Membaca Furnivall Sekali Lagi

©Pinterest

John Sydenham Furnivall mula-mula mengucapkan konsep plural society atau “masyarakat majemuk” dalam tulisannya berjudul Netherlands Indie (1939). Colonial Policy and Practice: A Comparative Study at Burma and Netherlands India (1956) adalah penelitiannya yang menjelaskan lebih jauh tentang masyarakat majemuk (plural society).

Kolonialisme telah mengubah ketergantungan suatu masyarakat menjadi tatanan sosial dalam bentuknya yang khas, yang disebutnya sebagai “masyarakat majemuk” (Guan, 2009). Bagi Furnivall, masyarakat majemuk dalam arti yang paling ketat adalah masyarakat yang berbeda (mix), tetapi tidak saling menyatu (combine).

Plural society is in the strictest sense a medley, for they (ethnic groups) mix but do not combine. Each group holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and ways. As individuals they meet, but only in the market place,..” (1956: 301)

Menurut Furnival, pola masyarakat tersebut adalah terbentuk pada Indonesia masa Hindia Belanda. Di mana segregasi antarmasyarakat yang berbeda terus dibentuk oleh kolonial Belanda sehingga sulit untuk menyatu tersebut dibentuk langsung kolonial.

Stratifikasi sosial ini pada gilirannya berpengaruh pada stratifikasi ekonomi. Stratifikasi tersebut menjadikan tiap irisam masyarakat mempertahankan etnis, agama, bahkan sebagai apa yang menjadi milik dan identitasnya. Semua elemen yang terstratifikasi di atas tidak menunjukkan berbaur satu sama lain. Karena dalam konsep kolonial, kaum pribumi selalu diposisikan pada lapisan terbawah sebagai kaum terjajah. Kaum terjajah tidak punya hak istimewa ketimbang hanya sebagai pelayan bagi kaum penjajah.

Adapun temuan Furnivall bahwa masyarakat Indonesia (Netherland Indie) saling berdampingan satu sama lain atau terdiri dari beragam etnis (mix)namun tidak saling menyatu (combine). Mereka hanya bisa bertemu pada arena ekonomi (market).

Market dalam pengertian yang luas adalah kepentingan ekonomi. Menurutnya, market menjadi arena tunggal dalam berinteraksi dan menyatukan berbagai kepentingan masyarakat.

Masyarakat yang majemuk akan selalu kesulitan untuk menemukan kehendak bersama (common will) disebabkan jurang segregasi yang telah mengakar kuat pada masing-masing kelompok. Bagi Furnivall, negara harus menjadi aktor yang imparsial untuk bisa mengakomodasi berbagai perbedaan tersebut untuk mencapai apa yang disebut common will.

Pembelahan masyarakat majemuk (plural society) yang diciptakan oleh kolonial Belanda tersebut membentuk pola segregasi yang kuat dan mengakar di masyarakat Indonesia hingga hari ini.

Kuatnya akar kebudayaan di masyarakat memilah secara tegas satu etnis dengan etnis lain. Ini sering dipuji sebagai kekayaan bagi masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain, juga bisa menjadi petaka karena salah kelola. Ia bisa memicu semangat etnisisme yang kuat bahkan sering kali berakhir dengan tindakan-tindakan nepotik, rasis, hingga konfliktual.

Sebaliknya, jika dikelola dengan baik, maka konsepsi masyarakat majemuk akan menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Setiap orang bahkan akan tetap menjadi etnisnya tanpa meninggalkan identitas keindonesiaannya.

Indonesia selalu berada di dua ketegangan itu. Di satu sisi, diharapkan dapat memfungsikan dimensi perbedaan masing-masing etnis. Di sisi yang lain, dituntut untuk menjaga integrasi bersama. Di sinilah tesis Furnival, menurut penulis, masih dianggap penting untuk dijadikan bahan pijakan, untuk menerjemahkan kondisi sosial masyarakat Indonesia dalam hubungannya dengan pengelolaan negara.

Menempatkan Plural Society ke Hari Ini

Untuk menempatkan kembali tesis Furnivall di atas ke masa sekarang, maka kita mesti melihat kembali sejumlah polemik yang diakibatkan oleh kuatnya segregasi dalam masyarakat majemuk tersebut.

Untuk kebutuhan melakukan relevansi ke masa sekarang, penulis mengajukan pola sebaran polemik etnis yang terjadi di masa-masa pasca-reformasi. Beberapa polemik tersebut, di antaranya: Kerusuhan Sambas (1999) yang melibatkan Suku Melaku, Suku Dayak, dan Madura. Kasus Kerusuhan Ambon (1999) yang diawali dengan kerusuhan Ambon vs non-Ambon (Jawa, Buton, Bugis). Kerusuhan di Pontianak (2001), Kerusuhan Sampit (2001) yang melibatkan etnis Dayak dan Madura. Hingga baru-baru ini, konflik antarmasyarakat Jawa Timur dan Papua, atau Peristiwa Kerusuhan di Wamena.

Di luar konflik tersebut, masih tersisa sederet konflik horisontal yang masih terjadi antarumat beragama dan antargolongan hingga era reformasi.

Ada satu pola konflik yang bisa dipahami. Bahwa di awal reformasi, sederet konflik yang bermunculan tersebut selalu dipicu oleh konflik etnis, agama, dan antargolongan (SARA). Bahkan periode kemunculannya masih berlangsung pasca Orde Baru hingga sekarang.

Berlangsungnya pola konflik seperti ini disebabkan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap konsep masyarakat majemuk (plural society), terlebih lagi bagi pemerintah di tiap rezim.

Bagi rezim Orde Baru, fenomena etnis, agama, dan antargolongan dianggap ada, namun selalu ditutup-tutupi proyek stabilisasi nasional. Rezim Orde Baru telah mencoba memahami masyarakat yang majemuk versi Furnivall. Hanya saja, penerjemahannya masih sangat simbolik.

Kemajemukan masyarakat dianggap ada, namun direduksi habis-habisan oleh negara. Common will yang dicetuskan oleh Furnivall ditafsirkan secara sepihak sebagai nasionalisme versi negara. Pun market, diinterpretasi sebagai proyek developmentalisme.

Bagi Orde Baru, developmentalisme adalah upaya mempertemukan masyarakat yang majemuk. Padahal, di balik proyek developmentalisme justru menyembunyikan dimensi etnisitas dan agama. Sebagai akibatnya, dimensi ke-berbeda-an dalam masyarakat kemudian dikelola oleh negara melalui proyek nasionalisme dengan memberi label: separatis, makar, dan subversif.

Sejumlah pelabelan tersebut adalah wujud ketidakmampuan rezim Orde Baru dalam menerjemahkan “konsepsi masyarakat plural” di Indonesia.

Sebagai sebuah heritage kolonial, segregasi dan konflik horisontal yang terjadi di masyarakat tak bisa dilepaskan dari masyarakat majemuk yang tidak combine melainkan mix. Namun, rezim Orde Baru menganggap dimensi ke-berbeda-an (etnis dan agama) sebagai sesuatu yang mengganggu stabilitas. Semuanya mesti diatur secara nasional dan terpusat.

Sebagai akibatnya, pasca Orde Baru jatuh, berbagai dimensi ke-berbeda-an itu mencuat ke permukaan. Salah satunya melalui konflik antar etnis maupun agama tersebut. Masing-masing etnis dan agama yang selama Orde Baru dikekang, berusaha menemukan saluran-saluran baru untuk mengekspresikan identitasnya. Bahayanya, adalah sejumlah ekspresi tersebut jatuh dalam kubangan konflik sosial antaretnis.

Artinya adalah, sikap Orde Baru yang salah mengelola kondisi ini bertemu dengan pola sosial masyarakat kita yang semenjak kolonial telah tersegrasi, ditanggapi secara reaktif dalam bentuk kerusuhan sosial. Persis di titik ini, konsepsi masyarakat majemuk yang tak dipahami sepenuhnya oleh Orde Baru dapat dipahami diterjemahkan ke era reformasi.

Baca juga:

Kerusuhan pasca Orde Baru yang berlangsung antaretnis dan agama telah memberi simpulan sederhana bahwa dimensi ke-berbeda-an (mix) mestinya diakomodasi oleh negara, dan dipahami sebagai basis heritage yang telah tertanam semenjak masa kolonial. Sebagai respons atas kondisi tersebut, pemerintah pasca Orde Baru kemudian menciptakan semacam market atau arena ekonomi untuk menjawab kegelisahan itu. Dikeluarkanlah konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya. Ini terbukti dengan dihadirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Masyarakat daerah kemudian menyambut agenda otonomisasi tersebut dengan memekarkan daerahnya masing. Dalam narasi otonomi selalu ada identitas primordial yang hendak diperjuangkan, dipertahankan, bahkan dikontestasikan. Masing-masing daerah diberikan keleluasaan untuk membangun daerahnya berdasarkan kemauan daerahnya, dengan tetap menjaga integrasi dan interaksi antar sesama daerah.

Dengan menggunakan konsep Furnivall, Otonomi Daerah dan pemekaran adalah bentuk kehadiran market untuk mempertemukan sejumlah irisan etnis yang mix namun tidak menyatu. Daerah-daerah kemudian diakomodir dan diberi jatah pembangunan dengan mempertimbangkan ciri khas, adat istiadat, dan kondisinya.

Model pembangunan yang sentralistik pun diubah ke model desentralisasi. Corak pembangunan daerah bergerak dari top down ke bottom up. Daerah diberikan kekuasaan yang relatif otonom untuk menentukan pembangunan daerahnya.

Belakangan muncul “otonomi khusus dan istimewa”. Masyarakat Papua dan Jakarta diberikan otonomi khusus, Aceh dan Yogyakarta memperoleh otonomi istimewa. Sebagai relevansi, rezim pasca reformasi kemudian menciptakan agenda “otonomi daerah/otonomi khusus” tersebut sebagai market untuk mempertemukan masyarakat yang mix tapi tidak combine.

Pemerintah pun tampil akomodatif dengan merepresentasikan kondisi daerah. Keberbedaan yang menjadi basis sosial masyarakat tidak mesti dihilangkan apalagi disamaratakan, melainkan harus diakomodir oleh negara. Negara hadir sebagai aktor yang imparsial dalam mempertemukan berbagai irisan masyarakat tersebut dengan menciptakan satu arena ekonomi (market) yang disebut “otonomi daerah”.

Kehadiran otonomi daerah diharapkan dapat meminimalisasi konflik etnis dan gap antardaerah. Daerah dianggap bebas untuk mempertahankan ke-khas-annya masing-masing sekaligus bisa menyatu (combine) secara nasional. Sebagai wujud penciptaan arena ekonomi, pemerintah lalu memberikan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)/Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi tiap-tiap daerah.

Namun, muncul pertanyaan reflektif: jika otonomi daerah telah diberikan, mengapa masih ada konflik sosial hingga hari ini?

Menurut penulis, tesis Furnivall masih relevan digunakan. Hanya saja, masyarakat kita yang masih gagal dalam menerjemahkan konsep masyarakat majemuk, sebaliknya pemerintah/pemerintah daerah juga demikian.

Kerusuhan di Papua adalah contoh. Berawal dari ujaran rasialisme yang terjadi di Jawa Timur terhadap orang Papua membuktikan bahwa aspek perbedaan itu diakui (mix), namun tidak difungsikan (combine). Di sisi lain, pemerintah selalu beranggapan bahwa keberhasilan otonomi daerah hanya bertumpu pada distribusi anggaran.

Padahal, seharusnya memastikan bahwa arena ekonomi (market) itu terbentuk hingga ke masyarakat di desa-desa, bukan sebatas terdistribusinya anggaran dari pusat ke daerah. Sehingga konsep market dan kehadiran negara yang imparsial mestinya diterjemahkan secara lebih luas—sesuai semangat sosial masyarakat di akar rumput.

Baca juga:
Ardiman Kelihu