Membaca Adalah Kemewahan

Dwi Septiana Alhinduan

Membaca, sebuah aktivitas yang sering dianggap sepele oleh sebagian orang, ternyata memiliki nuansa kemewahan yang jarang diakui. Di tengah derasnya arus informasi dan gaya hidup yang semakin cepat, membaca seakan menjadi sebuah privilege yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Dalam konteks ini, kemewahan membaca tidak hanya terletak pada akses terhadap buku atau literatur, tetapi juga pada kesempatan untuk merenung, memahami, dan menyelami pemikiran-pemikiran yang lebih dalam.

Merujuk pada pengalaman sehari-hari, bisa kita amati bagaimana kebiasaan membaca bergeser seiring dengan berkembangnya teknologi. Dulu, buku adalah jendela dunia. Buku-buku berisi pemikiran yang mendalam dan kritis, menawarkan alternatif perspektif terhadap berbagai isu. Namun, dengan hadirnya perangkat digital dan media sosial, perhatian masyarakat mulai terfragmentasi. Informasi yang dikemas dalam bentuk singkat dan visual, membuat kita sulit kembali untuk menikmati prosa yang panjang dan mendalam.

Fenomena ini mengisyaratkan bahwa membaca bukan sekadar aktivitas biasa; ia merupakan bentuk pembelajaran yang mengundang refleksi dan introspeksi. Di sinilah letak kemewahan yang sejati—membaca memberi kita ruang untuk berpikir. Melalui bacaan, kita bisa mengeksplorasi dunia yang tak terjangkau oleh pengalaman langsung. Membaca karya Shakespeare atau novel-novel klasik lainnya, misalnya, memungkinkan kita merasakan kerumitan emosi dan konflik yang dialami oleh karakter fiksi yang seolah-olah hidup di benak kita. Ini adalah pengalaman yang memperkaya jiwa, sesuatu yang tidak dapat dibeli oleh uang.

Menggali lebih dalam, kita dapat mempertanyakan—mengapa membaca menjadi kemewahan? Globally, literasi tidak merata. Banyak komunitas yang masih terpinggirkan dalam akses pendidikan dasar. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak dapat mengakses pendidikan formal adalah mereka yang juga kesulitan untuk mendapatkan bahan bacaan yang berkualitas. Situasi ini menunjukkan bahwa membaca adalah privilege yang sangat bergantung pada konteks sosial dan ekonomi. Ketersediaan waktu dan tempat yang tenang untuk membaca juga menambah dimensi kemewahan ini. Kita dapat mengatakan bahwa di tengah hadirnya kesibukan dalam kehidupan sehari-hari, waktu untuk membaca memang menjadi barang mahal.

Kemewahan membaca juga dapat dilihat dari sudut pandang emosional. Membaca tidak hanya sekedar meneruskan huruf atau kata—ia melibatkan emosi dan keterlibatan mental. Dapatkah kita mengabaikan bagaimana seorang pembaca terurai dalam tangis saat menyelesaikan novel yang sangat puitis atau bagaimana ketegangan menghadapi plot yang menghanyutkan dalam sebuah cerpen? Seluruh pengalaman ini menandakan bahwa membaca bukan hanya tentang informasi—tetapi juga pengalaman yang membentuk karakter dan menjelajahi batin manusia.

Lebih lanjut lagi, keberagaman jenis bacaan yang ada saat ini memberikan tantangan tersendiri. Di satu sisi, kita disuguhkan dengan berbagai referensi mulai dari fiksi, teori konspirasi, hingga tulisan ilmiah. Namun, pilihan ini sering kali menghasilkan kebingungan. Dalam dunia yang dikelilingi oleh opini dan desas-desus, kemampuan untuk memilih bacaan yang tepat dan kritis menjadi sebuah keahlian yang langka. Ini semakin menegaskan fakta bahwa membaca adalah kemewahan; hanya mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup akan mampu menyaring berbagai informasi dengan bijaksana.

Pada saat yang sama, membaca memiliki dampak yang luar biasa terhadap kemampuan berpikir kritis seseorang. Dalam dunia yang kerap salah kaprah ini, di mana banyak opini bersuara lebih nyaring dibandingkan fakta, membaca menjadi alat senjata. Ketika seseorang membaca, otaknya bekerja mengolah argumen, menimbang berbagai definisi, dan akhirnya membangun pendapat pribadi. Sungguh, ini adalah proses yang tidak dapat dilakukan secara instan. Membaca menuntut kesabaran dan dedikasi—dua hal yang sering diabaikan di zaman serba cepat ini.

Akan tetapi, mari kita tidak terjebak hanya pada permasalahan aksesibilitas dan kemewahan. Mari bertanya pada diri kita: Bagaimana jika kita dapat mengubah cara pandang kita terhadap membaca? Alangkah nikmatnya saat kita berhenti sejenak dari rutinitas yang melelahkan dan memberi diri kita kesempatan untuk menyelami dunia baru. Kita harus terus mengingat bahwa di luar sana, terdapat banyak kemungkinan dan pengalaman yang menunggu untuk dijelajahi.

Pada akhirnya, membaca adalah kegiatan yang menuntut kita untuk menghargai setiap detik. Saat kita melangkah ke dalam dunia yang dipenuhi oleh huruf dan kalimat, kita sebenarnya sedang melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan yang membuat kita merenungkan makna kehidupan, hubungan antarmanusia, dan kebijaksanaan yang tersembunyi di antara halaman-halaman bukunya. Oleh karena itu, daripada menganggap membaca sebagai sekadar kewajiban atau tugas, cobalah nikmati setiap momen yang ada. Dengan demikian, kita akan menemukan kenikmatan yang tak ternilai, kemewahan sejati, dalam aktivitas yang dikenal sederhana ini.

Related Post

Leave a Comment