
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 tentang Negara Hukum dan kekuasaan menimbulkan konsekuensi logis. Ketentuan ini telah mengamanahkan bahwa Negara Indonesia harus jalan berdasar hukum. Mengatur tata kelola pemerintahan agar terhindar dari praktik domino kelompok tertentu dan kesewenang-wenangan penguasa.
Demi menghindarinya, pasal tersebut telah lebih dulu menyatakan Indonesia adalah Negara Demokrasi, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan berjalan menurut Undang-Undang. Implikasinya, seluruh kebijakan dan tindakan harus berdasar pada kepentingan rakyat. Termasuk pembentukan hukum itu sendiri, dalam hal ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat—tersebutkan dalam Pasal 20 ayat 1 UUD 1945.
Pasal tersebut telah mengantarkan Negara Indonesia pada proses pemerintahan yang utuh, berlandas pada aturan dan kepentingan rakyat. Kompleksitas parade pembentukan pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif merupakan alarm kepada mereka yang terlibat dalam posisi itu, dan akan rakyat mintai pertanggungjawabannya.
Artinya, bentuk kebijakan dan tindakan dari tiga pemisahan kekuasaan itu telah undang-undang atur segalanya dan akan rakyat awasi sepenuhnya melalui berbagai ragam media.
Pertentangan berikutnya adalah prosesi demokrasi yang kian hari menimbulkan polemik di tubuh masyarakat Indonesia. Tak pelak, hukum yang produk demokrasi ini cipta sering kita cibir karena tidak sesuai konsep keadilan. Proses demokrasi yang kian mahal berakibat pada banyaknya jual-beli kepentingan sebagai pengganti modal pemenangan kursi kekuasaan.
Menurut Sajipto Rahardjo dalam “Membedah Hukum Progresif” (Kompas, 2008), hukum harus terejawantahkan dalam bentuk negara hukum (rechtsstaat atau rule of law). Idealnya, ia tercipta demi ketertiban dan kesejahteraan sosial (to order and accomplish welfare).
Namun, konsepsi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat belum menemukan hasil maksimal. Apa yang hampir seluruh pakar hukum dan kekuasaan gagas sebagai bagian dari tujuan negara belum dapat semua elemen masyarakat rasakan.
Sebagai catatan, dalam UUD 945, demokrasi lebih dulu disebut sebelum hukum, bermakna ada keutamaan kepentingan rakyat di atas hukum. Kemudian, demokrasi dan hukum yang berada dalam satu pasal secara bersamaan menyatakan bahwa relasi keduanya tak dapat kita pisah satu sama lain.
Baca juga:
- Legitimasi Kekuasaan Pemimpin dan Nilai Demokrasi Indonesia Masa Kini
- Distribusi Kekuasaan dan Degradasi Moral Para Elite
Moh. Mahfud MD (Gama Media, 1999) juga mengungkap bahwa relasi hukum dan kekuasaan ini dapat kita lihat sebagai fenomena kekuasaan otoritatif, yang menentukan kebijakan hukum. Hukum hari ini merupakan produk kebijakan dari interaksi politik.
Karena produk hukum yang tak lepas dari unsur kekuasaan, ini acapkali mencipta ketidakseimbangan relasi hukum dan kekuasan yang berdampak pada produk hukum yang kurang baik.
Kausalitas Hukum dan Kekuasaan
Secara historis, relasi hukum dan kekuasan senantiasa berjalan harmonis di Indonesia. Sejak berdirinya, kekuasaan selalu menjadi sumber otoritas. Pun sebaliknya, hukum menjadi pedoman untuk membentuk dan menjalankan sebuah kekuasaan.
Walaupun dalam perjalanannya harmonisasi hukum dan kekuasaan ini kian tercederai akibat produk hukum yang kekuasaan hasilkan menjauh dari cita-citanya, kenyataan ini pun harus tetap kita terima sebagai bagian dari dinamika harmonis.
Fenomena ketimpangan ini timbul dari kebiasaan para penyelenggara negara (eksekutif dan legislatif) yang Jimly Ashidiqi sebut: hanya bergerak pada sikap rule-driven dan budget-driven, bekerja hanya berdasarkan aturan tekstual dan sesuai anggaran.
Inilah yang sering mencederai relasi harmonis tersebut. Karena banyak oknum tak punya sikap mission-driven yang sebenarnya bisa menjadi kunci relasi kekuasan dan hukum itu sendiri.
Pada hakikatnya, ide besar kekuasaan sebagai sarana pembentuk hukum yang ada di Indonesia berasal dari pemikiran John Locke dan Montesquieu. Hal ini dapat kita lihat dari fenomena penetapan hukum yang melibatkan kerja sama eksekutif dan legislatif.
Dalam prosesnya, pembentukan kekuasan sebagai sarana meredam kesewenang-wenangan penguasa dan tertuju untuk kepentingan rakyat. Sebab, lanjut Mahfud, kekuasaan dan hukum merupakan sub-sistem kemasyarakatan, berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang satu sama lain.
Halaman selanjutnya >>>
- Politik Hukum Pemerintahan Desa - 29 Agustus 2019
- Desa Wisata Jelok, Sensasi Djogja Tempo Doeloe - 2 Agustus 2018
- Problematika dan Tantangan Perguruan Tinggi - 5 Juli 2018