Memaknai Identitas Kemerdekaan dari Kacamata Ibnu Khaldun

Memaknai Identitas Kemerdekaan dari Kacamata Ibnu Khaldun
©JPIC

Kolonialisme dan imperialisme telah usai. Tiada lagi penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa atas negara-negara Asia, Indonesia khususnya.

Indonesia sebagai bangsa yang plural disatukan atas dasar penderitaan yang sama dari ujung barat pulau Sumatra hingga timur ujung timur pulau Papua. Hingga pada akhirnya, kemerdekaan itu kemudian dapat diproklamasikan dan hingga kini terus diperingati sebagai hari yang sakral dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Namun, apakah penjajahan tersebut benar-benar telah raib? Kemudian, apakah makna penjajahan hanya sebatas penindasan suatu bangsa atau kelompok terhadap kelompok lain? Apakah hanya sebatas hunusan pedang, todongan pistol, dan teriakan mereka yang tertindas? Kita akhirnya bingung sendiri dan terjebak dalam putaran istilah antara kemerdekaan dan penjajahan.

Satu perkataan yang terkenal dari sosiolog muslim, Ibnu Khaldun, dalam magnum opus-nya, Muqaddimah, menyentak kesadaran kita. “Bangsa terjajah selalu mengikuti mode penjajah, baik dalam slogan-slogan, gaya busana, agama dan keyakinan, serta berbagai aktivitas dan perilaku mereka.”

Bahwasanya mereka yang terjajah akan mengikuti dan mengekori berbagai budaya-budaya yang ada pada bangsa yang menjajahnya. Hal ini terjadi karena adanya perasaan rendah dan memandang sempurna mereka yang pernah menjajah bangsanya tersebut. Oleh karenanya, segala hal yang ada pada bangsa penjajah tersebut, mereka ikuti dan terapkan dalam kehidupannya sehari-hari secara sadar maupun tidak sadar.

Sebuah istilah menarik dari hasil diskusi dengan beberapa teman, bahwa kemerdekaan yang telah diproklamasi bangsa Indonesia pada 77 tahun lalu hanyalah “kemerdekaan prosedural”. Tetapi tetap istilah ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Karena seakan-akan memandang apa yang dilakukan para pejuang kemerdekaan hanya prosedur atau formalitas kemerdekaan di atas kertas semata.

Ia seharusnya kita jadikan sebagai pukulan kesadaran untuk kemudian kembali secara jujur memaknai identitas keindonesiaan dan kemerdekaan kita kembali.

Suatu konstruksi sosial yang hari ini berkembang dalam masyarakat kelas menengah atas di Indonesia-disadari ataupun tidak adalah bahwa barat selalu mencerminkan kemajuan dan modernitas. Contoh kecilnya, kita melihat banyak anak-anak muda memandang bahwa mereka yang berpakaian dengan brand ternama produk barat lebih kekinian dan maju. Sedang mereka yang terbiasa menggunakan pakaian-pakaian tradisional seperti sarung dan kopiah adalah orang-orang kampungan, terbelakang, dan puritan.

Baca juga:

Belum lagi dengan persoalan kesenian dan kebudayaan lokal yang kian hari kian hilang dari wacana kaum milenial. Pengetahuan mengenai kesenian dan kebudayaan ini memang diajarkan dalam sekolah. Namun, lagi-lagi kita terjebak dalam formalitas kurikulum dan materi, sehingga kehilangan nilai penghargaan dari pada kesenian dan kebudayaan tersebut.

Bayangkan bagaimana hari ini jutaan anak muda Indonesia rela merogoh kantong sedalam-dalamnya-sekalipun mengorbankan tabungannya selama bertahun-tahun- untuk dapat sekedar meneriaki artis K-POP idolanya dari bawah panggung. Bandingkan dengan antusiasme mereka untuk menikmati pertunjukan-pertunjukan kesenian dan kebudayaan lokal, berbanding sangat jauh.

Di samping itu, kita melihat bagaimana nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat kita secara perlahan dan signifikan tergerus oleh budaya-budaya barat yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan moral dan etika bangsa Indonesia.

Contoh kecil yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari di antaranya ialah munculnya sikap  individualis di dalam kehidupan sosial anak-anak muda. Dahulu orang terbiasa untuk saling bertegur sapa dengan orang-orang yang dikenal maupun tak dikenal ketika berpapasan di jalan. Namun, hari ini sangat sedikit anak-anak muda yang masih melestarikan budaya semacam itu.

Contoh-contoh singkat di atas seharusnya dapat menyadarkan kita betapa kolonialisme dan imperialisme hari ini hadir dalam bentuk yang lebih halus, namun membawa bahayanya yang lebih besar. Pada pra-kemerdekaan lalu, kedatangan penjajah Eropa disertai dengan kesadaran bangsa bahwa mereka adalah musuh yang secepatnya harus diusir dari atas bumi pertiwi. Sedangkan hari ini kita bahkan tidak dapat mengklasifikasikan mereka sebagai kawan atau lawan, dan di lini mana mereka berperan sebagai penjajah.

Sekalipun kita tidak dapat menampik kenyataan bahwa hampir segala sesuatu yang melekat pada diri kita hari ini, sebagian besar adalah produk barat, tidak bisa jadi alasan untuk kemudian menerima mentah-mentah segala sesuatu dari barat. Tetap ada nilai-nilai yang sama sekali berbeda dan tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia serta banyak budaya dan tradisi yang perlu kita jaga sebagai identitas kebangsaan dan keindonesiaan kita.

Perkataan Ibnu Khaldun di atas dapat kemudian kita dijadikan sebagai kacamata dalam memandang realita dan kembali memaknai identitas kemerdekaan hari ini. Perlu adanya sedikit perenungan di antara kalangan pemuda yang nantinya untuk menjaga hal tersebut. Jangan sampai identitas kemerdekaan kita yang telah dirumuskan dan diproklamasikan oleh para tokoh bangsa 77 tahun lalu tergerus dan ternodai.

Agaknya inilah mengapa Soekarno dalam pidato mengatakan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Melalui ini, ia mau menyampaikan kepada para generasi penerus bangsa, agar senantiasa mengenang serta menghargai perjalanan dan perjuangan kemerdekaan bangsanya, sehingga tergugah jiwanya untuk terus menjaga identitas kemerdekaan Indonesia. Seperti itu.

Baca juga:
Abil Arqam