Membangun Kepribadian Bangsa, Mencipta Indonesia Baru

Membangun Kepribadian Bangsa, Mencipta Indonesia Baru
©Kompasiana

Pembangunan manusia Indonesia baru harus lewat perbaikan mentalitas.

Indonesia adalah negara kepulauan, terbentang dari ujung Sumatra, Sabang, sampai Papua yang kaya, Marauke.

Dengan luas kurang lebih 2.027.087 km2, jumlah penduduk lebih dari 200 juta. Masyarakatnya kaya akan perbedaan suku, tradisi budaya, adat istiadat, agama, dan bahasa. Banyaknya pulau dan jumlah suku bangsa yang hidup di Nusantara ini menjadikan Indonesia pantas kita sebut sebagai masyarakat yang plural dan majemuk.

Dalam sejarah, walaupun bangsa kita multietnis dan majemuk, masyarakat Indonesia dapat melestarikan sikap pluralitas serta menanamkan sikap toleransi yang tinggi di tengah-tengah masyarakat yang saling berbeda (suku maupun agama).

Dari catatan sejarah zaman kejayaan raja-raja di masa lampau seperti Sriwijaya dan Majapahit, kerajaan yang berhasil menguasai pulau dan suku-suku di Nusantara ini berhasil membangun suatu masyarakat multietnis yang harmonis serta peradaban yang besar dan kuat.

Tak pernah tercatat dalam sejarah sebuah peristiwa konflik besar yang berbau rasial atau pertentangan dengan motif agama. Bahkan di kitab-kitab sastra kuno seperti kakawin Negarakertagama dan Sutasoma, di sana tergambar watak masyarakat Nusantara yang menghargai pluralitas dan mengajarkan nilai-nilai luhur serta toleransi dalam hal keagamaan.

Ini menjadi suatu bukti bahwa sikap menghormati sesama dan sikap toleran  adalah  bagian dari kepribadian bangsa kita.

Dalam persoalan beragama, masyarakat Nusantara saat itu memeluk suatu agama dengan kesadaran nurani, bukan dengan paksaan dari raja atau para pemuka agama. Agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen datang ke Nusantara dengan jalan damai, bukan dengan peperangan atau pemaksaan dengan senjata.

Agama-agama tersebut datang tanpa mengusik ketenteraman masyarakat dengan menjaga kerukunan. Agama-agama yang ada di Nusantara ini justru berfungsi sebagai pengatur nilai dan norma di masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keseimbangan sosial.

Baca juga:

Sikap toleran ini tercatat dalam sejarah, yaitu ketika Prabu Brawijaya yang beragama Buddha tak berkeberatan dengan penyebaran Islam yang Sunan Ampel lakukan. Bahkan Raja Majapahit tersebut justru mendukung gerakan perbaikan moral 5 ‘M’ yang Sunan Ampel bawa.

Begitu pula di kota kudus, Sunan Kudus, salah satu waliyullah tanah Jawa, memberi fatwa bahwa masyarakat Islam di daerah tersebut dilarang memotong dan memakan hewan lembu (sapi) yang agama Hindu sucikan. Hal ini agar keharmonisan dan sikap toleran di masyarakat tetap terjaga serta menghindari sikap egois dalam beragama yang dapat menimbulkan konflik.

Dari uraian di atas, ini  hanya gambaran kecil yang menjadi bukti bahwa sifat inklusif, toleran, ramah, saling menghormati, dan taat pada Tuhan adalah kepribadian dari bangsa Indonesia. Setiap agama dapat hidup dengan damai dan agama tersebar tanpa menggunakan kekerasan.

Namun, jika kita renungkan realitas bangsa kita saat ini, rasanya sifat-sifat luhur yang nenek moyang kita contohkan itu tidak tercermin di dalam masyarakat sekarang. Anarkisme, egosisme beragama, anti pluralitas, dan pengabaian nilai-nilai moral justru mulai marak dalam masyarakat kita.

Hukum hanya menjadi semacam pajangan. Politik menjadi pelampiasan hasrat kerakusan. Agama menjadi alat di arena pertandingan kekuasaan.

Sungguh ironi, negara yang terkenal dengan keramahan dan kerukunan, kini menjadi negara tempat tumbuh suburnya anarkisme dan “ideologi kematian”. Ada apakah dengan negara kita?

Pascareformasi, bangsa kita tenggelam dalam kasus konflik berbau SARA. Seolah-olah bangsa kita adalah bangsa yang tak mengenal hukum dan peraturan.

Kini krisi tengah melanda bangsa kita, krisis kepribadian dan pegangan, krisis moral dan persaudaraan, juga krisis antar kelas sosial, di mana jurang antara kaya dan miskin melebar. Yang kaya tidak mau membantu yang miskin. Sebaliknya, yang miskin tetap dalam kemiskinan sehingga beralih pada tindakan yang melanggar norma dan susila.

Halaman selanjutnya >>>
Latest posts by Reynaldi Adi Surya (see all)