Membaca Jejak Golongan Muda Dulu dan Sekarang

Membaca Jejak Golongan Muda Dulu dan Sekarang
©Historia

Seperti yang kita tahu, memproyeksikan masa depan daerah dan bangsa tidaklah cukup dengan mengandalkan pemerintah. Elemen golongan muda mesti berpacu di dalamnya. Dan, keterbukaan media mesti menjadi partner dalam menyebarkan gagasan.

Setiap yang beristilah golongan tua dan muda mungkin mengantarkan ingatan kita pada peristiwa sejarah. Namun, dalam tulisan ini, saya berupaya melepaskan ingatan pertentangan antargolongan dalam sejarah tersebut. Sebaliknya, saya akan petakan bagaimana golongan tua dan muda ini untuk sama-sama menciptakan relasi yang ideal demi kemajuan daerah dan bangsa.

Di negara kita, sebagaimana catatan sejarah bila kita amati, terdapat fakta di mana negara bangsa yang ada di Eropa tidak mengalami eksistensi organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (NonGovernmental Organization) yang mendahului eksistensi negara (Governmental Organization).

Sebutlah pada waktu itu Muhammadiyah berdiri pada 1912 dan Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 1928. Bahkan jauh sebelum itu, pada 1908, organisasi pemuda Budi Utomo berdiri, yang hari ini kita peringati sebagai Hari Nasional, yakni Hari Kebangkitan Nasional. Sebenarnya masih banyak fakta di dalam sejarah kita yang membuktikan kontribusi golongan tua dan muda dalam menuju kemerdekaan nasional.

Golongan tua yang tercerahkan, idealnya, merasa berutang terhadap golongan muda yang peduli akan daerah dan bangsa. Oleh karenanya, pemerintah juga harus merasa peduli terhadap golongan muda yang peranannya hari ini sangatlah penting. Sebab, membangun daerah dan bangsa di masa depan tidak cukup dengan mengandalkan peran pemerintah sebagai aktor utama.

Betapa tidak, coba kita amati relasi antara seorang Soekarno (golongan muda) yang kemudian terlahir sebagai tokoh nasionalisme itu yang notabenenya di masa awal beliau dididik langsung oleh H.O.S Cokroaminoto (golongan tua). Maka tak heran jika dalam banyak literatur Bung Karno selalu menyebut H.O.S Cokroaminoto sebagai guru sekaligus pujaannya di kala muda.

Dengan mencermati sedikit sample sejarah yang saya tuliskan, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa proyeksi daerah dan bangsa di masa yang akan datang bisa kita ukur daripada aktivitas organisasi masyarakat atau organisasi mahasiswa yang seyogianya melahirkan kader-kader demi keberlangsungan tujuan kemerdekaan bangsa ini.

Bercermin pada Idealisme Golongan Muda Dulu

Idealisme secara bahasa terdiri dari dua kata, yaitu idea (sempurna) dan ism (paham). Dari dua kata tersebut, idealisme dapat kita artikan sebagai suatu paham yang menjadi patokan dan dipercaya serta dianggap sempurna.

Sikap inilah yang sebagian mahasiswa percayai hari ini. Begitu pula dengan golongan muda dalam konteks sejarah. Berdasarkan kesamaan itu, dalam subbab ini, istilah golongan muda saya ubah menjadi mahasiswa.

Baca juga:

Idealisme mahasiswa dulu terlihat pada pergerakan yang terobsesi dari keinginan mengusir penjajah. Di zaman penjajahan Belanda, lahirlah gerakan Budi Utomo, berlanjut dengan tercetusnya Sumpah Pemuda.

Selanjutnya, pergerakan mahasiswa angkatan 66 yang meneriakkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) sekaligus penggulingan kekuasaan Sukarno yang pada saat itu sudah ingin berkuasa seumur hidup.

Angkatan 74 yang menorehkan tinta sejarah Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) dengan tuntutan otonomisasi negara dari intervensi asing dan penyikapan isu normalisasi kehidupan kampus. Hingga rentetan semangat kemahasiswaan yang berujung pada reformasi pada 1998 sampai mampu menghancurkan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto.

Jika pemuda dulu berikrar dalam satu bangsa, tanah air, dan satu bahasa, maka sekarang pemuda berikrar pada satu rupiah, satu EGP (emang gua pikirin), dan satu galau—serta satu game online. Boro-boro memikirkan rakyat dan negara, memikirkan dirinya sendiri belum bisa.

Peranan Perempuan Membangun Golongan Muda

Sedari kita kecil, sadar atau tidak, relasi telah kita temukan dalam keluarga—saya menggunakan keluarga sebagai pendekatan organisasi secara sempit untuk menemukan relasi golongan tua dan muda—hingga sampai pada tahap kita mengerti akan segala hal. Di situlah keberhasilan golongan tua memberi kontribusi kepada daerah dan bangsa melalui sistem kaderisasi, minimal dalam ranah keluarga.

Tentu pembaca pernah mendengar istilah “ibu (golongan tua) adalah madrasah awal bagi anaknya (golongan muda)”. Dari istilah itu saya ingin menekankan bahwa relasi antara golongan muda dan tua ini tidak akan pernah putus. Dan, dalam ranah keluarga sebagaimana istilah di atas, relasi yang jadi keutamaan adalah aspek pendidikan.

Meminjam istilah di atas, memang menarik untuk membangun relasi yang ideal. Namun, pertanyaannya, kenapa mesti dengan ibu?

Menurut penelitian, genetik ibu memengaruhi kecerdasan anak. Inilah sebabnya Bung Karno menyebut perempuan sebagai Sarinah.

Baca juga:

Janganlah laki-laki mengira bahwa bias ditanam suatu kultur yang sewajar-wajarnya kultur kalau perempuan dihinakan dalam kultur itu. Begitulah Bung Karno memandang perempuan.

Organisasi sebagai medium pengembangan sumber daya manusia menyediakan ruang khusus dan sistem pengaderan khusus untuk keperempuanan. Dalam hal ini, tentu mengupayakan kualitas perempuan-perempuan se-nusantara makin maju.

Sebutlah HMI dengan Kohati-nya, IMM dengan Immawati-nya, GMNI dengan Sarinah-nya, PMII dengan Kopri-nya, dan masih banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu.

Hairil Amri
Latest posts by Hairil Amri (see all)