya adalah penerapan UU No. 28 tahun 2004 tentang Yayasan, di mana dalam kebijakan hukum tersebut diberikan standar-standar rigid terhadap Yayasan dari aspek keuangan dan organisasi. Atau tentang UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang membuka akses keterlibatan publik dalam hal penyusunan perundang-undangan.

Dalam hal ini, elite CSOs yang mempunyai kapasitas pengetahuan dan informasi tentu adalah yang diprioritaskan untuk terlibat dalam perumusan kebijakan. Hal tersebut adalah sebuah proses di mana akumulasi modal sosial dan kultural dari si elite CSOs tersebut itu terjadi, bahwa kemudian dia pada akhirnya mendapat pengakuan baik itu di arena masyarakat sipil ataupun arena negara.

State regulations berkontribusi juga pada bentuk-bentuk organisasi, bahwa bentuk organisasi yang tidak sesuai dengan aturan-aturan negara menjadi sasaran eksklusi politik, atau bahkan menjalani proses hukum jika menerut mereka bertentangan dengan hukum. Misalnya di dalam Perpu No. 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyrakatan yang kemudian disahkan oleh parlemen menjadi undang-undang.

Dengan disahkannya aturan negara tersebut, pemerintah memiliki posisi monolitik untuk menilai tentang organisasi kemasyarakatan mana yang bertentangan dengan Pancasila, hingga pada akhirnya memiliki kewenangan signifikan untuk dapat membubarkannya.

Berdasarkan diskusi di atas, formalisasi dan birokratisasi disebabkan oleh aturan-aturan negara yang mengatur berbagai aspek dalam CSOs. Hal itu turut serta mendorong terjadinya proses elitisasi dalam masyarakat sipil. Alasannya bahwa, ketika terdapat aturan yang mengatur pendanaan misalnya, elite CSOs yang mempunyai kapasitas pengelolaan pendanaanlah yang menempati posisi strategis, dan bahwa hal tersebut juga menjadi syarat untuk mendapatkan donor.

Sedangkan aturan yang mengatur soal keterlibatan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan membutuhkan modal intelektual dan informasi yang cukup untuk bisa terlibat. Mereka yang telah diakui kiprahnya dalam arena masyrakat sipil biasanya akan dilibatkan, dan bahwa kemudian pengakuan itu bertransformasi dari arena masyarakat sipil ke arena negara, dengan demikian terjadilah proses elitisasi tersebut.

Menjadi elite CSOs artinya menjadi bagian dari masyarakat sipil dan berpartisipasi dalam perumusan kebijakan. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa mereka masuk dalam pemerintahan dan menjadi pejabat pemerintah.

Analisa mengenai elite CSOs ini harus mempertimbangkan konteks politik dan karakteristik sebuah rezim. Jika itu berproses di dalam konteks politik demokratis, birokratisasi dan formalisasi tersebut tidak akan bersifat dominatif dan regulatif, di mana arena masyarakat sipil adalah arena yang berbeda dengan arena negara, untuk itulah ia harusnya independen dari intervensi negara.

Cornelis Lay, dengan mendudukan proses elitisasi ini pada konteks Indonesia yang demokratis berkesimpulan bahwa formalisasi dan birokratisasi dalam rezim politik yang demokratis akan mempromosikan keterbukaan kompetisi antar elite CSOs sehingga menciptakan elite-elite yang plural. Dengan demikian menurutnya, hal itu akan menjadi basis baru untuk konsolidasi demokrasi kedepan (Lay & Eng: 2020).

Tetapi, kesimpulan tersebut nampaknya terburu-buru. Formalisasi dan birokratisasi masyarakat sipil di Indonesia tidak serta-merta memunculkan iklim kompetisi antar elite CSOs, dan dengan demikian tidak  menjadi basis baru bagi konsolidasi demokrasi.

Setidaknya berkaca dari undang-undang ormas No. 2 tahun 2017 misalnya—di mana hal tersebut jika mengikuti kerangkan pikir Cornelis Lay merupakan state regulation yang mendorong formalisasi dan birokratisasi—pada faktanya memberi peran dominan bagi pemerintah untuk dapat membubarkan organisasi masyarakat sipil yang tidak sesuai dengan preferensi ideologis pemerintah.

Pada kasus ini, formalisasi dan birokratisasi justru tidak mempromosikan kompetisi anatar elite CSOs, melainkan sebuah upaya eksklusi politik terhadap yang berbeda. Jika tidak mempromosikan kompetisi elite CSOs karena ada eksklusi berdasarkan preferensi ideologis, lalu apakah hal tersebut dapat memunculkan elite CSOs yang beragam? Nampaknya tidak, karena mereka yang diakui adalah mereka yang selama preferensi ideologisnya tidak bertentangan dengan negara.

Boundary-Crossing

Fenomena boundary-crossing dapat dipahami sebagai elite CSOs yang bermanuver dari arena masyarakat sipil ke arena negara (Haryanto: 2020). Haryanto, dengan mengutip Mietzner (2013), mengemukakan tiga tipe para boundary-crossers:

(1) mereka yang dengan sengaja menggunakan CSOs sebagai batu loncatan memasuki arena negara, (2) mereka yang tetap berada pada CSOs ketika peluang politik tidak ada, tetapi segara masuk dalam arena negara ketika memungkinakan, dan (3) mereka yang masuk ke dalam arena negara dengan alasan idelogis untuk berusaha merubah sistem dari dalam.

Kita pasti familiar dengan ini, di mana sebelumnya terdapat aktivis yang bergerak di luar arena negara dengan berbagai macam isu kemudian menjadi pejabat pemerintahan. Tidak perlu disebutkan namanya satu-persatu, yang pasti, mereka menggunakan modal sosial, kultural, simbolak, dll, yang telah terakumulasi sedemikian rupa, dan telah mendapatkan pengakuan dari arena masyarakat sipil untuk memanfaatkannya menjadi peluang politik masuk dalam arena negara.

Baca juga:

Haryanto (2020) menemukan ada dua strategi para boundary-cossers ini masuk dalam arena negara. Yang pertama secara langsung (direct strategies), dan secra tidak langsung (indirect strategies).

Secara langsung (direct strategies), yakni terlibat secara langsung dalam kompetisi elektoral, baik itu mencalonkan diri sebagai legislatif, ataupun eksekutif. Modal yang telah terakumulasi di arena masyarakat sipil, dan telah diakui kiprahnya, menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan boundary-crossers masuk dalam arena negara.

Jaringan politik yang telah terbangun di arena masyarakat sipil merupakan kekuatan spesial bagi elite CSOs untuk terlibat dalam arena negara, dan kemudian selanjutnya barulah membangun relasi politik dengan partai politik.

Kemudian, secara tidak langsung (indirect strategies), yakni dengan mengikuti rute zig-zag, dari mendiami sub-arena masyarakat sipil, ke sub-arena lain, dan kemudian ke arena negara. Dari sub-arena reforma agraria, ke sub-arena lingkungan hidup, lalu ke arena negara menjadi pejabat Kemnetrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan misalnya.

Kiprah panjang dan segudang pengalaman yang dimiliki elite CSOs merupakan salah-satu faktor penilaian negara untuk menarik mereka masuk dalam arenanya. Modal yang dimiliki, serta pengakuan yang telah didapat, adalah harga jual yang menjanjikan bagi elite CSOs.

Mereka yang masuk dalam arena negara kemudian menciptakan ikatan politik di luar arena negara. Hal itu kemudian menciptakan posisi trategis bagi setiap isu yang diwakili oleh setiap kelompok dan organisasi masyarakat sipil yang saling berelasi di antara dua arena tersebut. Perkara apakah strategi-strategi itu berhasil atau tidak, hal tersebut harus di diskusikan kembali.

Referensi
  • Cornelis Lay & Netra Eng. “State Regulations and Elitisation: A Study of Civil Society Elites in Indonesia and Cambodia”. Dalam Håkan Johansson & Anders Uhlin “Civil Society Elites”. Cogitatio: Politics and Goverment, Vol 8, 2020.
  • Haryanto. “Boundary Crossers: The Transformation of Civil Society Elites in Indonesia’s Post-Authoritarian Era. Dalam Håkan Johansson & Anders Uhlin “Civil Society Elites”. Cogitatio: Politics and Goverment, Vol 8, 2020.
M. Taufik Poli